Mohon tunggu...
Ibni Wiryateja
Ibni Wiryateja Mohon Tunggu... Mahasiswa - docendo discimus

Terus belajar

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Relung Kekeliruan dan Kesalahan Berbahasa

25 Desember 2021   19:31 Diperbarui: 25 Desember 2021   19:37 1801
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Kekeliruan dan kesalahan berbahasa sudah menjadi hal yang umum kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari. Kesalahan dan kekeliruan berbahasa dapat kita temukan mulai dari pesan di whatsapp, twitt pejabat publik, surat dinas, hingga dokumen akademik seperti buku dan artikel. Kesalahan dan kekeliruan yang kita jumpai bermacam-macam tingkatanya, mulai dari tanda baca hingga struktur yang kompleks seperti paragraf. 

Nah, berangkat dari itu semua, kita menjadi sadar bahwa dalam kehidupan sehari-hari mungkin juga sering melakukannya, baik disengaja maupun tidak. Lantas, bagaimana kita mengetahui apakah yang kita lakukan merupakan bentuk kesalahan atau kekeliruan? Bukankah kita juga pernah melakukan kesengajaan? Apakah jika kita tahu aturanya, namun sengaja dilanggar termasuk kesalahan? Mari kita bahas!

Sebelum beranjak lebih jauh alangkah baiknya kita memahami yang dimaksud sebagai kesalahan dan kekeliruan berbahasa. Kesalahan berbahasa dan kekeliruan berbahasa merupakan dua hal yang berbeda. Merujuk pada artikel yang ditulis Reni Supriani dan Ida  Rahmadani Siregar dengan judul Penelitian Analisis Kesalahan Berbahasa dapat dipahami bahwa keduanya memiliki persamaan yaitu sama-sama bentuk pelanggaran kode. 

Kode yang dimaksud apabila dalam bahasa Indonesia adalah kesepakatan aturan berbahasa  yang sesuai dengan ejaan bahasa Indonesia (EBI) yang berlaku. Namun, keduanya memiliki perbedaan dalam ranah pemahaman. Maksudnya, sebuah pelanggaran kode dapat disebut kesalahan jika seseorang melakukannya atas dasar ketidaktahuan atau ketidak pahaman terhadap aturan. Artinya, pelanggar belum memiliki pengetahuan yang cukup mengenai aturan penulisan yang sesuai dengan ejaan bahasa Indonesia. Contoh dari pelanggaran ini adalah, jika mantan menghubungi minta dibelikan obat di apotek, tapi salah menuliskan di pesan whatsapp menjadi apotik maka pelanggaran jenis ini dapat dimaknai sebagai ketidakpahaman pelanggar terhadap konsep penulisan kata baku. 

Kekeliruan berbahasa muncul akibat kealpaan pelanggar terhadap kaidah kebahasan. Kealpaan ini dapat muncul ketika pelanggar tidak memperhatikan tulisan yang dia kerjakan, atau mungkin karena tidak teliti. Pada dasarnya pelanggar telah mengetahui aturan ejaan yang benar, namun mengabaikan atau tidak sengaja melanggarnya, dalam kasus ini pelanggaran masih dapat diperbaiki oleh pelaku ketika melakukan telaah lebih lanjut. Contoh dari pelanggaran jenis kekeliruan berbahasa dapat kita jumpai pada kasus, saat kita gugup saat menuliskan:

"mungkin waktu ada bapak?"

Saat melakukan chat ke dosen, padahal sejatinya kita tahu bahwa struktur yang benar adalah:

"mungkin Bapak ada waktu?"

Chat kita kirimkan sebelum sempat terbaca dosen, kemudian karena menyadari kekeliruan struktur, kita segera menarik pesan tersebut. Pesan yang telah dikirimkan dapat dikatakan sebagai bentuk kekeliruan berbahasa.

Pada dasarnya praktik kekeliruan dan kesalahan berbahasa sering dijadikan satu keluarga dan dianalisis secara bersamaan dalam naungan analisis kesalahan berbahasa. Kenapa demikian? Mungkin bisa jadi karena analisis yang dilakukan belum dapat menyingkap motif penulis. Maksudnya, kita tidak tahu, apakah pelanggaran kode yang dilakukan sengaja dibuat karena ketidaktahuan atau hanya sekedar kealpaan yang sebenarnya penulis dapat perbaiki. Hal ini, yang mungkin menjadi pertimbangan dalam urusan analisisnya. Ah, atau mungkin pembaca punya pendapat berbeda?

Analisis kesalahan berbahasa juga akan mengalami kesulitan jika berhadapan dengan kasus pelanggaran kode berbahasa yang sengaja dilakukan oleh penulis. Pelanggaran yang dilakukan secara sengaja ini tidak dapat semata-mata dijatuhi vonis kesalahan atau kekeliruan berbahasa, karena seringkali pelanggaran kode ini justru untuk memunculkan makna tertentu. Misalnya dalam sebuah karya sastra semacam puisi. 

Bahasa dalam puisi tak jarang sengaja "dirusak" ditelanjangi maknanya kemudian disusun kembali, metode ini disebut dekonstruksi. Hal ini dapat terjadi karena dalam sastra mengenal hak yang disebut lisencia poetica atau dengan kata lain penulis bebas menembus batas-batas kaidah kebahasaan untuk memunculkan perspektif berbeda pada karyanya. Hal semacam ini tidak hanya terjadi pada karya sastra. 

Dalam esai akademis pun pelanggaran semacam ini juga dapat ditemui, sebut saja esai karya bel hooks yang banyak mengangkat isu feminis dan humaniora. Dia enggan untuk menggunakan huruf kapital pada namanya, karena menganggap huruf kapital sebagai simbol maskulinitas yang khas dengan patriarki sehingga tak sejalan dengan visinya. Nah, mungkin itu sedikit perkenalan kita dengan kesalahan dan kekeliruan berbahasa. Apabila pembaca punya pendapat lain yang berbeda dapat kalian komentari ya! Sampai jumpa...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun