Pandemi dan Pilkada nampaknya akan berkorelasi dengan upaya mereduksi politik uang di tengah hajatan politik lokal, dan ini tentunya akan menjadi tantangan besar bagi aparat dan pihak-pihak yang berkepentingan dalam penegakan demokrasi yang bersih jujur dan terbebas dari noda kecurangan politik.Â
Membangun iklim demokrasi memang idealnya diterapkan dengan prinsip kejujuran yang berkeadilan namun kita juga harus melihat fakta dilapangan seperti apa.
Pilkada merupakan prosesi membangun demokrasi untuk menentukan arah kebijakan pemerintah daerah yang tentunya melibatkan unsur terbesar didaerah pilihan yaitu masyarakat daerah tersebut untuk menentukan pilihan politik melalui sosok calon kepala daerah yang dianggap bisa dan mampu merepresentasikan harapan dan impian untuk kesejahteraan masyarakat didaerahnya.
Berdasarkan rilis BPS tahun 2019 menunjukan bawah index demokrasi kita meningkat, itu artinya membangun demokrasi di masyarakat kita mudah dan sangat bisa dilakukan melalui sosialiasi dan membangun kesadaran di masyarakat.Â
Akan tetapi ada satu hal yang perlu kita sadari bahwa demokrasi yang terbangun dan tercipta ternyata belum bisa dan mungkin tidak akan berdampak pada penurunan politik uang.
Masyarakat Berdemokrasi Belum Tentu Bebas Dari Politik Uang
Kenyataan yang terjadi hasil dari kemenangan pilkada hanyalah sebuah proses akhir perhitungan suara yang menciptakan euforia kemenangan dari salah satu pihak saja, dan itu sekali lagi toloukurnya adalah kuantitas bukan kualitas dari demokrasi itu sendiri, jika kita memandang demokrasi hanyalah faktor besaran suara yang didapatkan dengan mengkesampingkan kualitas demokrasi itu sendiri, maka yang akan terjadi menurut saya adalah demokrasi semu yang berdasarkan pada pondasi yang rapuh.
Jika memang yang demikian dijadikan acuan utama dalam penentuan kemenangan pilkada, maka tidak heran jika semua pemenang pilkada adalah mereka yang memiliki modal kuat dan sokongan dari donatur-donatur yang memiliki kepentingan setelahnya.Â
Namun kita juga harus fair dalam bersikap memang tidak semua pememang pilkada yang memiliki modal kemudian mereka menjadi pemenang lantas kita menganggapnya sebagai pemain politik uang, tidak boleh juga kita bersuudzon seperti itu.
Sepertinya harapan kita untuk menghilangkan Politik Uang dari hajatan politik masih jauh dan sulit terrealisasi selama kesejahteraan masih belum terdistribusi secara merata, kenyataan berdemokrasi akan tetap identik dengan politik uang.Â
Demokrasi harus tetap berjalan namun bagaimana untuk menyelaraskan dengan prinsip-prinsip keadilan dan kejujuran itu adalah PR besar bagi kita semua untuk menyadarkan mereka-meraka yang terlibat dalam proses demokrasi.
Pilkada dan Pandemi Covid
Pandemi Covid-19 yang sampai saat ini belum ada rumusan pasti kapan akan berakhir, beserta dampak yang ditimbulkan sudah sebegitu masif dan sporadis menghantam semua sektor, dan parahnya lagi dampak ini menyebabkan ambruknya perekonomian suatu negara tidak terkecuali Indonesia. Lantas apakah urgensi dari pilkada ditengah pandemi seperti saat ini?
Pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri memandang pelaksanaan pilkada serentak ditengah situasi pandemik setidaknya memiliki 5 urgensi, salah satu diantaranya adalah sebagai ajang pemilihan kepala daerah yang dipercaya publik untuk membuktikan bahwa mereka mampu menangani pandemi Covid-19 di Daerahnya.Â
Alasan atau urgensi seperti hal ini menurut saya justru akan menimbulkan opini bahwa pemerintah pusat ingin mengurangi beban tanggungjawab dari masalah pandemi.
Disamping muncul adanya opini yang seolah pemerintah pusat ingin mengurangi beban tanggungjawab masalah covid-19, dapat dipastikan politisasi covid-19 ini akan menjadi tema atau isu yang wajib diusung dalam setiap kampanye politik masing-masing kandidat kepala daerah, hal ini memang tidak menjadi masalah namun yang dikhawatirkan adalah justru prioritas yang lain juga dikesampingkan.
Lalu bagaimana dengan dampak yang lain? Dampak Kesehatan dan dampak sosialnya tentu juga akan menimbulkan masalah. Dari dampak Kesehatan jelas, kerumunan yang diakibatkan dari kampanye para kandidat kepala daerah akan riskan penyebaran Covid-19, meskipun sudah ada Prokes-19 tetapi kenyataan dilapangan bisa kita lihat seperti apa.
Pandemi covid-19 juga sangat mempenguruhi aktivitas sosial, berapa banyak aktivitas masyarakat yang terpaksa dihentikan, mulai dari penyelenggaraan hajatan, kegiatan keagamaan, bahkan aktivitas yang mengandung unsur silaturahmi yang notabene merupakan tradisi budaya masyarakat kita harus dipaksa mengikuti prokes covid-19 hal ini tentunya sangat mengganggu dan mengurangi sakralitas dari tradisi luhur kita.
Kemudian dengan adanya pelaksanaan pilkada yang pastinya juga akan melibatkan banyak massa, apakah kita bisa menerima, meskipun dengan alasan amanat Undang-undang?.Â
Memang benar peraturan KPU terkait pelaksanaa pilkada harus sesuai Prokes pandemi Covid-19. Kalau memang demikian bisa dibuat peraturannya maka aktivitas sosial juga seharusnya bisa dibuatkan peraturan yang tetap bisa menjaga kelestarian tradisi masyarakat kita. Â Â
Kualitas Demokrasi Pilkada di Tengah Pandemi
Keterpurukan ekonomi akibat pandemic covid-19 dan resesi ekonomi yang sedang menghantam bangsa Indonesiaa akan sangat rawan dengan kecurangan-kecurangan politik di musim Pilkada, keadaan dan himpitan kesulitan ekonomi masyarakat akan sangat mudah dijadikan target atau sumber suara oleh para tim sukses masing-masing kandidat untuk meraup suara masyarakat yang sedang mengalami keterpurukan ekonomi.
Bagi masyarakat yang sedang mengalami keterpurukan ekonomi umumnya mereka tidak akan memperdulikan proses demokrasi yang baik seperti apa, mungkin bagi mereka pilkada justru akan menjadi ajang jual suara, siapa kandidat yang mau memberi cuan lebih, maka disitulah suara mereka akan dilabuhkan, jika kondisi ini terjadi maka sungguh sangat ironis sekali negeri ini. Alih -- alih ingin membangun proses demokrasi yang jujur dan berkadilan justru akan disajikan dengan realitas yang tidak sehat seperti ini.
Akan tidak menjadi persoalan jika masyarakat memilih benar-benar sesuai dengan hati nuraninya tanpa adanya paksaan dan tindakan transaksional yang menciderai proses demokrasi.Â
Namun yang menjadi persoalan adalah bagaimana mereduksi praktek-praktek politik uang ditengah pandemi masyarakat, dan bagaimana memberikan batasan-batasan aturan yang mengkategorisasikan, mana itu politik uang dan mana itu modal politik yang harus disosilisasikan kepada masing-masing kandidat kepala daerah.
Tentu tidak akan mudah memberikan himbauan kepada masyarakat pemilih agar tidak menerima sesuatu imbalan berupa uang dari masing-masing kandidat kepala daerah, terlebih ditengah situasi pandemi seperti saat ini.Â
Akan tetapi dengan menekankan aturan kepada masing-masing kontestan untuk lebih mempertajam program-program jika mereka terpilih mungkin itu akan menjadi salah satu cara untuk mereduksi terjadinya politik uang.
Sekali lagi saya katakan, itu memang tidak mudah dilakukan karena sulitnya pengawasan dalam praktik-praktik politik uang, mungkin benar ada kandidat kepala daerah telah melakukan prosedur pilkada secara jujur dan taat aturan pilkada, akan tetapi diakar rumput tim sukses atau simpatisan mereka tidak mentaati aturan maka apakah layak calon kepala daerah itu dikatakan memainkan politik uang? Ini tentunya akan menciptakan rasa ketidakadilan bagi salah satu kandidat calon kepada daerah.
Lantas, kualitas berdemokrasi seperti apa yang diharapkan oleh bangsa kita ketika menggelar hajatan pilkada? tentunya adalah kualitas berdemokrasi dimana ketika mereka yang memilih sudah tidak lagi membutuhkan materi bagi dirinya nya dan menyadari masa depan tidak ditentukan oleh nominal rupiah saat pencoblosan surat suara namun hati nuraninyalah yang berbicara, sementara untuk mereka yang bertarung memenangkan pilkada adalah mereka yang benar-benar tulus ikhlas untuk melayani masyarakat pemilihan dengan semangat berbagi dan mengabdi.
Penulis: Wirtoyo
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H