Media sosial telah menjadi panggung besar bagi generasi muda untuk bersuara, menciptakan tren, dan mengekspresikan pandangan mereka terhadap berbagai isu sosial. Dalam beberapa tahun terakhir, kemajuan teknologi komunikasi ini melahirkan generasi yang tidak hanya kreatif, tetapi juga kritis. Mereka memahami cara menyampaikan pesan dengan nada halus, terkadang penuh ironi, tetapi tetap memiliki daya ledak yang signifikan. Salah satu fenomena yang menarik perhatian baru-baru ini adalah bagaimana siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), khususnya kelas 10 hingga 12, menggunakan media sosial untuk mengomentari program makan bergizi gratis di sekolah mereka.
Di permukaan, unggahan mereka tampak penuh rasa terima kasih. Mereka menulis dengan nada ringan, kadang disertai guyonan, seolah-olah ingin menunjukkan kebahagiaan atas porsi makan gratis yang mereka terima. Namun, di balik pesan tersurat itu, tersimpan kritik tajam terhadap kualitas makanan yang disajikan. Salah satu unggahan mencatat bahwa "buahnya enak karena tidak diolah, sementara makanan olahan terasa aneh bin ajaib." Ada pula komentar jenaka bahwa telur dadar yang disajikan tampak seperti "satu butir telur yang dipotong menjadi enam bagian." Bahkan, beberapa konten dilengkapi dengan latar belakang lagu Oke Gas Oke Gas, sebuah lagu kampanye yang erat kaitannya dengan pasangan politik tertentu. Kritik-kritik semacam ini menyebar bak virus, memancing perhatian dan reaksi publik.
Fenomena ini memunculkan pertanyaan yang lebih besar: apa sebenarnya yang ingin disampaikan oleh generasi muda ini? Mengapa kritik terhadap makanan sekolah, yang pada dasarnya adalah inisiatif pemerintah untuk memastikan kebutuhan gizi mereka terpenuhi, justru disampaikan dengan cara yang penuh sindiran dan satir? Apakah ini sekadar ungkapan ketidakpuasan terhadap menu makan, atau ada sesuatu yang lebih besar yang ingin mereka suarakan?
Dalam konteks ini, perlu digarisbawahi bahwa kritik yang disampaikan melalui unggahan media sosial ini tidak hanya mencerminkan pengalaman pribadi siswa terhadap makanan, tetapi juga menjadi refleksi atas bagaimana mereka memandang kebijakan pemerintah. Ketika sebuah kebijakan diimplementasikan dengan penuh retorika namun kurang sempurna dalam eksekusinya, generasi muda ini tidak diam. Mereka mengungkapkan kekecewaan mereka dengan cara yang kreatif, dan terkadang, sinis.
Apa yang membuat fenomena ini semakin menarik adalah kontras antara apa yang diharapkan dan kenyataan di lapangan. Di satu sisi, inisiatif makan gratis adalah program yang bertujuan mulia---membantu siswa dari berbagai latar belakang sosial-ekonomi untuk mendapatkan asupan gizi yang layak. Namun, di sisi lain, kritik terhadap kualitas makanan menunjukkan bahwa pelaksanaan program ini jauh dari ekspektasi. Anak-anak muda ini, melalui media sosial, seolah ingin mengatakan bahwa janji-janji mulia itu tidak cukup jika realitasnya penuh dengan kompromi.
Fenomena ini juga menunjukkan kedewasaan baru dalam cara generasi muda menyampaikan pendapat mereka. Alih-alih menyampaikan kritik secara frontal, mereka memilih metode yang lebih halus dan simbolis. Ini bukan hanya sekadar curhatan biasa; ini adalah sebuah protes yang dirancang untuk memancing perhatian tanpa menimbulkan konfrontasi langsung. Dalam dunia yang semakin sarat dengan konflik, pendekatan ini menunjukkan bahwa siswa kita tidak hanya peka terhadap isu, tetapi juga bijak dalam menyuarakan aspirasi mereka.
Namun, di balik kreativitas mereka, ada drama sosial yang patut menjadi perhatian serius. Ketika mereka menggunakan lagu kampanye politik seperti Oke Gas Oke Gas sebagai latar unggahan, pesan yang disampaikan menjadi lebih kompleks. Lagu itu sendiri identik dengan kampanye pasangan tertentu, sehingga menyisipkannya ke dalam kritik terhadap program makan gratis dapat dianggap sebagai sindiran politik. Apakah siswa ini sedang mengkritik pemerintah secara keseluruhan? Atau hanya kebijakan spesifik yang dianggap tidak sesuai dengan tujuan awalnya?
Latar belakang ini memperlihatkan betapa media sosial telah menjadi alat yang sangat kuat bagi siswa untuk menyuarakan keresahan mereka. Generasi ini mungkin tumbuh dalam era serba cepat, tetapi itu tidak berarti mereka kehilangan kemampuan untuk berpikir kritis. Sebaliknya, mereka mampu mengemas kritik sosial dalam bentuk yang ringan, menghibur, tetapi sarat makna. Fenomena ini tidak hanya menyentuh isu makan gratis, tetapi juga berbicara tentang bagaimana kebijakan publik dievaluasi secara informal oleh masyarakat, termasuk oleh anak-anak muda yang secara langsung merasakannya.
Analisis dari Perspektif Ilmu Komunikasi
Fenomena unggahan anak sekolah terkait program makan bergizi gratis ini dapat dianalisis melalui beberapa pendekatan dalam ilmu komunikasi. Salah satu pendekatan yang relevan adalah Teori Penyandian dan Penafsiran Pesan (Encoding-Decoding) yang dikembangkan oleh Stuart Hall. Dalam teori ini, proses komunikasi tidak hanya berhenti pada apa yang ingin disampaikan oleh pengirim pesan (encoding), tetapi juga bagaimana pesan tersebut diterima dan ditafsirkan oleh audiens (decoding). Dalam konteks unggahan anak sekolah ini, siswa menyandikan kritik mereka terhadap kualitas makanan sekolah dalam bentuk humor, sindiran, dan pesan simbolik. Mereka mengemas pesan dalam narasi yang ringan seperti mengucapkan terima kasih atas makan gratis sambil menambahkan keluhan bahwa "buahnya enak karena tidak diolah, sedangkan makanan olahan rasanya aneh bin ajaib." Namun, decoding yang dilakukan audiens, seperti orang dewasa, guru, hingga pemerintah, sangat bervariasi. Ada yang melihatnya sebagai keluhan jenaka yang tidak berbahaya, tetapi bagi yang lebih peka, ini adalah kritik tajam terhadap bagaimana kebijakan makan gratis dieksekusi. Pesan ini menyentuh banyak dimensi, mulai dari kelalaian dalam standar kualitas hingga rasa ironi terhadap janji-janji kebijakan publik.
Dari sudut Komunikasi Nonverbal dan Humor, kita dapat memahami mengapa kritik ini menjadi begitu efektif di media sosial. Humor adalah alat yang sangat kuat untuk menyampaikan pesan tanpa menimbulkan konflik langsung. Anak-anak ini memahami bahwa kritik yang disampaikan secara frontal dapat memicu respons defensif dari pihak yang mereka kritik, seperti sekolah atau pemerintah. Oleh karena itu, mereka menggunakan bahasa sindiran yang penuh humor untuk menjaga pesan tetap santun tetapi tetap menggigit. Pilihan mereka untuk menggunakan lagu populer seperti Oke Gas Oke Gas, yang erat kaitannya dengan kampanye politik, menunjukkan bahwa mereka memiliki kecerdasan simbolik. Mereka memahami bahwa menyisipkan elemen ini tidak hanya akan membuat konten mereka lebih menarik, tetapi juga menambahkan dimensi kritik politik terhadap program makan gratis. Secara tidak langsung, mereka ingin mengungkapkan bahwa ada unsur politisasi dalam kebijakan tersebut, seolah-olah makan gratis ini hanyalah alat propaganda untuk mendulang simpati publik tanpa memperhatikan kualitas eksekusinya.
Dalam perspektif Teori Kritik Sosial, unggahan ini dapat dilihat sebagai bentuk perlawanan halus terhadap sistem. Siswa-siswa ini menyuarakan pengalaman mereka dengan cara yang terlihat remeh tetapi sebenarnya penuh makna. Kritik ini tidak hanya mengenai makanan yang disajikan, tetapi juga tentang ketidakseimbangan antara retorika dan realitas. Program makan bergizi yang semestinya menjadi solusi untuk memastikan kebutuhan nutrisi siswa, justru menciptakan pengalaman yang mengundang tawa getir. Ketika telur dadar dipotong menjadi enam bagian dan kualitas makanan olahan dianggap tidak layak, narasi ini mencerminkan kekecewaan mereka terhadap bagaimana pemerintah memperlakukan kebutuhan dasar siswa. Dengan mengunggahnya ke media sosial, mereka seolah ingin mengatakan: "Kami tahu ini tidak benar, dan kami ingin Anda tahu juga." Kritik ini bersifat kolektif, dan dengan cepat menyebar di dunia maya, menggarisbawahi rasa solidaritas di antara siswa-siswa lainnya yang merasakan hal serupa.
Fenomena ini juga menunjukkan bahwa anak sekolah telah memahami bagaimana memanfaatkan media sosial sebagai alat untuk membangun opini publik. Dalam Teori Agenda-Setting, media sosial memungkinkan generasi muda untuk memengaruhi apa yang dianggap penting oleh masyarakat. Dengan menciptakan narasi yang memancing perhatian, mereka mampu mengangkat isu yang mungkin sebelumnya diabaikan oleh orang dewasa atau pemerintah. Meskipun kelihatannya hanya komentar ringan tentang makanan, unggahan ini sebenarnya membawa pesan yang lebih besar: kegagalan pemerintah dalam memastikan bahwa program yang diusung benar-benar memenuhi kebutuhan mereka. Ini adalah bukti bahwa generasi muda tidak hanya menjadi konsumen kebijakan, tetapi juga kritikus aktif yang mampu menggunakan platform digital untuk menyampaikan kegelisahan mereka.
Namun, di balik kreativitas dan humor ini, terdapat drama komunikasi sosial yang memperlihatkan adanya ketegangan antara harapan dan kenyataan. Generasi muda ini tidak ingin dianggap hanya sebagai penerima pasif kebijakan. Mereka menggunakan bahasa multimedia, dari teks hingga musik, untuk menyampaikan bahwa mereka melihat dan merasakan ketidakseimbangan ini. Ketika mereka memilih untuk mengungkapkan kritik melalui simbol, seperti lagu kampanye, mereka menambahkan lapisan politis yang membuat kritik mereka lebih kompleks. Ini adalah bukti nyata bahwa siswa masa kini sangat peka terhadap konteks sosial-politik yang melingkupi mereka. Pesan mereka bukan sekadar soal makanan; ini adalah cerminan tentang bagaimana kebijakan publik harus dirancang dengan lebih manusiawi, lebih realistis, dan lebih menghargai kebutuhan mereka sebagai individu yang memiliki hak suara.
Secara keseluruhan, analisis ini memperlihatkan bagaimana unggahan sederhana di media sosial bisa menjadi alat komunikasi yang sangat kuat. Dengan memanfaatkan humor, ironi, dan simbolisme, siswa mampu menyampaikan kritik terhadap kebijakan makan gratis yang mereka anggap tidak sesuai harapan. Pesan mereka tidak hanya menjadi viral karena lucu, tetapi juga karena menyentuh masalah nyata yang membutuhkan perhatian serius. Fenomena ini menunjukkan betapa pentingnya mendengarkan generasi muda yang kini telah menemukan suara mereka di era digital. Jika pemerintah dan pemangku kebijakan tidak mampu membaca dan merespons pesan ini, maka mereka akan kehilangan kepercayaan dari generasi yang seharusnya mereka lindungi.
Refleksi
Fenomena kritik terselubung yang disampaikan siswa SMA dan SMK melalui media sosial bukan sekadar gurauan remeh. Ini adalah suara generasi yang mulai jengah dengan retorika besar yang tidak sejalan dengan realitas kecil di piring / baki aluminium makan mereka. Ketika telur dadar menjadi simbol ketidakadilan, dan buah yang "tidak diolah" menjadi satu-satunya hal yang patut diapresiasi, ada ironi pedih yang harus kita baca dengan hati-hati. Generasi ini tidak hanya sedang mengomentari makanan; mereka sedang memprotes sebuah sistem yang sering kali menempatkan mereka sebagai penerima kebijakan tanpa mempertimbangkan kebutuhan mereka secara utuh. Ini adalah generasi yang mampu mengemas kekecewaan menjadi pesan yang viral dan menohok, menggunakan humor sebagai alat perlawanan, dan sindiran sebagai strategi diplomasi.
Apa yang mereka unggah adalah potret kegagalan kita sebagai masyarakat dewasa untuk memahami aspirasi mereka. Bagaimana mungkin program yang bertujuan mulia seperti makan bergizi gratis berubah menjadi bahan lelucon di internet? Jawabannya ada pada kegagalan dalam pelaksanaan, pada kesenjangan antara apa yang dijanjikan dan apa yang diberikan. Dalam drama sosial ini, siswa menjadi tokoh protagonis yang memaksa kita untuk melihat dengan jujur, bukan hanya kualitas makanan yang mereka terima, tetapi juga kualitas perhatian yang kita berikan pada kebutuhan mereka. Ironi ini adalah alarm keras yang menuntut pemerintah dan pemangku kebijakan untuk tidak sekadar berpuas diri dengan jargon populis atau klaim keberhasilan yang setengah matang.
Generasi muda ini telah berbicara, dan cara mereka berbicara menunjukkan bahwa mereka tidak lagi mau diam atau pasrah. Mereka tidak lagi takut untuk mempertanyakan. Di tangan mereka, media sosial menjadi senjata kritis yang lebih tajam daripada pidato panjang atau aksi demonstrasi. Jika suara mereka diabaikan, kita tidak hanya kehilangan kepercayaan mereka, tetapi juga menyiapkan panggung bagi generasi yang akan tumbuh dengan rasa skeptis terhadap semua bentuk kebijakan publik. Mereka sedang berkata, "Kami tidak butuh retorika, kami butuh tindakan nyata." Pertanyaannya sekarang: apakah kita, sebagai masyarakat yang lebih dewasa, cukup berani untuk mendengarkan mereka dan menjawab dengan perubahan yang nyata? Ataukah kita akan terus menumpuk rasa kecewa hingga akhirnya kritik mereka yang hari ini terdengar sebagai sindiran jenaka, suatu saat nanti berubah menjadi jeritan yang tak lagi bisa kita tangkal?
Mari kita perhatikan suara mereka yang tak lagi diam saja!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H