Dalam perspektif Teori Kritik Sosial, unggahan ini dapat dilihat sebagai bentuk perlawanan halus terhadap sistem. Siswa-siswa ini menyuarakan pengalaman mereka dengan cara yang terlihat remeh tetapi sebenarnya penuh makna. Kritik ini tidak hanya mengenai makanan yang disajikan, tetapi juga tentang ketidakseimbangan antara retorika dan realitas. Program makan bergizi yang semestinya menjadi solusi untuk memastikan kebutuhan nutrisi siswa, justru menciptakan pengalaman yang mengundang tawa getir. Ketika telur dadar dipotong menjadi enam bagian dan kualitas makanan olahan dianggap tidak layak, narasi ini mencerminkan kekecewaan mereka terhadap bagaimana pemerintah memperlakukan kebutuhan dasar siswa. Dengan mengunggahnya ke media sosial, mereka seolah ingin mengatakan: "Kami tahu ini tidak benar, dan kami ingin Anda tahu juga." Kritik ini bersifat kolektif, dan dengan cepat menyebar di dunia maya, menggarisbawahi rasa solidaritas di antara siswa-siswa lainnya yang merasakan hal serupa.
Fenomena ini juga menunjukkan bahwa anak sekolah telah memahami bagaimana memanfaatkan media sosial sebagai alat untuk membangun opini publik. Dalam Teori Agenda-Setting, media sosial memungkinkan generasi muda untuk memengaruhi apa yang dianggap penting oleh masyarakat. Dengan menciptakan narasi yang memancing perhatian, mereka mampu mengangkat isu yang mungkin sebelumnya diabaikan oleh orang dewasa atau pemerintah. Meskipun kelihatannya hanya komentar ringan tentang makanan, unggahan ini sebenarnya membawa pesan yang lebih besar: kegagalan pemerintah dalam memastikan bahwa program yang diusung benar-benar memenuhi kebutuhan mereka. Ini adalah bukti bahwa generasi muda tidak hanya menjadi konsumen kebijakan, tetapi juga kritikus aktif yang mampu menggunakan platform digital untuk menyampaikan kegelisahan mereka.
Namun, di balik kreativitas dan humor ini, terdapat drama komunikasi sosial yang memperlihatkan adanya ketegangan antara harapan dan kenyataan. Generasi muda ini tidak ingin dianggap hanya sebagai penerima pasif kebijakan. Mereka menggunakan bahasa multimedia, dari teks hingga musik, untuk menyampaikan bahwa mereka melihat dan merasakan ketidakseimbangan ini. Ketika mereka memilih untuk mengungkapkan kritik melalui simbol, seperti lagu kampanye, mereka menambahkan lapisan politis yang membuat kritik mereka lebih kompleks. Ini adalah bukti nyata bahwa siswa masa kini sangat peka terhadap konteks sosial-politik yang melingkupi mereka. Pesan mereka bukan sekadar soal makanan; ini adalah cerminan tentang bagaimana kebijakan publik harus dirancang dengan lebih manusiawi, lebih realistis, dan lebih menghargai kebutuhan mereka sebagai individu yang memiliki hak suara.
Secara keseluruhan, analisis ini memperlihatkan bagaimana unggahan sederhana di media sosial bisa menjadi alat komunikasi yang sangat kuat. Dengan memanfaatkan humor, ironi, dan simbolisme, siswa mampu menyampaikan kritik terhadap kebijakan makan gratis yang mereka anggap tidak sesuai harapan. Pesan mereka tidak hanya menjadi viral karena lucu, tetapi juga karena menyentuh masalah nyata yang membutuhkan perhatian serius. Fenomena ini menunjukkan betapa pentingnya mendengarkan generasi muda yang kini telah menemukan suara mereka di era digital. Jika pemerintah dan pemangku kebijakan tidak mampu membaca dan merespons pesan ini, maka mereka akan kehilangan kepercayaan dari generasi yang seharusnya mereka lindungi.
Refleksi
Fenomena kritik terselubung yang disampaikan siswa SMA dan SMK melalui media sosial bukan sekadar gurauan remeh. Ini adalah suara generasi yang mulai jengah dengan retorika besar yang tidak sejalan dengan realitas kecil di piring / baki aluminium makan mereka. Ketika telur dadar menjadi simbol ketidakadilan, dan buah yang "tidak diolah" menjadi satu-satunya hal yang patut diapresiasi, ada ironi pedih yang harus kita baca dengan hati-hati. Generasi ini tidak hanya sedang mengomentari makanan; mereka sedang memprotes sebuah sistem yang sering kali menempatkan mereka sebagai penerima kebijakan tanpa mempertimbangkan kebutuhan mereka secara utuh. Ini adalah generasi yang mampu mengemas kekecewaan menjadi pesan yang viral dan menohok, menggunakan humor sebagai alat perlawanan, dan sindiran sebagai strategi diplomasi.
Apa yang mereka unggah adalah potret kegagalan kita sebagai masyarakat dewasa untuk memahami aspirasi mereka. Bagaimana mungkin program yang bertujuan mulia seperti makan bergizi gratis berubah menjadi bahan lelucon di internet? Jawabannya ada pada kegagalan dalam pelaksanaan, pada kesenjangan antara apa yang dijanjikan dan apa yang diberikan. Dalam drama sosial ini, siswa menjadi tokoh protagonis yang memaksa kita untuk melihat dengan jujur, bukan hanya kualitas makanan yang mereka terima, tetapi juga kualitas perhatian yang kita berikan pada kebutuhan mereka. Ironi ini adalah alarm keras yang menuntut pemerintah dan pemangku kebijakan untuk tidak sekadar berpuas diri dengan jargon populis atau klaim keberhasilan yang setengah matang.
Generasi muda ini telah berbicara, dan cara mereka berbicara menunjukkan bahwa mereka tidak lagi mau diam atau pasrah. Mereka tidak lagi takut untuk mempertanyakan. Di tangan mereka, media sosial menjadi senjata kritis yang lebih tajam daripada pidato panjang atau aksi demonstrasi. Jika suara mereka diabaikan, kita tidak hanya kehilangan kepercayaan mereka, tetapi juga menyiapkan panggung bagi generasi yang akan tumbuh dengan rasa skeptis terhadap semua bentuk kebijakan publik. Mereka sedang berkata, "Kami tidak butuh retorika, kami butuh tindakan nyata." Pertanyaannya sekarang: apakah kita, sebagai masyarakat yang lebih dewasa, cukup berani untuk mendengarkan mereka dan menjawab dengan perubahan yang nyata? Ataukah kita akan terus menumpuk rasa kecewa hingga akhirnya kritik mereka yang hari ini terdengar sebagai sindiran jenaka, suatu saat nanti berubah menjadi jeritan yang tak lagi bisa kita tangkal?
Mari kita perhatikan suara mereka yang tak lagi diam saja!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H