Mohon tunggu...
Wira Krida
Wira Krida Mohon Tunggu... Apoteker - Praktisi Komunikasi dan Farmasi

Saya praktisi farmasi industri yang memiliki minat mendalam dalam berbagai aspek komunikasi. Sebagai seorang profesional di bidang farmasi industri, saya telah mengembangkan keahlian di sektor ini melalui pengalaman dan pembelajaran yang terus-menerus. Tidak hanya fokus pada pengembangan teknis dan operasional di industri farmasi, tetapi juga memahami pentingnya komunikasi dalam mendukung dan memperkuat keberhasilan organisasi. Dalam rangka memperluas pengetahuan di luar farmasi, saya memutuskan untuk menempuh pendidikan di bidang komunikasi. Saya meraih gelar Magister Ilmu Komunikasi dari Universitas Paramadina pada tahun 2023. Langkah ini menunjukkan komitmen saya untuk memperdalam pemahaman tentang komunikasi, khususnya dalam konteks komunikasi organisasi dan komunikasi digital, dua bidang yang semakin penting di era globalisasi dan transformasi digital. Saat ini, Saya sedang melanjutkan studi di bidang ilmu komunikasi di Universitas Sahid. Melalui studi ini, saya berharap dapat menggabungkan pengetahuan di sektor farmasi dengan pemahaman yang lebih luas tentang komunikasi, sehingga mampu memberikan kontribusi yang lebih signifikan dalam pengembangan industri farmasi, baik dari segi operasional maupun strategi komunikasi. Bidang minat utama saya meliputi farmasi industri, komunikasi organisasi, serta komunikasi digital, yang menjadi fokus utama untuk pengembangan lebih lanjut di masa depan.

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Fenomena Konten Media Sosial Anak Sekolah: Kritik Terselubung di Balik Ucapan Terimakasih

15 Januari 2025   04:43 Diperbarui: 15 Januari 2025   04:43 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Media sosial telah menjadi panggung besar bagi generasi muda untuk bersuara, menciptakan tren, dan mengekspresikan pandangan mereka terhadap berbagai isu sosial. Dalam beberapa tahun terakhir, kemajuan teknologi komunikasi ini melahirkan generasi yang tidak hanya kreatif, tetapi juga kritis. Mereka memahami cara menyampaikan pesan dengan nada halus, terkadang penuh ironi, tetapi tetap memiliki daya ledak yang signifikan. Salah satu fenomena yang menarik perhatian baru-baru ini adalah bagaimana siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), khususnya kelas 10 hingga 12, menggunakan media sosial untuk mengomentari program makan bergizi gratis di sekolah mereka.

Di permukaan, unggahan mereka tampak penuh rasa terima kasih. Mereka menulis dengan nada ringan, kadang disertai guyonan, seolah-olah ingin menunjukkan kebahagiaan atas porsi makan gratis yang mereka terima. Namun, di balik pesan tersurat itu, tersimpan kritik tajam terhadap kualitas makanan yang disajikan. Salah satu unggahan mencatat bahwa "buahnya enak karena tidak diolah, sementara makanan olahan terasa aneh bin ajaib." Ada pula komentar jenaka bahwa telur dadar yang disajikan tampak seperti "satu butir telur yang dipotong menjadi enam bagian." Bahkan, beberapa konten dilengkapi dengan latar belakang lagu Oke Gas Oke Gas, sebuah lagu kampanye yang erat kaitannya dengan pasangan politik tertentu. Kritik-kritik semacam ini menyebar bak virus, memancing perhatian dan reaksi publik.

Fenomena ini memunculkan pertanyaan yang lebih besar: apa sebenarnya yang ingin disampaikan oleh generasi muda ini? Mengapa kritik terhadap makanan sekolah, yang pada dasarnya adalah inisiatif pemerintah untuk memastikan kebutuhan gizi mereka terpenuhi, justru disampaikan dengan cara yang penuh sindiran dan satir? Apakah ini sekadar ungkapan ketidakpuasan terhadap menu makan, atau ada sesuatu yang lebih besar yang ingin mereka suarakan?

Dalam konteks ini, perlu digarisbawahi bahwa kritik yang disampaikan melalui unggahan media sosial ini tidak hanya mencerminkan pengalaman pribadi siswa terhadap makanan, tetapi juga menjadi refleksi atas bagaimana mereka memandang kebijakan pemerintah. Ketika sebuah kebijakan diimplementasikan dengan penuh retorika namun kurang sempurna dalam eksekusinya, generasi muda ini tidak diam. Mereka mengungkapkan kekecewaan mereka dengan cara yang kreatif, dan terkadang, sinis.

Apa yang membuat fenomena ini semakin menarik adalah kontras antara apa yang diharapkan dan kenyataan di lapangan. Di satu sisi, inisiatif makan gratis adalah program yang bertujuan mulia---membantu siswa dari berbagai latar belakang sosial-ekonomi untuk mendapatkan asupan gizi yang layak. Namun, di sisi lain, kritik terhadap kualitas makanan menunjukkan bahwa pelaksanaan program ini jauh dari ekspektasi. Anak-anak muda ini, melalui media sosial, seolah ingin mengatakan bahwa janji-janji mulia itu tidak cukup jika realitasnya penuh dengan kompromi.

Fenomena ini juga menunjukkan kedewasaan baru dalam cara generasi muda menyampaikan pendapat mereka. Alih-alih menyampaikan kritik secara frontal, mereka memilih metode yang lebih halus dan simbolis. Ini bukan hanya sekadar curhatan biasa; ini adalah sebuah protes yang dirancang untuk memancing perhatian tanpa menimbulkan konfrontasi langsung. Dalam dunia yang semakin sarat dengan konflik, pendekatan ini menunjukkan bahwa siswa kita tidak hanya peka terhadap isu, tetapi juga bijak dalam menyuarakan aspirasi mereka.

Namun, di balik kreativitas mereka, ada drama sosial yang patut menjadi perhatian serius. Ketika mereka menggunakan lagu kampanye politik seperti Oke Gas Oke Gas sebagai latar unggahan, pesan yang disampaikan menjadi lebih kompleks. Lagu itu sendiri identik dengan kampanye pasangan tertentu, sehingga menyisipkannya ke dalam kritik terhadap program makan gratis dapat dianggap sebagai sindiran politik. Apakah siswa ini sedang mengkritik pemerintah secara keseluruhan? Atau hanya kebijakan spesifik yang dianggap tidak sesuai dengan tujuan awalnya?

Latar belakang ini memperlihatkan betapa media sosial telah menjadi alat yang sangat kuat bagi siswa untuk menyuarakan keresahan mereka. Generasi ini mungkin tumbuh dalam era serba cepat, tetapi itu tidak berarti mereka kehilangan kemampuan untuk berpikir kritis. Sebaliknya, mereka mampu mengemas kritik sosial dalam bentuk yang ringan, menghibur, tetapi sarat makna. Fenomena ini tidak hanya menyentuh isu makan gratis, tetapi juga berbicara tentang bagaimana kebijakan publik dievaluasi secara informal oleh masyarakat, termasuk oleh anak-anak muda yang secara langsung merasakannya.

Analisis dari Perspektif Ilmu Komunikasi

Fenomena unggahan anak sekolah terkait program makan bergizi gratis ini dapat dianalisis melalui beberapa pendekatan dalam ilmu komunikasi. Salah satu pendekatan yang relevan adalah Teori Penyandian dan Penafsiran Pesan (Encoding-Decoding) yang dikembangkan oleh Stuart Hall. Dalam teori ini, proses komunikasi tidak hanya berhenti pada apa yang ingin disampaikan oleh pengirim pesan (encoding), tetapi juga bagaimana pesan tersebut diterima dan ditafsirkan oleh audiens (decoding). Dalam konteks unggahan anak sekolah ini, siswa menyandikan kritik mereka terhadap kualitas makanan sekolah dalam bentuk humor, sindiran, dan pesan simbolik. Mereka mengemas pesan dalam narasi yang ringan seperti mengucapkan terima kasih atas makan gratis sambil menambahkan keluhan bahwa "buahnya enak karena tidak diolah, sedangkan makanan olahan rasanya aneh bin ajaib." Namun, decoding yang dilakukan audiens, seperti orang dewasa, guru, hingga pemerintah, sangat bervariasi. Ada yang melihatnya sebagai keluhan jenaka yang tidak berbahaya, tetapi bagi yang lebih peka, ini adalah kritik tajam terhadap bagaimana kebijakan makan gratis dieksekusi. Pesan ini menyentuh banyak dimensi, mulai dari kelalaian dalam standar kualitas hingga rasa ironi terhadap janji-janji kebijakan publik.

Dari sudut Komunikasi Nonverbal dan Humor, kita dapat memahami mengapa kritik ini menjadi begitu efektif di media sosial. Humor adalah alat yang sangat kuat untuk menyampaikan pesan tanpa menimbulkan konflik langsung. Anak-anak ini memahami bahwa kritik yang disampaikan secara frontal dapat memicu respons defensif dari pihak yang mereka kritik, seperti sekolah atau pemerintah. Oleh karena itu, mereka menggunakan bahasa sindiran yang penuh humor untuk menjaga pesan tetap santun tetapi tetap menggigit. Pilihan mereka untuk menggunakan lagu populer seperti Oke Gas Oke Gas, yang erat kaitannya dengan kampanye politik, menunjukkan bahwa mereka memiliki kecerdasan simbolik. Mereka memahami bahwa menyisipkan elemen ini tidak hanya akan membuat konten mereka lebih menarik, tetapi juga menambahkan dimensi kritik politik terhadap program makan gratis. Secara tidak langsung, mereka ingin mengungkapkan bahwa ada unsur politisasi dalam kebijakan tersebut, seolah-olah makan gratis ini hanyalah alat propaganda untuk mendulang simpati publik tanpa memperhatikan kualitas eksekusinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun