Paradigma kritis juga menyoroti pentingnya pelibatan komunitas lokal dalam setiap tahap kebijakan, mulai dari perencanaan hingga implementasi. Kebijakan seperti MBG seharusnya tidak hanya dipandang sebagai solusi sepihak dari pemerintah, tetapi sebagai hasil dari dialog yang inklusif antara pemerintah, masyarakat, dan pemangku kepentingan lainnya.
Pelibatan ini penting untuk memastikan bahwa kebijakan tidak hanya efektif dalam mencapai tujuan utama, tetapi juga adil dan berdampak positif bagi semua pihak yang terlibat.
Dengan demikian, melalui pendekatan kritis, kita tidak hanya dapat mengidentifikasi masalah dalam pelaksanaan MBG, tetapi juga menawarkan solusi yang lebih holistik dan berkelanjutan.
Diskusi
Salah satu aspek yang perlu menjadi perhatian dari program Makan Bergizi Gratis (MBG) adalah dampaknya terhadap ekonomi lokal, khususnya terhadap para penjual makanan di lingkungan sekolah. Kebijakan ini, meskipun bertujuan baik untuk meningkatkan gizi anak-anak sekolah, memiliki konsekuensi yang signifikan bagi pedagang kecil, termasuk pedagang kaki lima yang berjualan di sekitar sekolah dan pengelola kantin sekolah yang telah membayar uang sewa untuk menjalankan usahanya. Pengabaian terhadap dampak ini dapat memperburuk kondisi ekonomi kelompok yang sudah rentan, sehingga bertentangan dengan prinsip kebijakan yang berkeadilan.
Penjual makanan di sekolah sering kali menjadi bagian dari ekosistem ekonomi lokal yang tidak hanya melayani kebutuhan anak-anak, tetapi juga menjadi mata pencaharian utama bagi keluarga mereka. Ketika program MBG memberikan makanan secara gratis kepada siswa, daya beli anak-anak terhadap makanan yang dijual pedagang kecil di sekitar sekolah otomatis berkurang drastis. Hal ini dapat menimbulkan masalah serius, terutama bagi penjual kaki lima yang biasanya tidak memiliki alternatif pendapatan lain. Mereka, yang sering kali merupakan bagian dari kelompok ekonomi lemah, kehilangan pelanggan utama mereka tanpa kompensasi atau dukungan dari pemerintah.
Kondisi ini juga dialami oleh pengelola kantin sekolah yang sudah membayar uang sewa kepada pihak sekolah. Dengan berkurangnya minat siswa untuk membeli makanan karena mereka sudah menerima makanan gratis, pengelola kantin menghadapi penurunan pendapatan yang signifikan. Ironisnya, dalam banyak kasus, biaya sewa kantin tetap harus dibayar penuh tanpa ada pengurangan, meskipun keuntungan mereka merosot. Akibatnya, pengelola kantin tidak hanya dirugikan secara ekonomi tetapi juga terjebak dalam situasi yang tidak adil. Kebijakan seperti ini berisiko memarginalkan para pelaku usaha kecil di lingkungan pendidikan, padahal mereka seharusnya menjadi bagian integral dari sistem yang mendukung anak-anak dan komunitas sekolah secara keseluruhan.
Selain dampak langsung terhadap pendapatan, kebijakan MBG juga menunjukkan kurangnya perhatian terhadap potensi pemberdayaan ekonomi lokal. Pemerintah seharusnya melihat kebijakan ini sebagai peluang untuk melibatkan penjual makanan lokal dalam penyediaan makanan bergizi. Alih-alih sepenuhnya mengandalkan pihak ketiga atau penyedia besar untuk mengelola pengadaan makanan, pemerintah dapat memberdayakan pedagang kecil atau pengelola kantin sebagai mitra dalam pelaksanaan program. Model seperti ini tidak hanya membantu meningkatkan pendapatan pedagang kecil tetapi juga menciptakan rasa kepemilikan lokal terhadap program tersebut. Sayangnya, dalam banyak kasus, pendekatan seperti ini belum diterapkan secara konsisten. Hal ini menunjukkan kurangnya upaya untuk memanfaatkan program MBG sebagai instrumen pemberdayaan ekonomi lokal yang berkelanjutan.
Melalui pendekatan yang lebih inklusif, kebijakan MBG dapat memberikan dampak ganda: memperbaiki gizi anak-anak sekaligus mendukung ekonomi lokal. Pemerintah perlu mengadopsi kebijakan yang lebih holistik dengan melibatkan pedagang kecil dalam rantai distribusi makanan bergizi. Misalnya, para pedagang dapat dilatih untuk menyiapkan makanan sesuai dengan standar gizi yang ditetapkan dan kemudian diberikan peran dalam menyediakan makanan untuk program MBG. Selain itu, pengelola kantin juga dapat difasilitasi untuk menjadi mitra resmi pemerintah dalam menyediakan makanan bergizi bagi siswa. Pendekatan ini tidak hanya membantu mempertahankan keberlangsungan ekonomi mereka tetapi juga mendorong mereka untuk meningkatkan kualitas layanan mereka.
Dari perspektif kritis, kebijakan MBG saat ini mencerminkan kecenderungan sentralistik di mana pemerintah pusat atau daerah mengambil keputusan tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap komunitas lokal. Ketidakhadiran dialog antara pemerintah dan pelaku usaha kecil menunjukkan adanya ketimpangan dalam pengambilan keputusan kebijakan. Paradigma kritis menuntut evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan ini, terutama dalam memastikan bahwa semua pihak yang terdampak mendapatkan perlakuan yang adil. Dengan melibatkan komunitas lokal dan pelaku usaha kecil sebagai mitra, kebijakan MBG dapat menjadi lebih inklusif dan benar-benar menciptakan manfaat yang berkelanjutan bagi semua pihak.
Dari perspektif ilmu komunikasi, tantangan dalam pelaksanaan program Makan Bergizi Gratis (MBG) dapat ditangani dengan strategi komunikasi yang efektif dan berorientasi pada kolaborasi. Komunikasi tidak hanya menjadi alat untuk menyampaikan informasi, tetapi juga memainkan peran penting dalam membangun pemahaman bersama, mendorong partisipasi aktif, dan memastikan keberlanjutan program. Dua pendekatan utama yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan ini adalah komunikasi persuasif dan dialog yang inklusif dengan komunitas lokal, termasuk warga dan pedagang kecil.