Mohon tunggu...
Wira Krida
Wira Krida Mohon Tunggu... Apoteker - Praktisi Komunikasi dan Farmasi

Saya praktisi farmasi industri yang memiliki minat mendalam dalam berbagai aspek komunikasi. Sebagai seorang profesional di bidang farmasi industri, saya telah mengembangkan keahlian di sektor ini melalui pengalaman dan pembelajaran yang terus-menerus. Tidak hanya fokus pada pengembangan teknis dan operasional di industri farmasi, tetapi juga memahami pentingnya komunikasi dalam mendukung dan memperkuat keberhasilan organisasi. Dalam rangka memperluas pengetahuan di luar farmasi, saya memutuskan untuk menempuh pendidikan di bidang komunikasi. Saya meraih gelar Magister Ilmu Komunikasi dari Universitas Paramadina pada tahun 2023. Langkah ini menunjukkan komitmen saya untuk memperdalam pemahaman tentang komunikasi, khususnya dalam konteks komunikasi organisasi dan komunikasi digital, dua bidang yang semakin penting di era globalisasi dan transformasi digital. Saat ini, Saya sedang melanjutkan studi di bidang ilmu komunikasi di Universitas Sahid. Melalui studi ini, saya berharap dapat menggabungkan pengetahuan di sektor farmasi dengan pemahaman yang lebih luas tentang komunikasi, sehingga mampu memberikan kontribusi yang lebih signifikan dalam pengembangan industri farmasi, baik dari segi operasional maupun strategi komunikasi. Bidang minat utama saya meliputi farmasi industri, komunikasi organisasi, serta komunikasi digital, yang menjadi fokus utama untuk pengembangan lebih lanjut di masa depan.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Panggung Pengakuan: Ketika Ego Mengalahkan Empati

9 Desember 2024   04:18 Diperbarui: 9 Desember 2024   04:56 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

"Seperti aktor yang takut kehilangan perannya, manusia kerap terjebak dalam panggung kehidupan di mana pengakuan menjadi piala yang diperjuangkan."

sepertinya ungkapan diatas sangat menggambarkan peran kita sebgai manusia yang haus akan pengakuan.

Pengakuan dan Persaingan: Drama Manusia yang Tak Berujung

Dalam hiruk-pikuk kehidupan modern, pengakuan telah menjadi mata uang sosial yang paling dicari. Banyak individu bersaing dalam arena kehidupan layaknya aktor di panggung teater, menampilkan citra diri yang sempurna dan penuh pencapaian. Namun, apa yang terjadi ketika sorotan mulai bergeser ke arah orang lain? Perasaan terancam oleh keberadaan pesaing sering kali memunculkan respons defensif dan dominasi. Fenomena ini, meski tampak sederhana, menyimpan kompleksitas psikologis dan sosial yang mendalam, yang dapat dijelaskan melalui pendekatan kolaboratif Erving Goffman dan Henri Tajfel.

Menurut Goffman, manusia adalah aktor yang bermain di atas panggung sosial. Dalam teori Impression Management, ia menguraikan bahwa setiap individu berusaha mengontrol bagaimana dirinya dilihat oleh orang lain. Ketika seseorang merasa dirinya "yang terbaik," ia akan berupaya keras mempertahankan citra itu melalui panggung depan (front stage). Di sini, mereka memoles kata-kata, sikap, bahkan tindakan untuk memukau audiens mereka. Namun, di balik tirai panggung belakang (back stage), ada kegelisahan yang tersembunyi sebuah ketakutan bahwa citra ini dapat runtuh kapan saja. Kehadiran pesaing sering kali menjadi ancaman yang memaksa mereka untuk tampil lebih dramatis, bahkan manipulatif, demi menjaga pengakuan sosial yang mereka dambakan.

Sementara itu, Tajfel memberikan perspektif yang berbeda namun saling melengkapi melalui Teori Identitas Sosial. Ia menjelaskan bahwa manusia secara alami membagi diri mereka ke dalam kelompok-kelompok sosial. Dalam upaya mempertahankan status sebagai yang unggul, mereka sering kali melihat keberadaan pesaing sebagai ancaman terhadap identitas sosial mereka. Persaingan bukan hanya tentang individu, tetapi juga tentang menjaga martabat dan status kelompok yang mereka wakili. Hal ini mendorong mereka untuk menggunakan strategi komunikasi yang defensif, menyerang, atau bahkan mendiskreditkan pesaing mereka.

Pendekatan kolaboratif antara Goffman dan Tajfel mengungkap betapa kompleksnya permasalahan ini. Goffman membantu kita memahami bagaimana individu mempersiapkan "pertunjukan" untuk menjaga citra dirinya, sementara Tajfel mengungkap motivasi sosial di balik perilaku tersebut. Fenomena ini mencerminkan paradoks yang dramatis: di satu sisi, manusia ingin diakui sebagai yang terbaik; di sisi lain, mereka terus-menerus merasa tidak cukup baik ketika ada orang lain yang mulai bersinar.

Pada akhirnya, perjuangan untuk pengakuan ini bukan hanya soal kompetisi, tetapi juga drama eksistensial yang mencerminkan kerentanan manusia. Tanpa kesadaran diri dan pemahaman yang mendalam, siklus ini dapat merusak hubungan sosial dan menciptakan konflik yang tak berujung.

Drama Pengakuan: Ketika Superioritas Menjadi Panggung

Dalam kehidupan sosial, setiap individu adalah aktor yang memainkan peran di atas panggung. Mereka mempersiapkan dialog, gestur, dan kostum terbaik untuk memastikan audiens terpukau. Namun, di balik tirai, ada kegelisahan yang mendalam, sebuah ketakutan bahwa peran yang mereka mainkan bisa direbut oleh orang lain. Erving Goffman, melalui teori Impression Management, menggambarkan bagaimana manusia berjuang untuk mengendalikan persepsi orang lain tentang dirinya melalui panggung depan dan belakang. Dalam konteks superioritas dan pengakuan, teori ini menjadi lensa yang sempurna untuk memahami drama manusia yang penuh paradoks.

Panggung Depan: Tempat Keajaiban Dibuat
Di panggung depan, individu berusaha menampilkan citra diri yang sempurna. Bagi seseorang yang merasa dirinya "yang terbaik," panggung ini menjadi arena utama untuk mempertontonkan kehebatan. Kata-kata mereka terukur, gestur mereka penuh percaya diri, dan setiap tindak-tanduk mereka tampak mengesankan. Mereka memancarkan aura superioritas yang memikat, seolah-olah dunia berputar di sekitar mereka. Dalam pikiran mereka, pengakuan adalah piala yang harus dimenangkan, dan penonton, teman, rekan kerja, bahkan keluarga adalah juri yang menentukan nilai mereka.

Namun, apa yang terjadi ketika seorang pesaing muncul? Drama semakin memanas. Sang aktor tidak akan menyerahkan panggung begitu saja. Sebaliknya, ia meningkatkan intensitas pertunjukan: lebih banyak aksi heroik, lebih banyak pencapaian yang diumumkan, lebih banyak senyuman yang dipaksakan. Dalam setiap langkah, mereka memastikan audiens tetap yakin bahwa "tidak ada yang bisa lebih baik dari saya."

Panggung Belakang: Tempat Kerentanan Tersembunyi
Namun, di balik layar, mereka adalah manusia yang rapuh. Panggung belakang adalah tempat di mana topeng superioritas dilepaskan. Di sini, mereka menghadapi ketakutan yang tidak pernah ditunjukkan kepada dunia luar: kegagalan, rasa tidak aman, dan kecemasan bahwa orang lain mungkin mengalahkan mereka. Setiap keberhasilan pesaing adalah ancaman yang membuat mereka merancang strategi baru untuk mempertahankan posisi mereka.

Drama yang Tak Berujung
Dalam pertunjukan ala-ala ini, perilaku superioritas menjadi senjata untuk mengaburkan kerentanan mereka. Mereka menunjukkan kehebatan yang sama berulang kali, berusaha membuktikan bahwa mereka tidak tergantikan. Namun, semakin mereka berusaha keras di panggung depan, semakin besar tekanan di belakang layar.

Teori Goffman mengungkap paradoks ini: manusia adalah aktor yang terus-menerus memainkan peran, tetapi peran tersebut sering kali menjadi beban. Superioritas bukan hanya alat untuk mendapatkan pengakuan, tetapi juga mekanisme defensif untuk menutupi rasa takut kehilangan validasi. Ketika pesaing muncul, drama mereka semakin rumit, memaksa mereka untuk terus berakting, bahkan saat hati mereka berteriak ketakutan.

Identitas Sosial dan Kompetisi: Ketika Harga Diri Menjadi Pertunjukan yang Kejam

Di tengah pusaran dunia sosial, manusia tidak hanya memandang dirinya sebagai individu, tetapi juga sebagai representasi dari sesuatu yang lebih besar: identitas sosialnya. Henri Tajfel, melalui Teori Identitas Sosial, menggambarkan bagaimana individu memandang diri mereka sebagai bagian dari kelompok tertentu dan berjuang untuk menjaga statusnya di mata orang lain. Namun, ketika identitas ini terancam oleh pesaing, sebuah drama sosial yang menyayat hati mulai terungkap di mana mempertahankan reputasi menjadi lebih penting daripada kebenaran.

Menjaga Status: Perang Tanpa Akhir
Bagi seseorang yang telah menempatkan dirinya di puncak, reputasi adalah segalanya. Mereka melihat dirinya sebagai simbol keunggulan, seseorang yang "tidak tergantikan." Ketika seseorang dari kelompok lain, atau bahkan dari kelompoknya sendiri, mencoba bersinar lebih terang, rasa takut kehilangan status menyeruak. Bagi mereka, persaingan ini bukan hanya tentang pengakuan individu, tetapi juga tentang menjaga martabat kelompok yang mereka wakili. Dalam konteks ini, mereka akan melakukan apa saja untuk tetap dianggap sebagai "yang terbaik."

Bahasa Tubuh: Ketegangan yang Terselubung
Bahasa tubuh mereka berbicara banyak. Dengan tatapan yang tajam dan senyum yang penuh kehati-hatian, mereka mengamati pesaing mereka. Bahu mereka tegap, seolah-olah setiap gerakan adalah pernyataan: "Aku lebih unggul darimu." Namun, di balik fasad ini, ada kegelisahan yang tak terkatakan, ketakutan akan kehilangan kendali atas narasi tentang siapa diri mereka.

Ketika momen konfrontasi tiba, mereka tidak segan untuk mempermalukan pesaing mereka di depan umum. Kata-kata yang dilontarkan mungkin tidak berdasar, argumen mereka mungkin ngawur, tetapi hal itu tidak penting. Tujuannya hanya satu: menjatuhkan lawan demi melindungi status mereka. Kebohongan dan manipulasi menjadi alat untuk menjaga citra yang telah mereka bangun dengan susah payah.

Dampak Kejam Kompetisi Sosial
Orang ini tidak peduli jika argumennya retak, selama sorotan tetap tertuju pada mereka. Dengan senyuman dingin, mereka menegaskan keunggulannya, tanpa peduli bahwa reputasi pesaing hancur di depan mata orang lain. Dalam pikiran mereka, penghinaan terhadap pesaing bukanlah kejahatan; itu adalah strategi yang sah untuk bertahan di dunia yang keras ini.

Tajfel mengungkap bagaimana identitas sosial menjadi ladang pertempuran emosional. Ketika seseorang merasa statusnya terancam, mereka akan menggunakan taktik defensif, bahkan destruktif, untuk melindungi posisi mereka. Namun, dalam usaha ini, mereka sering kehilangan sisi kemanusiaan mereka. Kompetisi yang mereka jalani mungkin memenangkan pengakuan sesaat, tetapi juga meninggalkan jejak luka yang mendalam baik bagi diri mereka sendiri maupun orang lain.

Drama Sosial dan Kompetisi: Ketika Identitas dan Pengakuan Berbenturan 

Teori Impression Management dari Erving Goffman dan Teori Identitas Sosial dari Henri Tajfel menjelaskan bagaimana perilaku manusia dipengaruhi oleh kebutuhan mendalam untuk diakui dan dihargai. Kedua pemikiran ini saling melengkapi dalam menganalisis fenomena individu yang merasa terancam oleh pesaing, menunjukkan superioritas, bahkan hingga mempermalukan orang lain demi menjaga pengakuan. Namun, perilaku semacam ini memiliki konsekuensi yang mendalam bagi hubungan interpersonal dan dinamika sosial yang lebih luas.

Penggabungan Pemikiran Goffman dan Tajfel
Goffman mengungkap bahwa manusia bermain di "panggung depan" untuk mengontrol persepsi orang lain. Mereka memoles kata-kata dan tindakan untuk mempertahankan citra ideal, sementara kecemasan mereka tersembunyi di "panggung belakang." Dalam konteks ini, seseorang yang merasa dirinya "terbaik" berusaha keras menunjukkan keunggulannya, terutama ketika ada pesaing. Setiap ancaman terhadap citra ini memicu respons yang lebih dramatis, sering kali manipulatif.

Di sisi lain, Tajfel menjelaskan bahwa kebutuhan untuk mempertahankan identitas sosial menjadi pendorong utama perilaku defensif. Ketika seseorang merasa status kelompoknya terancam, mereka menggunakan strategi untuk melindungi martabat kelompok tersebut. Dalam praktiknya, ini bisa berarti mempermalukan pesaing atau mendiskreditkan mereka di depan orang lain. Bagi mereka, reputasi bukan hanya soal individu, tetapi tentang menjaga posisi kelompok di hierarki sosial.

Konsekuensi Ekstrem pada Hubungan dan Dinamika Sosial
Perilaku ini, meskipun sering kali tidak disadari, memiliki dampak yang merusak. Dalam hubungan interpersonal, sikap defensif dan manipulatif dapat menciptakan ketegangan, kehilangan kepercayaan, dan bahkan permusuhan yang mendalam. Orang yang merasa dipermalukan cenderung membalas, menciptakan lingkaran konflik yang sulit diakhiri.

Di tingkat sosial yang lebih luas, perilaku ini memperkuat polarisasi dan persaingan yang tidak sehat. Alih-alih mendorong kolaborasi dan harmoni, orang menjadi lebih fokus pada melindungi citra mereka sendiri daripada bekerja bersama untuk mencapai tujuan bersama.

Refleksi dan Saran Menghadapi Perilaku Semacam Ini
Perilaku seperti ini mencerminkan kerentanan manusia yang mendalam: rasa takut tidak dihargai. Untuk menghadapi individu semacam ini, penting untuk:

Menjaga Empati: Memahami bahwa perilaku tersebut sering kali berasal dari rasa tidak aman.

Tetap Tegas: Jangan terjebak dalam permainan mereka. Jaga argumen tetap berdasarkan fakta, bukan emosi.

Membangun Dialog Positif: Ajak individu tersebut melihat bahwa kerja sama sering kali lebih menguntungkan daripada persaingan.

Dalam jangka panjang, penting untuk mendorong budaya yang lebih inklusif, di mana pengakuan tidak didasarkan pada superioritas, tetapi pada kontribusi yang bermakna. Dengan demikian, hubungan sosial dapat menjadi lebih sehat, dan konflik yang tidak perlu dapat diminimalkan.

Pada akhirnya, hidup bukanlah tentang siapa yang paling unggul, tetapi tentang bagaimana kita saling menghormati dan mendukung. Mempertahankan hubungan sosial yang sehat berarti meninggalkan kebutuhan untuk selalu benar atau lebih baik, dan menggantinya dengan empati dan kerendahan hati. Ketika kita memilih untuk bersikap friendly, kita menciptakan ruang untuk kepercayaan dan kehangatan yang memperkuat ikatan antarindividu. Ingatlah, hubungan yang baik adalah warisan terindah yang bisa kita tinggalkan, sementara keunggulan yang dipaksakan hanya menciptakan jarak dan keretakan. 

Pilihlah kebaikan; dunia akan menjadi tempat yang lebih damai.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun