Mohon tunggu...
Wira Krida
Wira Krida Mohon Tunggu... Apoteker - Praktisi Komunikasi dan Farmasi

Saya praktisi farmasi industri yang memiliki minat mendalam dalam berbagai aspek komunikasi. Sebagai seorang profesional di bidang farmasi industri, saya telah mengembangkan keahlian di sektor ini melalui pengalaman dan pembelajaran yang terus-menerus. Tidak hanya fokus pada pengembangan teknis dan operasional di industri farmasi, tetapi juga memahami pentingnya komunikasi dalam mendukung dan memperkuat keberhasilan organisasi. Dalam rangka memperluas pengetahuan di luar farmasi, saya memutuskan untuk menempuh pendidikan di bidang komunikasi. Saya meraih gelar Magister Ilmu Komunikasi dari Universitas Paramadina pada tahun 2023. Langkah ini menunjukkan komitmen saya untuk memperdalam pemahaman tentang komunikasi, khususnya dalam konteks komunikasi organisasi dan komunikasi digital, dua bidang yang semakin penting di era globalisasi dan transformasi digital. Saat ini, Saya sedang melanjutkan studi di bidang ilmu komunikasi di Universitas Sahid. Melalui studi ini, saya berharap dapat menggabungkan pengetahuan di sektor farmasi dengan pemahaman yang lebih luas tentang komunikasi, sehingga mampu memberikan kontribusi yang lebih signifikan dalam pengembangan industri farmasi, baik dari segi operasional maupun strategi komunikasi. Bidang minat utama saya meliputi farmasi industri, komunikasi organisasi, serta komunikasi digital, yang menjadi fokus utama untuk pengembangan lebih lanjut di masa depan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Fenomena Pendakwah sekaligus Staf Khusus Presiden dalam Pusaran Konflik Kesopanan menurut Perspektif Konfusianisme

6 Desember 2024   05:52 Diperbarui: 6 Desember 2024   09:22 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Filosofi Konfusianisme menawarkan kerangka moral yang relevan untuk mengkaji fenomena arogansi elit terhadap rakyat kecil. Dalam ajarannya, Konfusius menekankan nilai-nilai inti seperti Ren (kemanusiaan), Li (kesopanan), dan keadilan sebagai fondasi tatanan sosial yang harmonis. Insiden seorang pendakwah yang menghina pedagang es teh dengan kata kasar dapat dilihat sebagai pelanggaran serius terhadap prinsip-prinsip tersebut.

Ren: Kemanusiaan dan Rasa Hormat
Dalam Konfusianisme, Ren adalah inti dari hubungan manusia, mengajarkan empati, rasa hormat, dan perlakuan adil terhadap sesama. Seorang pemimpin, menurut Konfusius, seharusnya menjadi teladan dalam mempraktikkan Ren. Ketika seseorang dalam posisi kekuasaan memilih kata-kata kasar untuk menghina rakyat kecil, ia melanggar prinsip ini dengan menciptakan jurang emosional antara dirinya dan orang yang seharusnya ia lindungi. Dalam kasus ini, pedagang es teh tidak hanya menjadi korban kata-kata kasar, tetapi juga ketidakadilan simbolik yang melucuti martabatnya sebagai manusia.

Li: Kesopanan dan Struktur Sosial
Li merujuk pada tata krama dan norma sosial yang menjaga harmoni dalam masyarakat. Kesopanan bukan sekadar basa-basi, tetapi sebuah mekanisme untuk menunjukkan penghargaan terhadap posisi dan peran setiap individu. Tindakan kasar dari seorang figur publik menunjukkan kegagalan untuk menghormati struktur sosial ini. Dalam tradisi Konfusianisme, seorang pemimpin yang gagal menunjukkan kesopanan telah mengganggu keseimbangan sosial dan menciptakan ketegangan di masyarakat. Kesopanan adalah jembatan yang menghubungkan pemimpin dengan rakyat; tanpa itu, kepemimpinan kehilangan legitimasi moralnya.

Perlawanan terhadap Ketidakadilan
Konfusianisme juga mengajarkan bahwa perlawanan terhadap ketidakadilan adalah kewajiban moral, terutama ketika elit gagal menjalankan tanggung jawabnya dengan benar. Ketika rakyat bersatu menolak perilaku semena-mena, itu bukan sekadar bentuk kemarahan, tetapi upaya kolektif untuk mengembalikan harmoni yang telah rusak. Dalam konteks ini, kritik masif di media sosial mencerminkan peran rakyat sebagai penjaga moralitas publik, sebuah prinsip yang juga sejalan dengan ajaran Konfusianisme tentang pemulihan keseimbangan.

Insiden ini menunjukkan betapa pentingnya Ren dan Li dalam menjaga tatanan sosial. Tanpa keduanya, masyarakat kehilangan arah, dan elit terjebak dalam lingkaran arogansi yang merusak keadilan.

Mengapa Insiden Ini Memicu Reaksi Semesta?

Insiden pendakwah sekaligus staf khusus presiden yang menghina pedagang es teh dengan kata "g*bl*k" bukan hanya ledakan emosi personal, melainkan katalis yang membangkitkan luka kolektif lama: ketegangan kronis antara rakyat dan elit. Dalam masyarakat yang semakin terpolarisasi, insiden semacam ini menjadi pemicu kesadaran akan ketimpangan, menyulut solidaritas rakyat kecil yang merasa lelah dipandang rendah oleh mereka yang berada di puncak kekuasaan. Kata kasar itu bukan sekadar penghinaan kepada individu, melainkan simbol arogansi struktural yang telah menindas selama bertahun-tahun.

Ketegangan Lama antara Rakyat dan Elit
Kesenjangan antara rakyat kecil dan elit penguasa bukanlah fenomena baru. Namun, di era modern, penghinaan langsung yang disampaikan oleh seorang figur publik memiliki dampak yang jauh lebih luas. Rakyat, yang semakin sadar akan hak-haknya, melihat insiden ini sebagai representasi nyata dari betapa jauh para pemimpin telah terpisah dari realitas mereka. Pedagang es teh menjadi simbol perjuangan hidup yang keras, dan kata "g*bl*k" menjadi suara lama yang meremehkan martabat mereka. Insiden ini memantik api kemarahan yang telah lama membara, menunjukkan bahwa rakyat tidak lagi pasif di bawah dominasi elit.

Media Sosial Sebagai Penyeimbang Kekuasaan
Dalam lanskap modern, media sosial telah mengubah cara kekuasaan bekerja. Dulu, elit mendikte narasi tanpa banyak perlawanan; kini, platform digital memungkinkan rakyat untuk melawan balik dengan suara kolektif. Meme, kritik tajam, hingga komentar dari tokoh global seperti Perdana Menteri Malaysia menjadi bukti bahwa kekuasaan publik figur tidak lagi absolut. Media sosial menciptakan demokratisasi opini, di mana perilaku semena-mena dapat diekspos dan dipertanyakan secara terbuka. Respons spontan dari jutaan orang menunjukkan bahwa kata-kata elit tidak bisa lagi dibiarkan tanpa konsekuensi.

Solidaritas Internasional
Hal yang mengejutkan dari insiden ini adalah bagaimana dunia internasional ikut bersuara. Sindiran dari akun seperti Manchester United hingga tokoh politik luar negeri mencerminkan bahwa kasus ini memiliki relevansi universal. Solidaritas global ini memperlihatkan bahwa nilai-nilai kesopanan, keadilan, dan penghormatan terhadap rakyat kecil melampaui batas geografis. Dunia bersatu untuk menolak arogansi, mengingatkan bahwa perilaku semena-mena oleh elit adalah masalah yang tidak bisa ditoleransi, di mana pun itu terjadi.

Insiden ini menjadi bukti nyata bahwa rakyat dunia, baik lokal maupun global, tidak akan tinggal diam ketika martabat mereka diinjak-injak oleh mereka yang seharusnya menjadi teladan. Ini adalah pertanda bahwa era kekuasaan tanpa akuntabilitas telah berakhir.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun