Mohon tunggu...
Wira Krida
Wira Krida Mohon Tunggu... Apoteker - Praktisi Komunikasi dan Farmasi

Saya praktisi farmasi industri yang memiliki minat mendalam dalam berbagai aspek komunikasi. Sebagai seorang profesional di bidang farmasi industri, saya telah mengembangkan keahlian di sektor ini melalui pengalaman dan pembelajaran yang terus-menerus. Tidak hanya fokus pada pengembangan teknis dan operasional di industri farmasi, tetapi juga memahami pentingnya komunikasi dalam mendukung dan memperkuat keberhasilan organisasi. Dalam rangka memperluas pengetahuan di luar farmasi, saya memutuskan untuk menempuh pendidikan di bidang komunikasi. Saya meraih gelar Magister Ilmu Komunikasi dari Universitas Paramadina pada tahun 2023. Langkah ini menunjukkan komitmen saya untuk memperdalam pemahaman tentang komunikasi, khususnya dalam konteks komunikasi organisasi dan komunikasi digital, dua bidang yang semakin penting di era globalisasi dan transformasi digital. Saat ini, Saya sedang melanjutkan studi di bidang ilmu komunikasi di Universitas Sahid. Melalui studi ini, saya berharap dapat menggabungkan pengetahuan di sektor farmasi dengan pemahaman yang lebih luas tentang komunikasi, sehingga mampu memberikan kontribusi yang lebih signifikan dalam pengembangan industri farmasi, baik dari segi operasional maupun strategi komunikasi. Bidang minat utama saya meliputi farmasi industri, komunikasi organisasi, serta komunikasi digital, yang menjadi fokus utama untuk pengembangan lebih lanjut di masa depan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Fenomena Pendakwah sekaligus Staf Khusus Presiden dalam Pusaran Konflik Kesopanan menurut Perspektif Konfusianisme

6 Desember 2024   05:52 Diperbarui: 6 Desember 2024   09:22 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Dalam dunia yang terhubung secara digital, setiap tindakan publik figur tidak hanya menjadi perhatian lokal, tetapi juga meluas hingga menjangkau masyarakat global. Insiden seorang pendakwah yang juga menjabat sebagai staf khusus presiden bidang kerukunan beragama menggunakan kata-kata kasar terhadap seorang pedagang es teh, telah menjadi katalis yang memantik gelombang reaksi luar biasa. Dengan satu kata "g*bl*k" yang terucap di tengah konteks kesenjangan sosial yang semakin melebar, peristiwa ini menjadi simbol ketidakharmonisan antara pemimpin dan rakyatnya.

Media sosial, sebagai ruang publik modern, segera menjadi medan kritik tanpa batas. Akun-akun besar, mulai dari Manchester United hingga Perdana Menteri Malaysia, memberikan komentar sinis yang mencerminkan rasa jengah terhadap perilaku yang tidak mencerminkan kehormatan jabatan. Dalam waktu singkat, insiden ini bukan hanya menjadi diskursus nasional, tetapi juga menjadi cerminan global tentang bagaimana para pemimpin seharusnya bersikap. Hal ini menegaskan satu hal: dunia tidak lagi mentolerir arogansi, apalagi ketika itu berasal dari sosok yang diharapkan menjadi teladan.

Pentingnya membahas fenomena ini tidak semata-mata karena popularitas kasusnya, tetapi karena ia memunculkan pertanyaan mendasar tentang moralitas dan tanggung jawab dalam kepemimpinan. Bagaimana mungkin seseorang yang seharusnya menjembatani harmoni, justru menjadi simbol ketidaksopanan? Lebih dari itu, kasus ini mencerminkan paradoks besar: di satu sisi, pemimpin diharapkan menjadi panutan moral; di sisi lain, kata-kata kasar menunjukkan betapa jauhnya mereka dari realitas dan nilai-nilai dasar rakyat yang mereka wakili.

Fenomena ini adalah cermin dari keterasingan elit mereka yang sering merasa berhak menghakimi tanpa memahami perjuangan orang kecil. Dalam dialektika sosial, perlawanan rakyat terhadap perilaku seperti ini bukanlah sekadar ekspresi kekecewaan, melainkan upaya untuk mengembalikan keseimbangan moral dalam masyarakat. Ketika keadilan tampak dirampas oleh kesombongan kekuasaan, kritik yang masif menjadi suara kolektif yang menuntut perubahan.

Insiden ini bukan sekadar skandal, tetapi pelajaran pahit bahwa kesopanan dan kemanusiaan adalah prasyarat utama bagi siapa pun yang ingin memimpin. Tanpa keduanya, setiap kata dan tindakan pemimpin hanya akan memperdalam jurang ketidakpercayaan antara mereka dan rakyatnya.

Fenomena Perilaku Elit dan Kesenjangan Moralitas

Fenomena perilaku elit sering kali menjadi cermin yang memperlihatkan jurang antara mereka yang memegang kekuasaan dan rakyat yang mereka wakili. Insiden pendakwah sekaligus staf khusus presiden yang menghina pedagang es teh dengan kata "g*bl*k" adalah salah satu contoh nyata di mana posisi publik disalahgunakan, bukan sebagai sarana menciptakan harmoni, melainkan sebagai ekspresi arogansi. Dalam posisi publik, kata memiliki kekuatan yang jauh melampaui makna literalnya ia adalah representasi moralitas, legitimasi, dan kepercayaan. Ketika seorang pemimpin menggunakan kata kasar di ruang publik, ia tidak hanya menghina individu yang menjadi sasarannya tetapi juga merendahkan posisi yang diembannya.

Respons masyarakat digital terhadap insiden ini menunjukkan bahwa publik tidak lagi pasif di bawah hegemoni elit. Di era media sosial, platform seperti Twitter, Instagram, dan TikTok menjadi alat kontrol sosial yang efektif. Kritik spontan, meme yang viral, hingga suara lantang dari akun-akun besar seperti Manchester United dan Perdana Menteri Malaysia menunjukkan bahwa tindakan elit kini diawasi secara kolektif. Fenomena ini memperlihatkan bahwa masyarakat, meskipun tampak tercerai-berai dalam berbagai isu, dapat bersatu ketika nilai-nilai dasar seperti kesopanan dan keadilan dilanggar secara terang-terangan. Media sosial, dalam hal ini, menjadi panggung di mana ketidaksopanan elit diekspos dan dipertanyakan.

Namun, yang lebih mengkhawatirkan adalah akar dari fenomena ini: keterasingan elit dari realitas rakyat. Ketika seseorang berada di posisi kekuasaan, mereka sering kehilangan kemampuan untuk merasakan empati terhadap kehidupan sehari-hari rakyat kecil. Pedagang es teh, simbol rakyat yang bekerja keras untuk mencari nafkah, diperlakukan sebagai objek hinaan, bukan sebagai bagian dari masyarakat yang seharusnya dilindungi. Hal ini memperlihatkan jurang moral yang lebar, di mana nilai-nilai dasar seperti rasa hormat, empati, dan kesopanan lenyap di tengah arogansi dan privilege kekuasaan.

Fenomena ini adalah pengingat keras bahwa seorang pemimpin yang gagal memahami rakyatnya, baik melalui kata-kata maupun tindakan, tidak hanya kehilangan legitimasi moral tetapi juga berisiko memicu perlawanan kolektif. Masyarakat tidak lagi sekadar penonton; mereka adalah penjaga nilai-nilai dasar yang tidak boleh diabaikan.

Perspektif Konfusianisme: Kesopanan, Kemanusiaan, dan Keadilan

Filosofi Konfusianisme menawarkan kerangka moral yang relevan untuk mengkaji fenomena arogansi elit terhadap rakyat kecil. Dalam ajarannya, Konfusius menekankan nilai-nilai inti seperti Ren (kemanusiaan), Li (kesopanan), dan keadilan sebagai fondasi tatanan sosial yang harmonis. Insiden seorang pendakwah yang menghina pedagang es teh dengan kata kasar dapat dilihat sebagai pelanggaran serius terhadap prinsip-prinsip tersebut.

Ren: Kemanusiaan dan Rasa Hormat
Dalam Konfusianisme, Ren adalah inti dari hubungan manusia, mengajarkan empati, rasa hormat, dan perlakuan adil terhadap sesama. Seorang pemimpin, menurut Konfusius, seharusnya menjadi teladan dalam mempraktikkan Ren. Ketika seseorang dalam posisi kekuasaan memilih kata-kata kasar untuk menghina rakyat kecil, ia melanggar prinsip ini dengan menciptakan jurang emosional antara dirinya dan orang yang seharusnya ia lindungi. Dalam kasus ini, pedagang es teh tidak hanya menjadi korban kata-kata kasar, tetapi juga ketidakadilan simbolik yang melucuti martabatnya sebagai manusia.

Li: Kesopanan dan Struktur Sosial
Li merujuk pada tata krama dan norma sosial yang menjaga harmoni dalam masyarakat. Kesopanan bukan sekadar basa-basi, tetapi sebuah mekanisme untuk menunjukkan penghargaan terhadap posisi dan peran setiap individu. Tindakan kasar dari seorang figur publik menunjukkan kegagalan untuk menghormati struktur sosial ini. Dalam tradisi Konfusianisme, seorang pemimpin yang gagal menunjukkan kesopanan telah mengganggu keseimbangan sosial dan menciptakan ketegangan di masyarakat. Kesopanan adalah jembatan yang menghubungkan pemimpin dengan rakyat; tanpa itu, kepemimpinan kehilangan legitimasi moralnya.

Perlawanan terhadap Ketidakadilan
Konfusianisme juga mengajarkan bahwa perlawanan terhadap ketidakadilan adalah kewajiban moral, terutama ketika elit gagal menjalankan tanggung jawabnya dengan benar. Ketika rakyat bersatu menolak perilaku semena-mena, itu bukan sekadar bentuk kemarahan, tetapi upaya kolektif untuk mengembalikan harmoni yang telah rusak. Dalam konteks ini, kritik masif di media sosial mencerminkan peran rakyat sebagai penjaga moralitas publik, sebuah prinsip yang juga sejalan dengan ajaran Konfusianisme tentang pemulihan keseimbangan.

Insiden ini menunjukkan betapa pentingnya Ren dan Li dalam menjaga tatanan sosial. Tanpa keduanya, masyarakat kehilangan arah, dan elit terjebak dalam lingkaran arogansi yang merusak keadilan.

Mengapa Insiden Ini Memicu Reaksi Semesta?

Insiden pendakwah sekaligus staf khusus presiden yang menghina pedagang es teh dengan kata "g*bl*k" bukan hanya ledakan emosi personal, melainkan katalis yang membangkitkan luka kolektif lama: ketegangan kronis antara rakyat dan elit. Dalam masyarakat yang semakin terpolarisasi, insiden semacam ini menjadi pemicu kesadaran akan ketimpangan, menyulut solidaritas rakyat kecil yang merasa lelah dipandang rendah oleh mereka yang berada di puncak kekuasaan. Kata kasar itu bukan sekadar penghinaan kepada individu, melainkan simbol arogansi struktural yang telah menindas selama bertahun-tahun.

Ketegangan Lama antara Rakyat dan Elit
Kesenjangan antara rakyat kecil dan elit penguasa bukanlah fenomena baru. Namun, di era modern, penghinaan langsung yang disampaikan oleh seorang figur publik memiliki dampak yang jauh lebih luas. Rakyat, yang semakin sadar akan hak-haknya, melihat insiden ini sebagai representasi nyata dari betapa jauh para pemimpin telah terpisah dari realitas mereka. Pedagang es teh menjadi simbol perjuangan hidup yang keras, dan kata "g*bl*k" menjadi suara lama yang meremehkan martabat mereka. Insiden ini memantik api kemarahan yang telah lama membara, menunjukkan bahwa rakyat tidak lagi pasif di bawah dominasi elit.

Media Sosial Sebagai Penyeimbang Kekuasaan
Dalam lanskap modern, media sosial telah mengubah cara kekuasaan bekerja. Dulu, elit mendikte narasi tanpa banyak perlawanan; kini, platform digital memungkinkan rakyat untuk melawan balik dengan suara kolektif. Meme, kritik tajam, hingga komentar dari tokoh global seperti Perdana Menteri Malaysia menjadi bukti bahwa kekuasaan publik figur tidak lagi absolut. Media sosial menciptakan demokratisasi opini, di mana perilaku semena-mena dapat diekspos dan dipertanyakan secara terbuka. Respons spontan dari jutaan orang menunjukkan bahwa kata-kata elit tidak bisa lagi dibiarkan tanpa konsekuensi.

Solidaritas Internasional
Hal yang mengejutkan dari insiden ini adalah bagaimana dunia internasional ikut bersuara. Sindiran dari akun seperti Manchester United hingga tokoh politik luar negeri mencerminkan bahwa kasus ini memiliki relevansi universal. Solidaritas global ini memperlihatkan bahwa nilai-nilai kesopanan, keadilan, dan penghormatan terhadap rakyat kecil melampaui batas geografis. Dunia bersatu untuk menolak arogansi, mengingatkan bahwa perilaku semena-mena oleh elit adalah masalah yang tidak bisa ditoleransi, di mana pun itu terjadi.

Insiden ini menjadi bukti nyata bahwa rakyat dunia, baik lokal maupun global, tidak akan tinggal diam ketika martabat mereka diinjak-injak oleh mereka yang seharusnya menjadi teladan. Ini adalah pertanda bahwa era kekuasaan tanpa akuntabilitas telah berakhir.

Pelajaran dari Insiden Ini

Insiden pendakwah sekaligus staf khusus presiden yang menghina pedagang es teh telah menciptakan gelombang kesadaran kolektif yang tidak bisa diabaikan. Peristiwa ini bukan hanya sebuah skandal komunikasi, melainkan cerminan mendalam tentang krisis kepemimpinan, ketimpangan moral, dan kesenjangan sosial yang melebar. Dalam setiap kata kasar yang diucapkan oleh seorang pemimpin, ada kehancuran atas kepercayaan, dan dalam setiap kegagalan elit untuk bertindak sesuai dengan nilai-nilai moral, ada dorongan bagi rakyat untuk mempertanyakan legitimasi mereka.

Kebutuhan Akan Pemimpin Berkarakter
Seorang pemimpin bukan sekadar pembuat kebijakan; ia adalah simbol nilai-nilai yang diwakili oleh masyarakatnya. Insiden ini mempertegas kebutuhan mendesak akan pemimpin yang memiliki karakter, bukan sekadar gelar atau jabatan. Pemimpin yang berkarakter adalah mereka yang mampu menempatkan kesopanan di atas arogansi, empati di atas penghinaan, dan tanggung jawab di atas privilese. Mereka menyadari bahwa setiap kata memiliki dampak, bahwa kekuasaan adalah sebuah amanah yang harus digunakan untuk membangun, bukan merendahkan. Dalam era yang semakin transparan, pemimpin yang gagal menjaga moralitasnya tidak hanya kehilangan legitimasi, tetapi juga menghadapi kemarahan rakyat yang semakin vokal.

Peran Masyarakat dalam Menjaga Akuntabilitas
Namun, tanggung jawab tidak sepenuhnya berada di pundak pemimpin. Masyarakat, terutama di era digital, memiliki peran penting sebagai penjaga akuntabilitas. Media sosial telah menjadi ruang demokratisasi opini, di mana rakyat dapat menyuarakan kritik mereka dengan cara yang langsung dan terbuka. Dalam insiden ini, kritik masif di media sosial menunjukkan bahwa masyarakat tidak lagi bersedia menerima perilaku semena-mena dari elit. Ini adalah bentuk baru dari akuntabilitas kolektif, di mana rakyat memegang kendali untuk mempertahankan nilai-nilai dasar seperti kesopanan dan keadilan.

Mengembalikan Kesopanan sebagai Nilai Dasar
Kesopanan, yang sering dianggap sebagai nilai lama, kini muncul sebagai kebutuhan mendesak dalam kehidupan publik. Di tengah budaya digital yang serba cepat dan sering kali kasar, kesopanan adalah landasan yang dapat menjaga harmoni sosial. Insiden ini menjadi pengingat bahwa kesopanan bukan sekadar formalitas, tetapi wujud penghormatan terhadap sesama manusia. Mengembalikan kesopanan sebagai nilai dasar berarti menciptakan masyarakat yang saling menghormati, terlepas dari status sosial atau posisi kekuasaan.

Refleksi Filosofis
Dalam perspektif yang lebih mendalam, insiden ini menunjukkan bahwa manusia sebagai makhluk sosial membutuhkan nilai-nilai moral untuk menjaga keteraturan. Filosofi seperti Konfusianisme mengajarkan bahwa pemimpin harus menjadi teladan dalam mengutamakan kesopanan, keadilan, dan kemanusiaan. Tanpa nilai-nilai ini, tatanan sosial menjadi rapuh, dan konflik menjadi tidak terelakkan. Insiden ini mengingatkan kita bahwa setiap tindakan elit, baik kecil maupun besar, memiliki konsekuensi moral yang jauh melampaui individu.

Ajakan untuk Perubahan
Sudah saatnya kita berhenti menganggap perilaku tidak pantas dari elit sebagai sesuatu yang lumrah. Rakyat harus terus bersuara, bukan hanya sebagai bentuk kritik, tetapi juga sebagai dorongan untuk perubahan. Kita membutuhkan pemimpin yang lebih baik, bukan hanya dari segi kompetensi, tetapi juga karakter. Perubahan tidak hanya harus datang dari atas, tetapi juga dari bawah, melalui pendidikan, diskusi, dan kesadaran kolektif.

Harapan ke Depan
Harapan ke depan adalah masyarakat yang lebih beradab, di mana kesopanan menjadi norma, bukan pengecualian, dan di mana pemimpin memahami bahwa mereka adalah pelayan rakyat, bukan penguasanya. Insiden ini harus menjadi pelajaran, bukan hanya untuk individu yang terlibat, tetapi juga untuk kita semua, bahwa keadilan, kesopanan, dan kemanusiaan adalah fondasi yang tidak boleh dikompromikan dalam membangun masyarakat yang lebih baik.

Bangkitlah, wahai rakyat! Jadilah penjaga nilai-nilai luhur: keadilan, kesopanan, dan kemanusiaan. Pemimpin sejati lahir dari masyarakat yang berani bersuara dan bertindak. Masa depan ada di tangan kita wujudkan dunia di mana martabat dihormati, kekuasaan melayani, dan kesopanan menjadi kekuatan yang mempersatukan!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun