Dalam jangka panjang, hal ini menciptakan situasi di mana kelas bawah semakin terpinggirkan, sementara kelas atas tetap nyaman
Kontroversi dan Keadilan Sosial
Kontroversi muncul karena sifat PPN yang tidak membedakan kemampuan membayar antara kelas ekonomi atas dan bawah. Ini bertentangan dengan prinsip keadilan sosial yang diamanatkan oleh UUD 1945 Pasal 33, di mana ekonomi harus disusun untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.Â
Dalam konteks ini, kebijakan PPN 12% dipandang bertolak belakang dengan semangat pemikiran Muhammad Hatta, yang selalu mengedepankan keberpihakan kepada rakyat kecil.
Peningkatan PPN tanpa mitigasi untuk melindungi kelompok rentan berpotensi menambah jurang kesenjangan. Oleh karena itu, diperlukan kebijakan pajak yang lebih progresif, seperti penghapusan pajak untuk barang kebutuhan pokok atau peningkatan insentif bagi kelompok masyarakat menengah dan miskin.Â
Pemikiran Bung Hatta: Ekonomi Berdikari dan Kritik terhadap PPN yang Tidak Adil
Muhammad Hatta, yang sering disebut sebagai bapak ekonomi kerakyatan, memiliki visi yang tajam tentang bagaimana ekonomi harus dikelola untuk melayani kepentingan rakyat banyak.Â
Konteks ekonomi berdikari, Hatta menegaskan bahwa sebuah negara harus membangun sistem ekonomi yang tidak hanya berorientasi pada pertumbuhan, tetapi juga menjamin keadilan sosial sebagai pilar utama.Â
Pemikirannya inilah yang relevan untuk menyoroti kebijakan seperti kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang bersifat regresif dan membebani rakyat kecil secara tidak proporsional.
Prinsip Ekonomi Berdikari: Mengutamakan Kesejahteraan Kolektif
Bagi Bung Hatta, ekonomi berdikari bukan hanya berarti bebas dari dominasi asing, tetapi juga berdiri di atas dasar keberpihakan kepada rakyat kecil. Sistem ekonomi yang ia bayangkan adalah yang mengutamakan pemerataan, tidak sekadar akumulasi kekayaan oleh segelintir pihak.Â