Fenomena politik di Indonesia telah lama berakar pada personalisme, di mana kekuatan figur seorang pemimpin sering kali menentukan arah elektoral. Salah satu manifestasi terbesarnya adalah "Jokowi Effect," sebuah istilah yang menggambarkan dampak elektoral luar biasa dari sosok Joko Widodo, presiden ke-7 Indonesia, yang berhasil memengaruhi hasil pemilu baik secara langsung maupun melalui kandidat-kandidat yang didukungnya. Namun, menjelang Pilkada Gubernur Jakarta 2024, daya magis "Jokowi Effect" tampaknya sangat memudar, membuka ruang bagi dinamika politik yang baru.
Pilkada Jakarta selalu menjadi barometer politik nasional. Jakarta mencerminkan dinamika sosial, ekonomi, dan politik yang lebih luas di Indonesia. Dalam beberapa dekade terakhir, hasil Pilkada Jakarta bahkan dianggap mampu memproyeksikan arah politik nasional. Pada Pilkada 2024, pasangan Ridwan Kamil dan Suswono yang mengusung nama "Rido" dan didukung Koalisi Indonesia Maju (KIM) tampaknya akan menjadi pusat perhatian. Pasangan ini digadang-gadang membawa harapan baru.
Secara historis, "Jokowi Effect" lahir dari popularitas Jokowi sebagai sosok pemimpin sederhana yang merakyat. Citra ini memberikan keunggulan besar pada kandidat yang berada dalam orbit politiknya, termasuk pada pemilu-pemilu sebelumnya. Namun, seiring waktu, ekspektasi masyarakat terhadap Jokowi mulai mengalami koreksi. Tantangan-tantangan seperti ketimpangan ekonomi, polarisasi sosial, hingga kritik atas beberapa kebijakan pemerintahannya membuat sebagian masyarakat mulai mempertanyakan relevansi figur Jokowi dalam menentukan pilihan politik mereka.
Menurunnya pengaruh "Jokowi Effect" juga menandai adanya dinamika pola pikir pemilih Jakarta. Dalam masyarakat urban yang semakin kritis, pragmatisme mulai menggantikan personalisme. Kinerja nyata, visi konkret, dan solusi terhadap permasalahan kota menjadi aspek yang lebih diperhatikan daripada afiliasi politik atau dukungan figur sentral. Dalam konteks ini, pasangan Rido menghadapi tantangan besar untuk mendefinisikan ulang relevansi mereka dalam lanskap politik Jakarta yang berubah cepat.
Tulisan ini bertujuan untuk menganalisis secara kritis hilangnya "Jokowi Effect" dalam Pilkada Jakarta 2024 melalui lensa pemikiran Soe Hok Gie. Pemikiran Gie yang tajam tentang ilusi harapan dalam politik menjadi fondasi untuk mengeksplorasi apakah pasangan Rido benar-benar representasi harapan baru atau sekadar bagian dari strategi politik lama. Mampukah mereka menjawab kebutuhan masyarakat Jakarta yang semakin kritis?
Siapa Soe Hok gie? Apa Pemikirannya?
Soe Hok Gie (1942--1969) adalah seorang aktivis, intelektual, dan penulis yang dikenal karena pemikirannya yang tajam tentang politik, moralitas, dan kemanusiaan. Ia lantang mengkritik politikus korup, status quo, dan harapan politik yang ilusif. Gie percaya pada pentingnya skeptisisme dan kejujuran dalam politik, menolak kultus individu, dan mendukung perjuangan demi keadilan sosial.
Pemikiran Gie sangat relevan dalam membahas isu kekalahan pasangan Rido yang tengah menjadi perhatian publik. Kritiknya terhadap ilusi harapan dan personalisme politik membantu menganalisis mengapa "Jokowi Effect" tak lagi memengaruhi pemilih Jakarta yang semakin pragmatis dan menuntut solusi nyata.
Pengertian Jokowi effect
Dalam lanskap politik Indonesia, "Jokowi Effect" adalah fenomena unik yang lahir dari kombinasi citra personal seorang pemimpin dengan harapan besar masyarakat akan perubahan. Istilah ini merujuk pada daya tarik elektoral luar biasa yang dimiliki oleh Joko Widodo, yang mampu mendorong kandidat-kandidat politik lain untuk menang hanya dengan keterkaitan atau dukungan darinya. Citra Jokowi sebagai pemimpin sederhana, merakyat, dan "bersih" dari praktik korupsi adalah fondasi dari efek ini. Pada masa puncaknya, terutama di Pemilu 2014 dan 2019, "Jokowi Effect" menjadi daya dorong utama yang mampu menggiring massa, meruntuhkan lawan politik, dan menyatukan aspirasi pemilih dari berbagai lapisan sosial. Namun, apakah efek ini masih relevan menjelang Pilkada Gubernur Jakarta 2024?
Perubahan Lingkungan Sosial dan Politik
Seiring waktu, daya pikat "Jokowi Effect" mulai mengalami erosi. Beberapa faktor menyumbang pada fenomena ini, termasuk perubahan pola pikir masyarakat yang kini semakin kritis terhadap performa pemerintah. Di Jakarta khususnya, yang menjadi episentrum politik nasional, masyarakat urban semakin mengedepankan pragmatisme dibandingkan personalisme. Isu-isu seperti kemacetan, banjir, biaya hidup, dan ketimpangan sosial menjadi prioritas utama pemilih, yang lebih memilih kandidat dengan solusi konkret dibandingkan sosok karismatik.
Di tingkat nasional, beberapa kebijakan pemerintahan Jokowi yang kontroversial, seperti proyek pembangunan IKN (Ibu Kota Negara) dan penanganan krisis ekonomi pasca-pandemi, telah mengurangi kepercayaan masyarakat pada simbol politiknya. Polarisasi politik yang kian tajam juga berkontribusi, menciptakan jurang perpecahan yang membuat daya pikat Jokowi tak lagi universal. Dalam situasi ini, "Jokowi Effect" menghadapi ujian berat di Pilkada Jakarta, di mana tantangan urban membutuhkan lebih dari sekadar karisma seorang pemimpin.
Kritik Soe Hok Gie tentang Harapan Politik
Pemikiran Soe Hok Gie memberikan perspektif yang relevan dalam memahami fenomena ini. Dalam esainya, Gie kerap mengkritik optimisme berlebihan terhadap tokoh politik, yang ia anggap sering kali berakhir sebagai ilusi. Baginya, pemilih cenderung mengidolakan pemimpin tanpa mengevaluasi realitas yang sebenarnya. Hal ini selaras dengan "Jokowi Effect," di mana citra personal Jokowi pada awalnya mengaburkan ekspektasi realistis masyarakat. Namun, ketika janji-janji itu tidak sepenuhnya terpenuhi, kekecewaan muncul, dan masyarakat mulai mempertanyakan harapan tersebut.
Kritik Gie menekankan pentingnya skeptisisme sehat dalam politik. Dalam konteks Pilkada Jakarta 2024, pendekatan ini menjadi pelajaran penting bagi pemilih. Pasangan Ridwan Kamil-Suswono (Rido) harus membuktikan bahwa mereka lebih dari sekadar penerus narasi "Jokowi Effect." Mereka dituntut menghadirkan visi konkret yang menjawab kebutuhan masyarakat Jakarta, bukan hanya memanfaatkan citra pendukung politik dan mimpi - mimpi yang tidak relevan. Kritik Gie menjadi pengingat bahwa politik harus dilihat secara realistis, dengan harapan yang berlandaskan pada program dan solusi nyata
Eksplorasi Kritik Soe Hok Gie: Harapan vs Realitas
Pemikiran Soe Hok Gie memberikan perspektif kritis dalam memahami dinamika politik Jakarta. Gie mengingatkan bahwa harapan masyarakat sering kali dikapitalisasi oleh politisi untuk mendulang suara, tanpa komitmen nyata untuk perubahan. Dalam konteks pasangan Rido, ekspektasi yang mereka bangun harus berhadapan dengan realitas pragmatis masyarakat Jakarta.
Gie juga menekankan pentingnya transparansi dan kejujuran dalam politik. Pasangan Rido harus mampu membuktikan bahwa mereka tidak hanya menjual mimpi, tetapi juga memiliki rencana konkret untuk memperbaiki kota Jakarta. Kritik Gie menjadi cermin bagi pemilih untuk lebih skeptis terhadap janji-janji politik yang menggiurkan, serta menjadi tantangan bagi pasangan Rido untuk menyeimbangkan harapan masyarakat dengan program kerja yang realistis.
Hasil Pilkada Gubernur Jakarta 2024 menunjukkan kekalahan pasangan Ridwan Kamil-Suswono (Rido), yang hanya meraih 39% suara, dibandingkan pasangan Mas Pram dan Bang Doel yang melampaui 50%. Kekalahan ini bukan hanya soal angka, tetapi juga cerminan dari perubahan mendalam mengenai cara masyarakat Jakarta memandang politik. Melalui lensa pemikiran Soe Hok Gie, seorang intelektual yang kritis terhadap politik praktis dan status quo, kekalahan pasangan Rido adalah ilustrasi nyata dari harapan politik yang tidak disertai dengan substansi dan pemahaman realitas.
Politik yang Kehilangan Konten: Kritik Terhadap Strategi Kampanye Rido
Salah satu akar kekalahan pasangan Rido adalah kegagalan mereka membaca kebutuhan spesifik masyarakat Jakarta. Dalam banyak kesempatan, Ridwan Kamil dikenal sebagai figur yang populer di skala nasional, tetapi popularitas ini tidak cukup untuk menggerakkan pemilih di Jakarta. Mengandalkan citra karismatik tanpa menawarkan solusi konkret atas isu-isu krusial seperti banjir, kemacetan, dan ketimpangan sosial menunjukkan lemahnya relevansi pasangan ini dengan konteks Jakarta.
Dari kacamata Soe Hok Gie, hal ini mencerminkan betapa politik sering kali menjadi panggung kosong yang dipenuhi janji tanpa rencana nyata. Dalam tulisannya, Gie sering mengkritik politisi yang hanya mempercantik citra tanpa menghadirkan substansi. Kampanye pasangan Rido tampaknya terjebak dalam perangkap ini, di mana upaya menciptakan narasi perubahan yang kurang realistis tampak klise dan tidak menjawab kebutuhan masyarakat urban yang semakin pragmatis.
Melawan Status Quo: Masyarakat yang Menuntut Lebih
Gie kerap menyatakan bahwa harapan politik yang tidak dilandasi evaluasi kritis hanya akan memperpanjang status quo. Dalam konteks pasangan Rido, meskipun mereka memposisikan diri sebagai harapan baru, masyarakat Jakarta tampaknya melihat pasangan ini sebagai kelanjutan dari politik lama yang mengandalkan jaringan kekuasaan semata tanpa visi inovatif.
Kritik Gie terhadap status quo menekankan pentingnya perlawanan terhadap pola-pola lama yang melanggengkan ketimpangan dan kekecewaan. Kekalahan pasangan Rido mengindikasikan bahwa masyarakat Jakarta menolak janji-janji kosong dan menginginkan pemimpin yang mampu memberikan perubahan nyata. Ini bukan hanya kekalahan pasangan Rido, tetapi juga kekalahan pendekatan politik yang tidak peka terhadap dinamika masyarakat.
Pelajaran dari Kekalahan: Apa yang Harus Dipahami
Dari perspektif Soe Hok Gie, kekalahan pasangan Rido adalah pengingat bahwa politik membutuhkan kejujuran, keberanian, dan komitmen untuk melayani rakyat. Tanpa itu, citra sehebat apa pun tidak akan mampu memenangkan kepercayaan masyarakat yang semakin terdidik dan kritis. Pasangan Rido dan tim politik mereka perlu merenungkan kegagalan ini sebagai pelajaran bahwa masyarakat Jakarta bukanlah pemilih pasif yang bisa dimanipulasi dengan simbolisme atau dukungan figur besar semata.
Kekalahan ini juga menjadi tanda bahwa Jakarta memang berbeda. Masyarakatnya tidak mudah terpesona oleh pencitraan, tetapi mencari pemimpin yang benar-benar mampu menjawab kebutuhan dan tantangan mereka. Dengan memahami kekalahan ini, mungkin pasangan Rido dan politisi lain dapat menyusun ulang pendekatan mereka, mengutamakan dialog yang tulus, dan berfokus pada solusi nyata.
Soe Hok Gie pernah berkata bahwa politik tanpa kejujuran adalah pembusukan. Dalam konteks Pilkada Jakarta 2024, pelajaran ini menjadi relevan lebih dari sebelumnya. Kekalahan pasangan Rido bukan hanya kegagalan sebuah kampanye, tetapi peringatan bagi seluruh elite politik untuk lebih peka terhadap tuntutan zaman dan tidak meremehkan kecerdasan pemilih.
Jakarta Harapan Bangsa Indonesia
Meski persaingan politik begitu sengit, Pilkada ini seharusnya menjadi momen refleksi, bukan perpecahan. Pemimpin boleh berganti, tetapi persatuan masyarakat harus tetap dijaga. Soe Hok Gie pernah berkata, "Nasionalisme adalah mencintai kemanusiaan." Dalam konteks Jakarta, ini berarti membangun kota dengan semangat kebersamaan, di mana setiap warga, tanpa memandang pilihan politik, dapat berkontribusi untuk masa depan yang lebih baik.
Kekalahan pasangan Rido bukanlah akhir, melainkan titik awal pembelajaran untuk memahami aspirasi masyarakat yang lebih luas. Bagi pemilih, ini adalah pengingat bahwa suara kita adalah kekuatan untuk perubahan, dan bahwa pemimpin sejati lahir dari keberanian mendengarkan rakyat, bukan sekadar bersandar pada nama besar tokoh.
Jakarta harus terus bergerak maju. Perbedaan pilihan politik adalah keniscayaan, tetapi kedamaian dan persatuan adalah fondasi utama untuk masa depan. Mari kita jaga semangat optimisme kritis yang diajarkan oleh Gie, untuk terus membangun kota ini sebagai tempat yang adil, inklusif, dan penuh harapan.
Jakarta Damai dan Maju!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H