Seiring waktu, daya pikat "Jokowi Effect" mulai mengalami erosi. Beberapa faktor menyumbang pada fenomena ini, termasuk perubahan pola pikir masyarakat yang kini semakin kritis terhadap performa pemerintah. Di Jakarta khususnya, yang menjadi episentrum politik nasional, masyarakat urban semakin mengedepankan pragmatisme dibandingkan personalisme. Isu-isu seperti kemacetan, banjir, biaya hidup, dan ketimpangan sosial menjadi prioritas utama pemilih, yang lebih memilih kandidat dengan solusi konkret dibandingkan sosok karismatik.
Di tingkat nasional, beberapa kebijakan pemerintahan Jokowi yang kontroversial, seperti proyek pembangunan IKN (Ibu Kota Negara) dan penanganan krisis ekonomi pasca-pandemi, telah mengurangi kepercayaan masyarakat pada simbol politiknya. Polarisasi politik yang kian tajam juga berkontribusi, menciptakan jurang perpecahan yang membuat daya pikat Jokowi tak lagi universal. Dalam situasi ini, "Jokowi Effect" menghadapi ujian berat di Pilkada Jakarta, di mana tantangan urban membutuhkan lebih dari sekadar karisma seorang pemimpin.
Kritik Soe Hok Gie tentang Harapan Politik
Pemikiran Soe Hok Gie memberikan perspektif yang relevan dalam memahami fenomena ini. Dalam esainya, Gie kerap mengkritik optimisme berlebihan terhadap tokoh politik, yang ia anggap sering kali berakhir sebagai ilusi. Baginya, pemilih cenderung mengidolakan pemimpin tanpa mengevaluasi realitas yang sebenarnya. Hal ini selaras dengan "Jokowi Effect," di mana citra personal Jokowi pada awalnya mengaburkan ekspektasi realistis masyarakat. Namun, ketika janji-janji itu tidak sepenuhnya terpenuhi, kekecewaan muncul, dan masyarakat mulai mempertanyakan harapan tersebut.
Kritik Gie menekankan pentingnya skeptisisme sehat dalam politik. Dalam konteks Pilkada Jakarta 2024, pendekatan ini menjadi pelajaran penting bagi pemilih. Pasangan Ridwan Kamil-Suswono (Rido) harus membuktikan bahwa mereka lebih dari sekadar penerus narasi "Jokowi Effect." Mereka dituntut menghadirkan visi konkret yang menjawab kebutuhan masyarakat Jakarta, bukan hanya memanfaatkan citra pendukung politik dan mimpi - mimpi yang tidak relevan. Kritik Gie menjadi pengingat bahwa politik harus dilihat secara realistis, dengan harapan yang berlandaskan pada program dan solusi nyata
Eksplorasi Kritik Soe Hok Gie: Harapan vs Realitas
Pemikiran Soe Hok Gie memberikan perspektif kritis dalam memahami dinamika politik Jakarta. Gie mengingatkan bahwa harapan masyarakat sering kali dikapitalisasi oleh politisi untuk mendulang suara, tanpa komitmen nyata untuk perubahan. Dalam konteks pasangan Rido, ekspektasi yang mereka bangun harus berhadapan dengan realitas pragmatis masyarakat Jakarta.
Gie juga menekankan pentingnya transparansi dan kejujuran dalam politik. Pasangan Rido harus mampu membuktikan bahwa mereka tidak hanya menjual mimpi, tetapi juga memiliki rencana konkret untuk memperbaiki kota Jakarta. Kritik Gie menjadi cermin bagi pemilih untuk lebih skeptis terhadap janji-janji politik yang menggiurkan, serta menjadi tantangan bagi pasangan Rido untuk menyeimbangkan harapan masyarakat dengan program kerja yang realistis.
Hasil Pilkada Gubernur Jakarta 2024 menunjukkan kekalahan pasangan Ridwan Kamil-Suswono (Rido), yang hanya meraih 39% suara, dibandingkan pasangan Mas Pram dan Bang Doel yang melampaui 50%. Kekalahan ini bukan hanya soal angka, tetapi juga cerminan dari perubahan mendalam mengenai cara masyarakat Jakarta memandang politik. Melalui lensa pemikiran Soe Hok Gie, seorang intelektual yang kritis terhadap politik praktis dan status quo, kekalahan pasangan Rido adalah ilustrasi nyata dari harapan politik yang tidak disertai dengan substansi dan pemahaman realitas.
Politik yang Kehilangan Konten: Kritik Terhadap Strategi Kampanye Rido
Salah satu akar kekalahan pasangan Rido adalah kegagalan mereka membaca kebutuhan spesifik masyarakat Jakarta. Dalam banyak kesempatan, Ridwan Kamil dikenal sebagai figur yang populer di skala nasional, tetapi popularitas ini tidak cukup untuk menggerakkan pemilih di Jakarta. Mengandalkan citra karismatik tanpa menawarkan solusi konkret atas isu-isu krusial seperti banjir, kemacetan, dan ketimpangan sosial menunjukkan lemahnya relevansi pasangan ini dengan konteks Jakarta.