Jarak kekuasaan dalam masyarakat Indonesia juga relatif tinggi, artinya ketimpangan kekuasaan diterima sebagai norma. Dalam konteks ketupat dan lontong, jarak kekuasaan ini dapat dilihat dari peran makanan dalam memediasi hubungan antara kelas sosial yang berbeda.Â
Ketupat dan lontong, meskipun sering dianggap sebagai makanan "sederhana" atau bahkan "rakyat jelata," tidak kalah pentingnya dibandingkan makanan kelas atas seperti gudeg, yang lebih identik dengan budaya kerajaan Yogyakarta.
Namun, meskipun ada perbedaan dalam persepsi kelas sosial, di Malioboro, makanan ini disajikan berdampingan tanpa ada perasaan inferioritas atau dominasi. Pedagang kaki lima yang menjual lontong dan ketupat sama-sama dihormati dan diakui sebagai bagian dari ekosistem kuliner Yogyakarta, baik oleh wisatawan lokal maupun internasional.
Contoh: Ketika kita melihat pedagang sate ayam yang menjual lontong dan ketupat di tepi jalan, mereka berinteraksi dengan berbagai kelompok sosial dari wisatawan mancanegara hingga masyarakat lokal.Â
Dalam situasi ini, jarak kekuasaan yang mungkin ada di lingkungan lain hilang. Mereka berbagi ruang publik tanpa ada perbedaan perlakuan berdasarkan status sosial.Â
Wisatawan dengan latar belakang budaya yang beragam tetap berpartisipasi dalam budaya lokal dengan cara yang egaliter, menikmati makanan tradisional yang sama seperti yang dinikmati oleh warga Yogyakarta sendiri.
Secara praktis, ketupat dan lontong menjadi medium komunikasi yang unik di tengah interaksi antarbudaya di Yogyakarta. Ketika wisatawan mencicipi ketupat dan lontong, mereka bukan hanya menikmati makanan, tetapi juga ikut merasakan "rasa" budaya setempat. Makanan ini menyampaikan pesan-pesan budaya secara halus, mempromosikan nilai-nilai kebersamaan, toleransi, dan kerukunan antar individu dari latar belakang budaya yang berbeda.
Ketupat dan lontong juga memainkan peran penting dalam menciptakan "cultural assimilation" (asimilasi budaya), di mana pengunjung yang berasal dari luar Yogyakarta bisa merasakan bagaimana budaya lokal menyatu dengan kuliner. Makanan ini bertindak sebagai bahasa universal yang melampaui batas-batas verbal, memungkinkan komunikasi budaya yang efektif.
Kesimpulan dan Harapan: Harmoni dalam Akulturasi Budaya
Ketupat dan lontong bukanlah sekadar makanan, tetapi juga simbol yang kuat dari akulturasi dan kerukunan antarbudaya di Yogyakarta. Di Malioboro, keduanya menjadi bagian dari lanskap kuliner yang mencerminkan hubungan harmonis antara berbagai elemen masyarakat. Dalam konteks komunikasi antarbudaya, ketupat dan lontong adalah representasi dari keterbukaan, toleransi, dan penghormatan terhadap keberagaman.
Harapannya, harmoni yang tercipta melalui ketupat dan lontong dapat menjadi inspirasi bagi berbagai daerah lain di Indonesia dalam menciptakan ruang sosial yang inklusif dan saling menghargai. Makanan sederhana ini menunjukkan bahwa perbedaan bukanlah penghalang untuk bersatu, melainkan sebuah peluang untuk saling memahami dan memperkaya budaya lokal.