Meskipun kedua makanan ini memiliki latar belakang dan fungsi yang berbeda, mereka tetap eksis secara berdampingan, tanpa ada persaingan yang meruncing.
Fenomena ini mengilustrasikan bagaimana dua elemen kuliner dapat menciptakan ruang untuk dialog dan saling menghormati antar budaya. Kehadiran wisatawan dari berbagai daerah yang menikmati sate ayam dengan lontong atau ketupat memperkaya pengalaman budaya sekaligus menciptakan ikatan sosial yang melampaui batas-batas etnis dan agama.
Teori komunikasi antarbudaya yang relevan dalam konteks ini adalah teori "Cultural Dimensions" dari Geert Hofstede, yang pertama kali diperkenalkan pada tahun 1980.Â
Teori ini berasumsi bahwa budaya mempengaruhi bagaimana individu berkomunikasi dan memandang dunia di sekitar mereka. Ketupat dan lontong menjadi contoh nyata bagaimana elemen budaya lokal dapat menjadi media komunikasi yang efektif untuk menciptakan harmoni dalam masyarakat yang multikultural.
Secara teoritis, ketupat dan lontong dapat dianalisis dari dua dimensi penting dalam teori Hofstede: Individualisme vs. Kolektivisme dan Power Distance.
1. Individualisme vs. Kolektivisme
Indonesia, termasuk Yogyakarta, adalah masyarakat yang sangat kolektivis. Dalam konteks ini, ketupat dan lontong tidak hanya dilihat sebagai makanan, tetapi juga sebagai simbol keterikatan sosial.Â
Di Yogyakarta, terutama di kawasan Malioboro, kita bisa melihat fenomena ini saat ketupat dan lontong dinikmati oleh wisatawan dan warga lokal secara bersama-sama. Makanan ini menjadi media yang menghubungkan orang dari berbagai latar belakang, menghilangkan batas antara "kita" dan "mereka".
Contoh: Misalnya, dalam acara-acara besar seperti perayaan Hari Raya, ketupat sering disajikan bersama opor ayam dalam suasana kebersamaan dan gotong-royong. Masyarakat saling berbagi makanan ini sebagai bentuk rasa syukur dan solidaritas sosial.Â
Di Malioboro, kolektivisme terlihat jelas ketika pedagang sate dengan lontong dan ketupat tidak bersaing secara langsung dengan pedagang gudeg dengan nasinya, tetapi justru berkolaborasi dalam menawarkan pengalaman kuliner yang lebih kaya. Ini menunjukkan bagaimana budaya kolektivis menekankan nilai kebersamaan dan harmoni daripada individualisme yang mementingkan persaingan.
2. Power Distance (Jarak Kekuasaan)