Media sosial memberikan ruang bagi individu untuk membentuk identitas dan terlibat dalam interaksi simbolis yang dapat menciptakan makna sosial. Salah satu kasus menarik adalah polemik seputar akun Kaskus bernama "Fufufafa", yang memicu diskusi hangat di kalangan pengguna.Â
Identitas anonim dari pemilik akun ini serta konten yang provokatif menimbulkan kontroversi, terutama karena tulisan-tulisan yang dianggap sensitif. Artikel ini membahas fenomena Fufufafa dari sudut pandang ilmu komunikasi, dengan menggunakan teori interaksionisme simbolik dari George Herbert Mead.
Polemik Akun Kaskus "Fufufafa" di Media Sosial
Akun "Fufufafa" di Kaskus tahun 2017 dan 2018 kembali mencuat akhir -- akhir ini dan menjadi sorotan publik setelah beberapa tulisannya yang provokatif memicu kontroversi besar di dunia maya dan pembicaraan hangat di tempat nongkrong warga dari segala lapisan masyarakat.Â
Akun ini dikenal melalui komentarnya yang sering kali menyinggung isu-isu pribadi dan sensitive dan dianggap tidak sopan oleh khalayak. Beberapa tulisan yang memancing reaksi keras dari netizen, seperti: "Istri cerai, anak homo, trus lebaran mau sama siapa?" dan "Kasian capres yang anaknya fashion designer, homo".
Tulisan ini dianggap menyerang aspek-aspek pribadi kehidupan seseorang dengan sentimen negatif, khususnya terkait orientasi seksual dan kehidupan keluarga. Reaksi yang muncul beragam, mulai dari kemarahan hingga spekulasi mengenai siapa pemilik akun sebenarnya.
Kontroversi tersebut memperlihatkan bagaimana identitas dan simbol yang digunakan dalam komunikasi digital dapat menimbulkan persepsi dan reaksi sosial yang berbeda. Fenomena ini menarik untuk dianalisis menggunakan teori interaksionisme simbolik.
Mengapa Menarik Dibahas dari Sudut Pandang Ilmu Komunikasi?
Dari sudut pandang "ilmu komunikasi", kasus ini menarik karena memperlihatkan bagaimana simbol-simbol komunikasi digital dapat membentuk persepsi dan menimbulkan reaksi sosial. Media sosial memberi pengguna kebebasan untuk mengonstruksi identitas mereka sendiri secara anonim, seperti yang dilakukan Fufufafa. Akun anonim ini memberikan ruang bagi penggunanya untuk menyampaikan tulisan-tulisan kontroversial tanpa harus mengungkap identitas asli.
Kasus ini juga memperlihatkan bagaimana kata-kata tertentu yang digunakan di media sosial bertindak sebagai simbol yang mempengaruhi persepsi dan emosi orang lain. Komunikasi dalam bentuk tulisan yang singkat dan penuh makna memberikan insight penting mengenai bagaimana makna dibangun dan dibentuk oleh interaksi digital.
Teori Interaksionisme Simbolik George Herbert Mead
Teori interaksionisme simbolik dari George Herbert Mead menawarkan kerangka yang tepat untuk menganalisis fenomena ini. Teori ini menyoroti bahwa makna dalam interaksi sosial diciptakan melalui simbol-simbol, seperti bahasa dan tindakan, yang diinterpretasikan oleh orang lain. Mead juga menjelaskan bahwa:
1. Self (diri): Identitas atau "self" individu terbentuk melalui interaksi sosial. Mead membagi diri menjadi dua aspek:
- "I": Bagian spontan, subjektif, dan kreatif dari diri individu.
- "Me": Bagian dari diri yang dipengaruhi oleh pandangan dan harapan orang lain terhadap kita.
2. Society (masyarakat): Identitas individu dikonstruksi dalam konteks masyarakat, di mana individu belajar mengambil peran orang lain (role-taking) untuk memahami bagaimana mereka dipandang oleh orang lain.
3. Makna: Makna simbol-simbol, seperti bahasa, dihasilkan melalui interaksi sosial. Makna ini tidak bersifat tetap, tetapi dinamis dan dapat berubah tergantung pada interaksi yang terjadi.
Dengan teori ini, kita dapat melihat bagaimana "Fufufafa" menggunakan simbol-simbol tertentu (tulisan-tulisan provokatifnya) untuk membentuk persepsi di mata komunitas Kaskus, serta bagaimana reaksi orang lain berkontribusi terhadap pembentukan identitas akun ini.
Tinjauan Kasus Fufufafa dari Kacamata Teori Interaksionisme Simbolik
1. Simbol dan Identitas Digital:
Tulisan kontroversial seperti "Istri cerai, anak homo, trus lebaran mau sama siapa?" adalah contoh bagaimana pemilik akun Fufufafa menggunakan simbol-simbol linguistik yang memicu respons emosional dari pembaca. Frasa tersebut mengandung sentimen yang dianggap melecehkan, merendahkan dan menghakimi, terutama terhadap kehidupan pribadi seseorang.
Dalam kerangka interaksionisme simbolik, tulisan ini berfungsi sebagai simbol yang memiliki makna kuat bagi pembaca. Reaksi pengguna lain terhadap tulisan ini menunjukkan bahwa simbol-simbol tersebut tidak hanya dipahami sebagai serangan pribadi, tetapi juga sebagai gambaran mengenai sikap dan nilai-nilai pemilik akun. Melalui tulisan tersebut, Fufufafa membentuk identitasnya di mata komunitas sebagai sosok yang provokatif, kasar dan tidak segan-segan menyinggung topik sensitif.
2. Pembentukan Diri ("Self") Melalui Interaksi:
Teori Mead membagi identitas diri menjadi "I" dan "Me", dan dalam konteks akun Fufufafa, keduanya bekerja secara simultan.
- "I" dari Fufufafa, yaitu sisi spontan dan subjektif, terlihat dari gaya komunikasinya yang langsung dan tidak terikat oleh norma-norma sosial konvensional. Pemilik akun menggunakan kebebasan untuk menyampaikan pendapatnya, terlepas dari pandangan masyarakat.
- "Me" terbentuk melalui interaksi dengan komunitas Kaskus. Setiap kali Fufufafa memposting tulisan yang provokatif, reaksi dan respon dari pengguna lain membentuk persepsi mereka terhadap identitas akun ini. Pengguna lain berperan sebagai cermin sosial, dan pemilik akun semestinya akan terus mengadaptasi cara mereka berinteraksi berdasarkan reaksi keras dari khalayak.
Sebagai contoh, ketika Fufufafa memposting tulisan kedua, "Kasian capres yang anaknya fashion designer, homo", komunitas menanggapi dengan berbagai komentar yang mencela, bahkan mengejar identitas pemilik akun maupun mungkin saja ada yang mendukung. Respon ini berkontribusi pada pembentukan "Me", di mana Fufufafa mungkin akan menyesuaikan tulisan berikutnya sesuai dengan feedback yang diterima.
3. Makna dalam Interaksi Sosial:
Menurut Mead, makna dari simbol-simbol dibentuk melalui interaksi sosial. Makna dari tulisan Fufufafa tidak ditentukan oleh pemilik akun saja, melainkan oleh cara pengguna lain menafsirkan tulisan tersebut. Frasa seperti "anak homo" membawa beban makna yang sangat kuat dalam konteks sosial yang lebih luas, di mana topik terkait orientasi seksual sering kali menjadi perdebatan yang intensif.
Pengguna Kaskus yang membaca tulisan tersebut akan menginterpretasikan simbol-simbol ini berdasarkan pengalaman pribadi, nilai-nilai sosial, dan budaya mereka. Beberapa mungkin merasa terhina atau tersinggung, sementara yang lain mungkin setuju dengan sentimen yang disampaikan. Makna dari tulisan ini berubah dan berkembang sesuai dengan interaksi yang terjadi antara pemilik akun dan komunitas, serta konteks sosial yang lebih luas.
4. Peran Anonimitas dalam Pembentukan Identitas:
Anonimitas di dunia maya memberi pemilik akun Fufufafa kebebasan untuk berekspresi secara spontan tanpa perlu takut akan dampak langsung terhadap identitas mereka di dunia nyata. Dalam konteks ini, "I" dapat lebih bebas mengekspresikan diri, sementara "Me" masih terbentuk oleh interaksi dengan masyarakat digital.
Pemilik akun dapat dengan mudah memainkan berbagai peran tanpa terikat oleh norma atau harapan sosial yang berlaku di dunia nyata, tetapi tetap menerima reaksi dari komunitas yang membentuk identitas mereka di ruang digital tersebut.
Â
Pelajaran Penting yang Diperoleh
Melalui analisis teori interaksionisme simbolik, kita dapat mengambil beberapa pelajaran penting dari fenomena akun Fufufafa:
1. Simbol dalam komunikasi digital sangat mempengaruhi identitas: Tulisan atau kata-kata yang digunakan di media sosial adalah simbol-simbol yang memiliki makna sosial yang kuat. Identitas pemilik akun dibentuk oleh simbol-simbol ini dan bagaimana mereka diinterpretasikan oleh komunitas.
2. Anonimitas menciptakan ruang untuk ekspresi spontan, tetapi identitas tetap dibentuk oleh interaksi sosial. Pemilik akun mungkin merasa bebas mengekspresikan diri secara anonim, tetapi mereka tetap menerima reaksi dari komunitas yang berkontribusi pada pembentukan identitas digital mereka.
3. Makna dalam komunikasi digital tidak bersifat tetap, tetapi terus berkembang melalui interaksi antara pengguna. Setiap simbol atau kata yang diposting dapat membawa berbagai interpretasi, tergantung pada pengalaman dan perspektif orang lain.
4. Etika komunikasi digital sangat penting, terutama ketika menyangkut topik-topik sensitif seperti kehidupan pribadi dan orientasi seksual. Komunikasi di dunia maya memiliki dampak nyata, dan reaksi sosial terhadap simbol yang digunakan dapat mempengaruhi kehidupan seseorang, baik di ruang digital maupun di dunia nyata.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H