Mohon tunggu...
Wira D. Purwalodra (Second)
Wira D. Purwalodra (Second) Mohon Tunggu... Dosen - Seorang Pembelajar dan Pencari Kebenaran.

Banyak mimpi yang harus kujalani dengan perasaan syukur dan ikhlas. Mimpi-mimpi ini selalu bersemi dalam lubuk jiwa, dan menjadikan aku lebih hidup. Jika kelak aku terjaga dalam mimpi-mimpi ini, pertanda keberadaanku akan segera berakhir .... dariku Wira Dharmapanti Purwalodra, yang selalu menjaga agar mimpi-mimpi ini tetap indah.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Ketika Tahta Menuntut Lebih dari Sekadar Ambisi

24 Oktober 2024   17:41 Diperbarui: 24 Oktober 2024   17:41 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh. Wira Dharmadumadi Purwalodra

Pada perjalanan sejarah umat manusia, kekuasaan telah menjadi salah satu elemen paling menarik dan kompleks dalam kehidupan sosial kita. Kekuasaan bukan hanya sekadar kemampuan untuk memerintah atau mengendalikan orang lain, tetapi merupakan refleksi dari pengaruh dan otoritas yang dapat membentuk takdir masyarakat.

 Friedrich Nietzsche, seorang filsuf terkenal, memberikan wawasan mendalam tentang kekuasaan dengan konsep "will to power" atau "kehendak untuk berkuasa".

 Ini bukan hanya ambisi atau keinginan untuk mendominasi, tetapi sebuah dorongan mendasar yang menggerakkan manusia untuk mewujudkan potensi tertingginya. Dalam konteks ini, kita dapat merenungkan bagaimana konsep tersebut relevan dengan kepemimpinan dan pemerintahan, khususnya dalam situasi di Indonesia.

Nietzsche percaya bahwa inti dari eksistensi manusia adalah kehendak untuk berkuasa, yang mencakup keinginan untuk berkembang, bertransformasi, dan melampaui keterbatasan pribadi. 

Dalam kehidupan politik, kehendak ini sering terwujud dalam bentuk upaya untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan. Namun, pertanyaan yang lebih besar dan mendalam muncul: apakah kekuasaan pada akhirnya menuntut lebih dari sekadar ambisi? Bagaimana jika kekuasaan tersebut, saat terkonsentrasi, mulai mengaburkan nilai-nilai etika dan kemanusiaan yang harusnya menjadi dasar bagi setiap tindakan pemimpin?

Mari kita lihat Indonesia, sebuah negara dengan keanekaragaman budaya dan sejarah yang panjang. Kepemimpinan di Indonesia menghadapi tantangan yang unik. Dengan berbagai perbedaan etnis dan agama, serta sejarah kolonial yang kompleks, kekuasaan di Indonesia harus berfungsi tidak hanya sebagai kendaraan untuk kepentingan pribadi, tetapi sebagai sarana untuk mempersatukan dan memajukan bangsa. 

Dalam situasi ini, para pemimpin dihadapkan pada dilema: harus beroperasi di bawah bayang-bayang ambisi pribadi sembari tetap melayani kepentingan umum ?!

Di dalam sistem demokrasi, kekuasaan seharusnya menjadi alat untuk melayani orang banyak, bukan sekadar catatan prestasi individu. Aristoteles berpendapat bahwa "kebaikan tertinggi" dari sebuah tindakan politik adalah eudaemonia, atau kebahagiaan rakyat. 

Ini berarti bahwa pemimpin harus berfokus pada kesejahteraan rakyat, memberikan perhatian lebih pada tanggung jawab sosial daripada pencapaian pribadi. Di Indonesia, prinsip ini bisa saja menjadi panduan yang kuat, memastikan kekuasaan yang terdistribusi untuk kebaikan bersama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun