Etika hidup Aristotelian menekankan pentingnya kebiasaan baik dalam mencapai kebahagiaan sejati. Dalam sebuah rumah tangga, kebiasaan baik dapat diwujudkan melalui tindakan-tindakan sederhana seperti menghargai usaha pasangan, mendengarkan dengan empati, dan memberikan dukungan emosional. Perilaku ini, walau kecil, memiliki kemampuan untuk membangun fondasi kesehatan mental yang kuat dalam diri kita dan orang-orang terdekat.
Perlu kita ingat, dalam filosofi Islam, niat merupakan inti dari setiap tindakan. Sebagaimana dinyatakan oleh Nabi Muhammad SAW, "Setiap amal tergantung pada niatnya." Dalam konflik rumah tangga, memiliki niat yang baik untuk memperbaiki hubungan dan menjaga kesehatan mental menjadi pendorong utama untuk menyelesaikan masalah dengan cara yang membangun dan bukan sebaliknya.
Konflik tidak dapat sepenuhnya dihindari, tetapi bagaimana kita meresponnya merupakan pilihan. Kembali merujuk pada pendapat Kahlil Gibran bahwa, "Ketidaksempurnaan adalah kebahagiaan," mengingatkan kita akan pentingnya menerima ketidaksempurnaan orang lain dan diri sendiri sebagai bagian dari dinamika kehidupan yang tidak terelakkan.
Tidak ada satu solusi pasti untuk menyelesaikan setiap konflik yang muncul, namun menggunakan prinsip-prinsip filsafat sebagai panduan, kita dapat mengarah pada pendekatan yang lebih sehat dan bijaksana dalam mengelola ketegangan rumah tangga. Ini termasuk pengembangan toleransi, kesabaran, dan cinta yang tulus, sebagaimana dicontohkan oleh banyak tradisi kearifan di dunia.
Jika kita menginginkan kesehatan mental yang optimal di tengah konflik rumah tangga, memahami keterkaitan antara pikiran, perasaan, dan perilaku menjadi sangat penting. Filsafat Aristoteles yang mengaitkan antara tubuh dan jiwa secara harmonis dapat dijadikan inspirasi untuk menjaga dua hal ini agar tetap selaras, menciptakan rumah yang damai dari luar dan dalam.
Sebagaimana kita berusaha menciptakan rumah tanpa rasa takut, penting untuk mengenali bahwa kedamaian sejati berasal dari dalam diri. Sering kali, ketidakpuasan dan konflik adalah hasil dari lupa bersyukur dan kurangnya apresiasi terhadap hal-hal kecil yang tak kasat mata namun berharga. Oleh karena itu, mengadopsi pandangan hidup yang menghargai kehidupan sederhana bisa menjadi jawaban untuk banyak ketegangan batin.
Pada akhirnya, membangun kesehatan mental di tengah konflik rumah tangga bukanlah tugas yang ringan, tetapi pasti memberikan kedewasaan bagi mereka yang menjalaninya dengan penuh kesadaran. Setiap usaha yang kita lakukan untuk memperbaiki diri dan hubungan kita melalui refleksi dan tindakan positif adalah bentuk nyata keberanian dan komitmen untuk hidup lebih baik.
Konflik sering kali adalah cara alam semesta agar kita dapat belajar. Seperti yang dikatakan oleh Leo Tolstoy, "Setiap orang berpikir untuk mengubah dunia, tetapi tidak ada yang berpikir untuk mengubah dirinya sendiri." Mari kita mulai dengan perubahan kecil di dalam diri kita, dan percaya bahwa dari sanalah perjalanan panjang menuju kesehatan mental yang lebih baik dimulai.
Jadi dapat disimpulakan, bahwa membangun rumah tanpa rasa takut di tengah konflik rumah tangga memerlukan upaya sadar dan terus-menerus, bermanfaat untuk setiap individu yang terlibat. Dengan mengadopsi prinsip-prinsip filsafat, kita dapat mengarahkan diri menuju kehidupan yang lebih penuh makna, kebijaksanaan, dan kesejahteraan mental yang lebih baik, tidak hanya untuk satu orang tetapi untuk seluruh keluarga. Wallahu A'lamu Bishshawaab.
Bekasi, 29 Agustus 2024.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H