Mohon tunggu...
Wira D. Purwalodra (Second)
Wira D. Purwalodra (Second) Mohon Tunggu... Dosen - Seorang Pembelajar dan Pencari Kebenaran.

Banyak mimpi yang harus kujalani dengan perasaan syukur dan ikhlas. Mimpi-mimpi ini selalu bersemi dalam lubuk jiwa, dan menjadikan aku lebih hidup. Jika kelak aku terjaga dalam mimpi-mimpi ini, pertanda keberadaanku akan segera berakhir .... dariku Wira Dharmapanti Purwalodra, yang selalu menjaga agar mimpi-mimpi ini tetap indah.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Rumah Tanpa Rasa Takut: Membangun Kesehatan Mental di Tengah Konflik Rumah Tangga

29 Agustus 2024   15:04 Diperbarui: 29 Agustus 2024   15:47 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar: Ilustrasi Purwalodra.

Oleh. Wira D. Purwalodra

Pada perjalanan hidup ini, setiap individu akan menghadapi berbagai tantangan yang dapat menguji kesehatan mentalnya. Konflik rumah tangga adalah salah satu di antaranya, suatu fenomena yang tidak memandang batas sosial maupun geografis. Rumah, yang seharusnya menjadi tempat perlindungan dan ketenangan, terkadang justru berubah menjadi medan konflik, menghasilkan tekanan mental yang signifikan bagi para anggotanya. Pada kesempatan ini, mari kita telaah bagaimana membangun kesehatan mental meskipun berada di tengah konflik rumah tangga, dengan menjadikan pemikiran para filosof sebagai pelita panduan.

Marcus Aurelius, seorang filsuf Stoik, pernah mengucapkan, "Jika Anda kesal oleh sesuatu di luar, rasa sakit itu bukanlah karena hal itu sendiri, melainkan oleh penilaian Anda terhadap hal itu; dan Anda memiliki kekuatan untuk membatalkan penilaian tersebut kapan saja." Dalam konteks ini, kesadaran penuh akan situasi dan emosi yang muncul dalam konflik rumah tangga dapat menjadi langkah awal dalam mengelola kesehatan mental. Seringkali, emosi negatif yang muncul dalam konflik bukan semata-mata karena situasinya, tetapi karena interpretasi dan respon kita terhadapnya.

Manusia sebagai makhluk berpikir, memiliki kebebasan untuk memilih sikapnya terhadap kondisi yang dihadapinya. Ibn Sina, seorang filsuf Muslim dan bapak kedokteran modern, percaya bahwa pemikiran positif adalah obat yang manjur bagi pikiran yang terluka. Ia berpendapat bahwa kesehatan jiwa berlandaskan pada pemahaman diri dan pengendalian emosi. Ketika kita meninjau ulang emosionalitas kita di dalam rumah, penting untuk menempatkan refleksi sebagai alat utama. Pemikiran ini sejalan dengan pandangan filsafat perilaku yang menempatkan refleksi dan self-awareness sebagai titik kunci dalam membangun tindakan yang sehat.

Ketegangan dan stres dalam rumah tangga tidak selalu berasal dari konflik besar. Hal-hal kecil dan sepele pun, jika dibiarkan, dapat menumpuk menjadi beban yang berat. Memahami ini, bijak kiranya kita menjaga dialog yang terbuka dan jujur. Michel Foucault menggarisbawahi pentingnya wacana atau diskursus sebagai sarana untuk memahami dan memecahkan permasalahan sosial. Di dalam rumah, diskursus ini mewujud dalam bentuk komunikasi yang efektif dan penuh empati antar anggota keluarga. Komunikasi semacam ini tidak hanya menyelesaikan konflik, tetapi juga membangun ikatan emosional yang lebih kuat.

Gambar: Dok. Pribadi.
Gambar: Dok. Pribadi.

Menurut pandangan Al-Farabi, filsuf Muslim lainnya, kebahagiaan (sa'ada) adalah tujuan utama kehidupan manusia, dan itu dapat diraih melalui kebajikan dan pengetahuan. Jika diterapkan dalam konteks rumah tangga, setiap individu harus berupaya memperdalam pemahaman dan kesadaran akan peran mereka masing-masing. Menumbuhkembangkan kebajikan dalam interaksi sehari-hari menjadi pondasi yang kokoh bagi kesehatan mental setiap anggota keluarga, meminimalkan potensi konflik serta memperkuat rasa saling menghormati dan kasih sayang.

Pendekatan lain yang bisa diambil adalah dengan mempraktikkan mindfulness, sebuah konsep yang sebenarnya telah lama ada dalam ajaran Islam berupa tafakur atau meditasi. Dengan menciptakan ruang untuk mindfulness, kita memberi kesempatan pada diri untuk mengalami dan menerima keadaan dengan objektif. Ini merupakan refleksi dari pendapat Jalaluddin Rumi yang mengatakan, "Ketenangan adalah kunci yang membuka pintu surga kedamaian dan kebahagiaan." Mempraktikkan mindfulness di tengah hiruk-pikuk rumah tangga mendorong kita untuk hadir secara utuh dan responsif terhadap kebutuhan anggota keluarga.

Filsafat perilaku menekankan bahwa tindakan kita bukanlah hasil dari keputusan yang spontan, melainkan merupakan hasil dari serangkaian proses kognitif dan emosional yang kompleks. Dalam rumah tangga, perilaku dan sikap yang muncul dalam konflik sering kali merupakan cerminan dari masalah atau kebutuhan yang lebih mendasar. Dengan menyadari hal ini, kita dituntut untuk memahami lebih dalam akar permasalahan tersebut dan melihatnya sebagai kesempatan untuk bertumbuh.

Konflik rumah tangga, jika dikelola dengan baik, dapat berfungsi sebagai cermin yang menyadarkan kita akan aspek-aspek diri yang perlu diperbaiki. Nietzsche menuturkan, "Apa yang tidak membunuhku, membuatku lebih kuat." Dalam konteks ini, konflik bukanlah akhir dari keharmonisan, melainkan sebuah proses yang membawa kita pada pemahaman yang lebih dewasa dan matang tentang hubungan antar manusia.

Etika hidup Aristotelian menekankan pentingnya kebiasaan baik dalam mencapai kebahagiaan sejati. Dalam sebuah rumah tangga, kebiasaan baik dapat diwujudkan melalui tindakan-tindakan sederhana seperti menghargai usaha pasangan, mendengarkan dengan empati, dan memberikan dukungan emosional. Perilaku ini, walau kecil, memiliki kemampuan untuk membangun fondasi kesehatan mental yang kuat dalam diri kita dan orang-orang terdekat.

Perlu kita ingat, dalam filosofi Islam, niat merupakan inti dari setiap tindakan. Sebagaimana dinyatakan oleh Nabi Muhammad SAW, "Setiap amal tergantung pada niatnya." Dalam konflik rumah tangga, memiliki niat yang baik untuk memperbaiki hubungan dan menjaga kesehatan mental menjadi pendorong utama untuk menyelesaikan masalah dengan cara yang membangun dan bukan sebaliknya.

Konflik tidak dapat sepenuhnya dihindari, tetapi bagaimana kita meresponnya merupakan pilihan. Kembali merujuk pada pendapat Kahlil Gibran bahwa, "Ketidaksempurnaan adalah kebahagiaan," mengingatkan kita akan pentingnya menerima ketidaksempurnaan orang lain dan diri sendiri sebagai bagian dari dinamika kehidupan yang tidak terelakkan.

Tidak ada satu solusi pasti untuk menyelesaikan setiap konflik yang muncul, namun menggunakan prinsip-prinsip filsafat sebagai panduan, kita dapat mengarah pada pendekatan yang lebih sehat dan bijaksana dalam mengelola ketegangan rumah tangga. Ini termasuk pengembangan toleransi, kesabaran, dan cinta yang tulus, sebagaimana dicontohkan oleh banyak tradisi kearifan di dunia.

Jika kita menginginkan kesehatan mental yang optimal di tengah konflik rumah tangga, memahami keterkaitan antara pikiran, perasaan, dan perilaku menjadi sangat penting. Filsafat Aristoteles yang mengaitkan antara tubuh dan jiwa secara harmonis dapat dijadikan inspirasi untuk menjaga dua hal ini agar tetap selaras, menciptakan rumah yang damai dari luar dan dalam.

Sebagaimana kita berusaha menciptakan rumah tanpa rasa takut, penting untuk mengenali bahwa kedamaian sejati berasal dari dalam diri. Sering kali, ketidakpuasan dan konflik adalah hasil dari lupa bersyukur dan kurangnya apresiasi terhadap hal-hal kecil yang tak kasat mata namun berharga. Oleh karena itu, mengadopsi pandangan hidup yang menghargai kehidupan sederhana bisa menjadi jawaban untuk banyak ketegangan batin.

Pada akhirnya, membangun kesehatan mental di tengah konflik rumah tangga bukanlah tugas yang ringan, tetapi pasti memberikan kedewasaan bagi mereka yang menjalaninya dengan penuh kesadaran. Setiap usaha yang kita lakukan untuk memperbaiki diri dan hubungan kita melalui refleksi dan tindakan positif adalah bentuk nyata keberanian dan komitmen untuk hidup lebih baik.

Konflik sering kali adalah cara alam semesta agar kita dapat belajar. Seperti yang dikatakan oleh Leo Tolstoy, "Setiap orang berpikir untuk mengubah dunia, tetapi tidak ada yang berpikir untuk mengubah dirinya sendiri." Mari kita mulai dengan perubahan kecil di dalam diri kita, dan percaya bahwa dari sanalah perjalanan panjang menuju kesehatan mental yang lebih baik dimulai.

Jadi dapat disimpulakan, bahwa membangun rumah tanpa rasa takut di tengah konflik rumah tangga memerlukan upaya sadar dan terus-menerus, bermanfaat untuk setiap individu yang terlibat. Dengan mengadopsi prinsip-prinsip filsafat, kita dapat mengarahkan diri menuju kehidupan yang lebih penuh makna, kebijaksanaan, dan kesejahteraan mental yang lebih baik, tidak hanya untuk satu orang tetapi untuk seluruh keluarga. Wallahu A'lamu Bishshawaab.

Bekasi, 29 Agustus 2024.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun