Oleh. Wira D. Purwalodra
Dalam menyelami sejarah pemikiran filsafat pendidikan, kita seakan diundang untuk menelusuri perjalanan panjang yang dimulai dari masa klasik hingga era modern. Pemikiran-pemikiran ini tidak hanya membentuk kerangka dasar pendidikan, tetapi juga membimbing kita menuju penciptaan sistem pembelajaran yang berkelanjutan.Â
Dari Plato, dengan visinya tentang pendidikan sebagai sarana menuju dunia ide yang lebih tinggi, hingga Paulo Freire, yang menekankan pembebasan melalui pendidikan, kisah ini adalah cerminan dari evolusi pemikiran manusia tentang bagaimana seharusnya kita belajar dan mengajar.
Plato, seorang filosof Yunani kuno, percaya bahwa pendidikan haruslah membentuk karakter dan jiwa manusia untuk mencapai kearifan dan pengetahuan sejati. Bagi Plato, dunia adalah bayangan dari realitas yang lebih sempurna dan pendidikan adalah jalan untuk memahami kebenaran universal. Dalam konteks pendidikan di Indonesia, visi Plato dapat kita lihat sebagai upaya menciptakan sistem pendidikan yang tidak hanya menekankan aspek akademis, tetapi juga pembentukan karakter yang berbudi pekerti.
Ketika kita melangkah ke zaman pertengahan, kontribusi para filosof Muslim seperti Al-Farabi dan Ibnu Sina menjadi sangat signifikan. Al-Farabi, yang dikenal sebagai "guru kedua" setelah Aristoteles, menekankan pentingnya kebajikan dan kebahagiaan yang berasal dari pengetahuan.Â
Ia melihat pendidikan sebagai sarana untuk mencapai kesempurnaan manusia. Sementara itu, Ibnu Sina mengedepankan pentingnya eksperimen dan observasi sebagai metode pembelajaran, yang menjadi salah satu fondasi bagi metode ilmiah modern.
Memasuki masa Renaisans, fokus pendidikan mulai berubah. Sekolah-sekolah menjadi lebih terbuka untuk mempelajari berbagai disiplin ilmu. Mengambil inspirasi dari pemikiran para filosof besar ini, kita menyadari bahwa pendidikan di Indonesia juga harus merangkul keberagaman kurikulum yang inklusif dan adaptif. Hal ini sesuai dengan pandangan John Dewey, yang percaya bahwa pendidikan harus bersifat demokratis dan mendorong partisipasi aktif dari peserta didik.
Pada abad ke-20, filsafat pendidikan semakin beragam dengan munculnya ide-ide dari para pemikir seperti Paulo Freire. Freire menekankan bahwa pendidikan haruslah memandang siswa sebagai subjek aktif dalam proses belajar-mengajar. Bagi Freire, pendidikan bukan sekadar transfer pengetahuan, tetapi proses dialog yang membebaskan. Ini adalah pandangan yang sangat relevan untuk diterapkan dalam sistem pendidikan Indonesia saat ini, di mana partisipasi siswa masih sering diabaikan.
Dengan dilaksanakannya alokasi anggaran APBN dan APBD sebesar 20% untuk pendidikan, Indonesia sebenarnya memiliki kesempatan untuk mereformasi sistem pendidikan menuju model yang lebih berkelanjutan dan inklusif. Namun, tantangannya adalah bagaimana anggaran ini dapat dimanfaatkan secara efektif untuk menciptakan lingkungan belajar yang memadai, menarik, dan relevan bagi kebutuhan siswa.
Kita juga harus mengambil hikmah dari pandangan Murtadha Muthahhari, seorang filosof Muslim kontemporer, yang mengatakan bahwa pendidikan harus mampu menghubungkan pengetahuan dengan moral dan spiritual. Dalam konteks modern, ini menuntut kita untuk tidak hanya berfokus pada hasil ketercapaian akademis, tetapi juga bagaimana pendidikan dapat membentuk manusia seutuhnya.
Selanjutnya, pendidikan yang berkelanjutan harus mengedepankan inovasi dan kreativitas. Ini bukan hanya soal teknologi, melainkan bagaimana cara kita berpikir dan mencari solusi untuk isu-isu global. Maria Montessori, pendidik dan filosof, menginspirasi kita dengan metode yang menekankan pembelajaran berbasis pengalaman dan pengembangan individu sesuai dengan potensi mereka.
Dalam prakteknya, perlu ada sinergi antara pemerintah, pendidik, dan masyarakat untuk membangun kultur pendidikan yang kuat. Dengan dukungan dana yang baik, sekolah-sekolah di Indonesia dapat mengembangkan program yang menciptakan interaksi lebih positif di antara siswa dan guru. Pemikiran ini sejalan dengan apa yang diusulkan oleh filsuf kontemporer seperti Amartya Sen tentang pentingnya peranan pendidikan dalam pembangunan manusia secara total.
Membentuk pendidikan berkelanjutan juga berarti kita harus menyiapkan siswa untuk menghadapi perubahan yang cepat di masa depan. Apa yang dikatakan Heraklitus, "Tidak ada yang konstan selain perubahan", harus menjadi landasan filosofi pendidikan kita. Sistem pendidikan harus fleksibel dan mampu beradaptasi agar siswa kita tidak sekadar menguasai pengetahuan saat ini, tetapi mampu berinovasi dan menyelesaikan masalah di masa depan.
Sebagai penutup, pendidikan adalah proses yang terus berkembang. Dari pemikiran Plato tentang fungsi ideal sekolah hingga konsep pembebasan Paulo Freire, kita belajar bahwa pendidikan tidak dapat dipisahkan dari konteks sosial dan budaya. Ini adalah perjalanan panjang yang menantang kita untuk terus berinovasi dan beradaptasi demi kebaikan generasi mendatang.
Melalui refleksi terhadap pemikiran para filosof dari masa ke masa, kita menyadari betapa mendesaknya kebutuhan untuk mengintegrasikan konsep-konsep ini ke dalam kebijakan pendidikan di Indonesia. Menjadikan pendidikan sebagai alat transformasi sosial, bukan hanya sarana memperoleh pekerjaan, harus menjadi visi ke depan kita. Dengan dukungan optimal dari anggaran pendidikan, kita bisa menciptakan sistem yang lebih manusiawi dan relevan.
Sebagai bangsa, kita perlu mengambil langkah progresif dengan mencontoh dari berbagai gagasan brilian yang telah disampaikan oleh para filosofi terdahulu dan kontemporer. Sebuah sistem pendidikan yang baik haruslah dinamis, mampu menjawab tantangan zaman, dan tetap berpegang pada nilai-nilai kebenaran dan keadilan. Dengan itulah kita dapat mewujudkan pendidikan yang benar-benar berkelanjutan.
Untuk mencapainya, kita harus membuka diri terhadap perubahan, mempertanyakan kembali metode dan tujuan pengajaran yang ada. Apakah mereka membawa kita ke arah yang benar? Atau justru menjauhkan kita dari esensi sejati pendidikan?Â
Dengan tetap terhubung ke akar pemikiran filosofis, kita bisa membuat pilihan yang lebih bermakna dan tepat di masa depan. Hanya dengan pendidikan yang holistik dan berkesinambungan, kita dapat membentuk generasi yang tidak hanya pintar secara intelektual, tetapi juga bijaksana dalam bertindak dan penuh empati terhadap sesamanya. Dalam perjalanan ini, kita adalah bagian integral dari evolusi pemikiran yang selalu bergerak menuju perbaikan dan kesempurnaan manusia. Wallahu A'lamu Bishshawaab.
Bekasi, 27 Agustus 2024.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H