Oleh. Purwalodra
Konsep metakognitif yang menjelaskan kemampuan individu untuk memahami dan mengendalikan proses pemikiran dan belajar mereka sendiri telah menjadi fokus perhatian dalam bidang psikologi dan pendidikan. Namun, di balik penggunaan luas konsep ini, terdapat pertanyaan filosofis yang menarik tentang darimana konsep metakognitif berasal dan bagaimana konsep ini berkembang dalam pemikiran manusia ?!
John Flavell, seorang psikolog kognitif Amerika Serikat, dianggap sebagai pencetus konsep metakognitif pada tahun 1970-an. Flavell memperkenalkan istilah "metakognisi" yang melibatkan pemikiran tentang pikiran atau kemampuan untuk berpikir tentang belajar. Dalam kerangka ini, Flavell mengusulkan bahwa metakognisi membantu individu dalam memahami diri mereka sendiri dan mengendalikan proses pemikiran mereka, sehingga meningkatkan efektivitas pembelajaran.
Namun, secara filosofis, asal-usul konsep metakognitif dapat ditelusuri lebih jauh ke pemikiran filsuf-filsuf seperti Plato dan Aristoteles. Plato dalam dialog Phaedrus mengajukan konsep metis atau skill belajar, yang merujuk pada kemampuan untuk memahami, bagaimana kita belajar dan memahami hal-hal lebih baik. Ini mencerminkan inti dari metakognisi yang berpusat pada kemampuan sadar individu untuk memahami proses belajar mereka sendiri.
Aristoteles juga membuat kontribusi penting terhadap konsep metakognitif. Dalam bukunya "Ethics", dia membahas konsep "phronesis," yang sering diterjemahkan sebagai "kebijaksanaan praktis" atau "kecerdasan praktis." Aristoteles menggambarkan phronesis sebagai kebahagiaan yang dihasilkan dari pemahaman diri yang mendalam dan refleksi atas tindakan dan akibatnya. Hal ini dapat dikaitkan dengan pemahaman diri dan pengendalian proses pemikiran yang menjadi ciri utama metakognisi.
Konsep metakognitif kemudian berkembang secara signifikan melalui pemikiran filsuf lainnya. Misalnya, Ren Descartes dengan prinsip "cogito ergo sum" (aku berpikir, maka aku ada) memperkuat pentingnya pemikiran tentang pikiran dalam membedakan manusia dari makhluk lainnya. Di sisi lain, filsuf John Locke menyoroti pentingnya introspeksi atau pengamatan terhadap pikiran dan kesadaran dalam memahami dan memperoleh pengetahuan.
Seiring dengan perkembangan ilmu psikologi dan pendidikan, konsep metakognitif semakin mendapat perhatian dan penelitian yang lebih luas. Banyak teori dan model telah dikembangkan untuk menjelaskan dan mengukur metakognisi, seperti model dua kunci oleh Nelson dan Narens, teori regulasi diri oleh Zimmerman, dan model siklus metakognitif oleh Schraw dan Moshman.
Pengembangan konsep metakognitif juga tercermin dalam ide-ide populer seperti "belajar bagaimana cara belajar" dan penekanan pada penguatan kesadaran diri dan refleksi dalam pendidikan. Konsep ini terus mengalami evolusi dan penggunaannya, baik dalam konteks pendidikan formal maupun dalam kehidupan sehari-hari.
Melalui tinjauan filosofis ini, kita dapat melihat bahwa konsep metakognitif telah ada dalam pemikiran manusia sejak zaman kuno. Pemikiran filsafat mengenai pemahaman diri, introspeksi, dan pengendalian pikiran memberikan dasar filosofis yang kuat untuk konsep metakognitif yang kita kenal saat ini. Perkembangan konsep ini yang teliti dan terus berkembang seiring waktu telah membantu kita menyadari potensi dan berperilaku dengan cara yang lebih efektif dalam belajar dan berpikir.
Selanjutnya, para Filosof yang menjelajahi konsep metakognitif adalah filsuf Yunani kuno, Socrates. Socrates terkenal dengan metode dialektikanya, yang melibatkan serangkaian pertanyaan dan diskusi untuk mencapai pemahaman yang lebih dalam tentang suatu masalah atau konsep. Melalui pendekatannya yang mengajukan pertanyaan, Socrates mendorong orang untuk merenungkan proses pikiran mereka sendiri dan mengenali kekurangan pengetahuan atau pemahaman mereka.
Socrates percaya bahwa self-awareness adalah langkah pertama dalam perjalanan menuju pengetahuan dan kebijaksanaan. Ia berpendapat bahwa manusia harus mengakui ketidaktahuannya dan fakta bahwa tidak ada yang benar-benar tahu segalanya. Dalam dialog-dialognya, Socrates akan terus mengeksplorasi pemikiran seseorang, mendorong mereka untuk menjelaskan dan mempertanyakan dasar-dasar pengetahuan mereka sendiri.
Kontribusi Socrates terhadap pengembangan metakognitif adalah kesadaran dan refleksi yang ia tumbuhkan pada individu. Melalui metode dialektikanya, Socrates membantu orang untuk menyadari bahwa mereka harus melihat ke dalam diri mereka sendiri, menanyakan dan mempertanyakan pemikiran mereka sendiri sebelum mereka dapat mencapai pemahaman yang lebih baik tentang dunia di sekitar mereka.
Dalam perkembangan lebih lanjut tentang metakognitif, para ilmuwan dan psikolog modern telah menggabungkan pemikiran filosofis ini dengan penelitian dan eksperimen yang sistematis. Kontribusi filosofis ini menjadi dasar untuk teori dan pemahaman modern tentang metakognisi.
Pada akhirnya, upaya menembus batas metakognitif yang dilakukaan oleh Socrates dan Descartes dianggap sebagai filosof yang pertamakali menjelajahi dan menjelaskan metakognitif, dalam karya-karya besarnya. Konsep eksplorasi dan refleksi diri yang mereka tularkan masih relevan dalam pemahaman dan pengembangan metakognitif hingga saat ini. Wallahu A'lamu Bishshawwab.
Bekasi, 5 Agustus 2023.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H