Oleh. Purwalodra
Menjelang Ramadhan, harga-harga ikut ‘munggahan’ atawa naik. Kata Munggahan sendiri berasal dari "munggah" yang berarti naik. Salah satu maknanya adalah ketika memasuki bulan Ramadhan, masyarakat naik ke waktu atau bulan yang luhur derajatnya, dan diharapkan masyarakat juga menjadi pribadi yang lebih baik seiring dengan tibanya bulan suci Ramadhan, khususnya dalam urusan menahan hawa nafsu selama berpuasa. Dalam Kamus Umum Bahasa Sunda, munggah juga memiliki arti sebagai hari pertama puasa pada tanggal 1 Ramadhan. Sayangnya, pada jaman sekarang, banyak orang yang melupakan makna di balik tradisi ini yang sebenarnya. Kebanyakan hanya sekedar menjalankan tradisi ini dengan makan-makan atau kumpul bersama keluarga atau teman.
Orang Sunda merupakan salah satu suku yang masih memegang teguh tradisi yang mereka miliki dan melestarikannya. Salah satu tradisi yang hingga saat ini masih dilakukan adalah tradisi Munggahan. Tradisi ini merupakan bentuk syukur atas akan datangnya bulan Ramadhan. Karena itulah pelaksanannya pun selalu diadakan sehari sebelum dan saat hari pertama puasa. Selain itu, di setiap kota di Jawa Barat mungkin memiliki sedikit perbedaan dalam menjalani tradisi ini, namun tradisi ini adalah hal wajib bagi masyarakat Sunda. Salah satu kesamaannya yakni berkumpulnya anggota keluarga untuk bersilaturahmi, berdoa bersama, dan makan sahur bersama.
Namun, lain halnya dengan ‘munggah’nya harga-harga menjelang Ramadhan. Menurut hukum permintaan, kenaikan harga lebih dipicu oleh karena banyaknya permintaan dari konsumen terhadap barang-barang konsumtif. Jika permintaan naik, maka hargapun ikut-ikutan naik, tapi kalau permintaan menurun harga pun ‘latah’ ikutan turun. Pada titik ini, ternyata sistem ekonomi kapitalis mampu meleburkan diri ke dalam euforia ummat Islam dalam menyambut Ramadhan.
Sebenarnya, upaya untuk menyiasati kenaikan harga ini, dapat dilakukan dengan mengelola sebab musabab, mengapa harga-harga itu bisa naik?. Namun lagi-lagi, ekonomi kapitalis punya cara jitu agar harga-garga tetap bisa melambung tinggi, yakni dengan membuatnya menjadi ‘langka’ atawa barang susah diperoleh. Dengan cara menyembunyikan atau menahan barang-barang pokok ini masuk ke pasaran, maka ‘kelangkaan’ atas barang-barang yang dibutuhkan masyarakatpun, akan terjadi di pasar. Dalam kondisi ini, maka peran pemangku kepentingan, secara ekonomi maupun politik, perlu turun tangan untuk menyucikan pasar, dengan memperbaiki distribusi dan mencari dalang intelektual atas kelangkaan barang-barang yang beredar di pasar.  Â
Sekelumit kondisi diatas, tentu akan mengakibatkan kegelisahan bagi masyarakat, karena terjadi kelangkaan bahan pokok atawa pangan. Perlu disadari pula, bahwa negeri ini belum memiliki sistem ketahanan ekonomi fundamental yang baik. Jangankan swasembada pangan manusia, swasembada pakan ayam saja kita masih sangat tergantung pada luar negeri. Kalau mau lebih tajam lagi kita menganalisis kondisi sekarang, maka kemana saja para sarjana pertanian, peternakan dan para dokter hewan kita ?!. Sehingga kebutuhan impor pangan dan peternakan kita semakin tahun semakin meningkat. Dari titik ini saja kita bisa melihat, ternyata kita belum mampu bersaing dengan negara tetangga kita. Bagaimana kita bisa siap membuka lebar-lebar negeri ini, untuk masuknya produk-produk internasional. Sementara, produk-produk lokal kita saja belum mampu bersaing. Jangan-jangan, dengan masuknya produk-produk luar negeri tersebut, justru akan mematikan produk-produk lokal kita ?!.
Terkait dengan ikut-ikutannya ’munggah’ harga-harga sembako ini, bisa dihadapi dengan bersatunya masyarakat muslim guna membangun ekonomi kesejahteraan bersama. Dengan membangun sistem ekonomi baru, dimana ekonomi Pancasila belum mampu menampakkan giginya, maka cara-cara yang sinergistis, simultan dan berkesinambungan, bisa sedikit mengurai benang kusut rantai ekonomi kita.
Sebagai contoh saja, ketika bawang putih naik sampai lebih dari 200 persen, daging sapi dan ayam terjadi kenaikan yang cukup signifikan, karena ulah para spekulan, kita dan seluruh masyarakat bisa saja ‘mogok’ makan daging, ganti dengan makan ‘tempe’ atau ‘tahu’. Atau, jika harga ‘tempe’ dan ‘tahu’ naik, kita secara serentak bisa ganti lauk-pauk kita dengan yang lainnya. Dalam ekonomi kesejahteraan publik, apabila terjadi krisis kelangkaan pangan yang mengakibatkan harga-harga terus merangkak naik, maka masyarakat secara spontan bisa segera mengatasinya sendiri, dengan mengurangi permintaan terhadap barang-barang tersebut.
Ekonomi kesejahteraan publik di Indonesia, sudah diawali melalui Kongres Ekonomi Umat tahun 2017, yang diselenggarakan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tanggal 21-24 April 2017. Â Kongres ini telah menghasilkan 7 (tujuh) deklarasi, yaitu sebagai berikut :
1. Â Â Â Â Menegaskan sistem perekonomian nasional yang adil, merata, dan mandiri dalam mengatasi kesenjangan ekonomi,
2. Â Â Â Â Mempercepat redistribusi dan optimalisasi sumber daya alam secara arif dan keberlanjutan,
3. Â Â Â Â Memperkuat sumber daya manusia yang kompeten dan berdaya saing tinggi berbasis keunggulan IPTEK, inovasi, dan kewirausahaan,
4. Â Â Â Â Menggerakkan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah menjadi pelaku usaha utama perekonomian nasional,
5. Â Â Â Â Mewujudkan mitra sejajar Usaha Besar dengan Koperasi, Usaha Mikro, Kecil dan Menengah dalam sistem produksi dan pasar terintegrasi,
6. Â Â Â Â Pengarusutamaan ekonomi syariah dalam perekonomian nasional, tetap dalam bingkai Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI,
7. Â Â Â Â Membentuk Komite Nasional Ekonomi Umat untuk mengawal Arus Baru Perekonomian Indonesia.
Tentu saja, dari deklarasi ekonomi Ummat tersebut, kita sebagai rakyat jelata, berharap kepada para pemangku kepentingan, juga kepada masyarakat luas, untuk bersama-sama mampu menjadi katalisator terhadap harga-harga yang sengaja dimainkan oleh para spekulan di negeri ini. Sehingga, harga bahan pokok dapat dikendalikan oleh masyarakat, bukan sebaliknya, masyarakat yang dikendalikan oleh harga-harga tersebut ?! Oleh karena itu, untuk mampu melakukan hal ini, kurangi jiwa konsumtif kita dan kurangi nafsu kita untuk semata mencari kenikmatan dalam berbelanja (hedonis).  Â
Akhirnya, sistem ekonomi ummat yang sedang kita bangun ini, sudah saatnya untuk tidak lagi melihat pertumbuhan ekonomi sebagai tujuan utama, yang justru akan menimbulkan kesenjangan ekonomi saja. Uang, keuntungan, dan pertumbuhan ekonomi hanya dilihat berguna, sejauh ia mengembangkan kesejahteraan bersama seluruh masyarakat kita !?? Wallahu A’lamu Bisshawwab.
Bekasi, 26 Mei 2017.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H