Mohon tunggu...
Wira D. Purwalodra (Second)
Wira D. Purwalodra (Second) Mohon Tunggu... Dosen - Seorang Pembelajar dan Pencari Kebenaran.

Banyak mimpi yang harus kujalani dengan perasaan syukur dan ikhlas. Mimpi-mimpi ini selalu bersemi dalam lubuk jiwa, dan menjadikan aku lebih hidup. Jika kelak aku terjaga dalam mimpi-mimpi ini, pertanda keberadaanku akan segera berakhir .... dariku Wira Dharmapanti Purwalodra, yang selalu menjaga agar mimpi-mimpi ini tetap indah.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Tak Ada Ilmu Pasti, Kalaupun Ada Itu Pasti Bukan Ilmu!

15 Juli 2016   08:54 Diperbarui: 18 Juli 2016   08:08 619
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tahun pelajaran baru 2016-2017 yang akan tiba dalam beberapa hari lagi, telah menanamkan kecemasan dan kekhawatiran para orang tua dalam memilihkan pendidikan bagi anak-anaknya. Sebagian besar orang tua murid tidak menginginkan anak-anaknya bersekolah di sekolah yang tidak bermutu, atau dengan kata lain anak-anak harus bersekolah di sekolah favorit. 

Dengan sekolah favorit itu, para orang tua yakin anak-anaknya akan sukses. Mereka juga yakin sekolah favoritlah yang akan membawa peserta didik sukses dalam karir di masa depan. Pandangan ini sepenuhnya tidak salah, namun belum tentu benar .

Dalam hal memilih pendidikan, masyarakat  kita saat ini dengan berbagai mitos, dimana mitos adalah pemahaman yang salah atas kenyataan kehidupan. Salah satu mitos pendidikan yang berkembang adalah bahwa para orang tua dan peserta didik berlomba-lomba untuk masuk jurusan IPA atau Ilmu Pengetahuan Alam, walaupun mereka tidak memiliki minat atau ketertarikan, apalagi bakat, dalam bidang itu. 

Tentu saja pendidikan ilmu-ilmu alam amatlah penting namun, pendidikan semacam itu tidak cukup. Hidup sebenarnya jauh lebih kaya dan rumit daripada sekedar fakta-fakta matematis alamiah yang menjadi kajian ilmu-ilmu alam.

Sebagian motif para orang tua murid memiliki jurusan IPA, adalah keberlanjutan studi yang akan ditempuh anak-anaknya. Dengan peserta didik memasuki jurusan IPA, mereka bisa melanjutkan kuliah ke berbagai program studi yang ujung-ujungnya dihubungkan dengan karir bekerja di masa depannya. 

Pada titik inilah pendidikan menjadi komoditas bagi dunia kerja. Mereka pada akhirnya tidak mampu memahami ilmu pengetahuan dengan benar karena mereka belajar untuk bekerja. Bukannya bekerja untuk belajar. Jika sudah demikian, pendidikan tidak lebih hanya untuk mencari selembar ijazah saja.

Sementara itu, pemahaman kita tentang ilmu pengetahuan juga diselimuti oleh berbagai mitos. Banyak orang mengira bahwa ilmu pengetahuan telah menyelamatkan dunia dan kehidupan manusia. Ia telah memberi kita begitu banyak kemudahan dalam hidup. Ia berhasil mengembangkan obat-obatan untuk melawan beragam jenis penyakit. Tetapi sebenarnya apa artinya semua itu jika jutaan hewan dan tumbuhan menjadi korbannya dan menghancurkan alam itu sendiri?

Ketika manusia dijadikan sebagai tujuan bahkan keselamatan kita lebih penting dari hewan dan tumbuhan lainnya, maka pada hakekatnya kita sudah menghancurkan alam dan diri kita sendiri. Apakah kita sebagai manusia merasa begitu penting sehingga kita bisa menghancurkan hewan dan tumbuhan demi kenikmatan sesaat belaka. 

Lalu, apa motivasi dari semua tindakan yang merusak ini? Mungkin, seperti yang dinyatakan oleh Heidegger, bahwa manusia tidaklah memiliki kehendak jahat, melainkan hanya tidak berpikir. Manusia  berpikir dengan jangka waktu yang amat pendek. Ia tidak mau melihat dari kaca mata yang berbeda. Bukannya manusia itu tidak bisa, tetapi lebih karena kemalasan berpikir yang mendorong terciptanya kebodohan massal. Orang bisa saja cerdas secara intelektual, tetapi amat bodoh dalam sikap hidupnya!

Begitu pula, dalam hal memahami ilmu pengetahuan. Orang bisa saja amat cerdas dalam satu bidang ilmu tertentu, tetapi sangat bodoh dan biadab dalam sikap hidupnya. Apa yang membuat orang-orang cerdas ini menjadi begitu bodoh? Boleh jadi, jawabannya ada pada cara memahami ilmu pengetahuan itu sendiri.

Bila kita menengok ke belakang, pada jaman Aristoteles dulu, ilmu pengetahuan sudah memisahkan-misahkan alam ke dalam berbagai kelompok. Tugas utama ilmu pengetahuan adalah memahami. Namun, kata ‘memahami’ ini dipahami secara sempit, yaitu sebagai upaya menganalisis yang berarti memecah segala sesuatu ke dalam kelompok-kelompok yang berbeda. 

Dengan cara berpikir seperti ini, orang dengan mudah kehilangan pandangan keseluruhan tentang apa yang ia dalami. Ia bisa memahami sesuatu melalui bagian-bagiannya, tetapi buta pada pandangan secara keseluruhan.

Oleh karena itu, jangan heran bila seorang ahli biologi bisa bekerja sama dengan perusahaan yang hendak merusak kesehatan orang lain untuk membuat vaksin palsu untuk meraup keuntunganpribadi. Jangan heran jika seorang ahli Kimia bisa disuap untuk melakukan penelitian palsu untuk menipu orang banyak. Tak heran jika ahli pangan tidak pernah paham mengapa harga beras naik terus setiap tahunnya, sementara petaninya justru tambah miskin.  Inilah orang-orang cerdas yang sekaligus juga bodoh dan buta.

Ilmu pengetahuan adalah dunia yang begitu luas dan kaya. Semuanya perlu diperkenalkan (bukan dikuasai!) kepada peserta didik. Kemudian, mereka bisa memilih bidang apa yang menjadi panggilan hidup mereka. Mitos, bahwa pendidikan ilmu-ilmu alam (bukan ilmu pasti, karena tidak ada ilmu pasti. Kalau itu pasti, maka itu pasti bukan ilmu, melainkan permainan saja) itu lebih tinggi, jelas harus ditinggalkan.

Berbagai Ilmu pengetahuan berkembang dari pemikiran filosofis yang lahir sejak zaman Yunani Kuno. Ciri khas filsafat Yunani dibandingkan dengan filsafat lainnya (misalnya seperti di Tiongkok dan Timur Tengah) adalah penekanan yang luar biasa kuat pada kemampuan akal budi manusia untuk memahami alam ini. Namun, akal budi tidak akan berguna jika orang-orang di Yunani Kuno tidak memiliki motivasi sebagai daya dorongnya. Motivasi yang dimiliki oleh para filosof saat itu, adalah rasa penasaran.

Oleh kaena itu, rasa penasaran inilah, yang akan menjadi kekuatan setiap orang, termasuk peserta didik untuk memahami ilmu pengetahuan. Rasa penasaran ini juga akan mendorong seseorang untuk terus belajar. Mungkin ada benarnya bahwa anak-anak adalah filsuf alamiah, yang selalu penasaran dan terdorong untuk ingin tahu. Rasa penasaran ini merupakan titik awal dari segala bentuk pemikiran dan ide-ide yang mengubah dunia. Wallahu A’lamu Bishshawwab.

Bekasi, 15 Juli 2016.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun