Oleh. Purwalodra
Sejak terjun ke dunia akademis, saya sudah terlatih untuk menguji sebuah kebenaran, baik secara ilmiah maupun alamiah. Kadang saya siap dengan berbagai resiko yang ada, ketika kebenaran yang saya perjuangkan ini memiliki tumbal. Seringkali sebuah kebenaran itulah yang membuat saya jatuh ke lubang yang sama, yakni penderitaan. Saya menyadari, bahwa tidak selamanya pikiran yang logis, rasional dan sistematis itu menyimpan kedamaian dalam jiwa kita. Justru, seringnya pikiran yang logis, rasional, dan sistematis inilah yang menjadikan saya terus menderita.
Selain kondisi diatas, jika kita mampu mengkaji lebih jernih, ternyata berbuat baikpun bisa jadi berbuah petaka, ketika perbuatan baik itu dilakukan dengan pamrih. Kehendak baik menjadi jalan ke neraka, ketika ia dilumuri dengan kepentingan kotor. Ini terjadi, karena orang yang berbuat baik tidak memiliki kejernihan pikiran. Pikirannya dilumuri dengan perhitungan kekuasaan dan kepentingan jahat.
Man Gong, seorang Zen Master asal Korea, menegaskan, bahwa tugas utama kita sebagai manusia adalah menyadari jati diri sejati kita. Semua tugas lain perlu dikesampingkan, supaya kita bisa sampai pada kesadaran semacam ini. Tanpa kesadaran akan jati diri sejati kita sebagai manusia, hidup kita akan terus dipenuhi penderitaan, walaupun kita kaya dan sukses di mata masyarakat. Menyadari jati diri sejati kita adalah tugas asli kita sebagai manusia, ketika dilahirkan ke dunia.
Sehingga, kejernihan yang lahir dari kesadaran kita, akan menjadikan kita sebagai manusia yang kritis dalam mensikapi hidup ini. Kita tidak lagi menjadi manusia naif yang gampang percaya dan ‘manut’. Kita melihat kenyataan yang sebenarnya, dan bukan lagi kenyataan yang diberikan kepada kita oleh pihak-pihak lain yang hendak menyembunyikan kebenaran.
Rene Descartes, pada zamannya, pernah menyatakan bahwa “aku berpikir, maka aku ada.” Pernyataan ini menegaskan bahwa pikiran kita, sebagai manusia, dianggap sebagai inti dari sebuah kepribadian seseorang. Pikiran manusia juga dianggap sebagai satu-satunya ‘sesuatu’ yang tak terbantahkan keberadaannya.
Sementara itu, dalam filsafat pengetahuan Immanuel Kant juga menegaskan, bahwa pikiran manusia bergerak dengan beragam kategori. Dengan beragam kategori ini, yaitu, ruang, waktu, substansi, esensi, dan sebagainya, manusia mampu memahami dunianya. Bisa juga dibilang, bahwa pikiran manusia ‘menciptakan’ dunia, yakni dunia sebagaimana dihidupinya.
Persoalan yang kemudian muncul ke permukaan adalah, bahwa optimisme terhadap pikiran manusia itu tiba-tiba hancur berkeping-keping, sejalan dengan berubahnya waktu. Pikiran kita yang logis, rasional dan sistematis itu, berubah menjadi semacam alat untuk mewujudkan tujuan-tujuan yang justru tidak rasional, seperti perilaku politik yang menyimpang, eksploitasi dan perilaku-perilaku buruk lainnya. Pikiran kita ternyata mampu menciptakan cara pandang dualistik-antagonistik yang melahirkan perbedaan kawan-lawan.
Cara pandang dualistik-antagonistik yang memisahkan dan membuat tegangan antar manusia inilah, akar dari segala konflik yang ada. Kita, kemudian, melihat orang lain sebagai sosok yang berbeda, bahkan musuh. Kita juga melihat alam sebagai sesuatu yang terpisah, yang bisa diperas untuk kepentingan sekelompok manusia saja. Pada tingkat pribadi, cara pandang dualistik-antagonistik ini mampu melahirkan begitu banyak kecemasan yang mendalam, karena perasaan kita terpisah dengan alam dan manusia lain yang begitu kuat ?!.
Sementara itu, Adorno dan Horkheimer melihat semua masalah yang muncul ini sebagai sebuah krisis. Mereka menyebutnya sebagai dialektika pencerahan. Intinya adalah, ternyata bahwa akal budi atawa pikiran manusia telah berubah menjadi mitos baru. Pikiran manusia adalah pembebas yang kini justru menjadi penjara-penjara baru bagi hidup manusia dan melahirkan berbagai masalah.
Jürgen Habermas mencoba mengatasi masalah dualistik-antagonistik ini dalam bukunya yang berjudul Teori Tindakan Komunikatif. Ia menawarkan jalan keluar dengan memahami bahwa pikiran manusia sebagai akal budi komunikatif. Sisi komunikatif ini memang sudah selalu ada di dalam tutur bahasa dan di dalam pola pembicaraan antar sesama manusia. Jika sisi ini dikembangkan, maka akal budi komunikatif tersebut bisa menjadi jalan keluar dari berbagai krisis di dalam kehidupan manusia. Akal budi komunikatif dianggap sebagai jalan keluar bagi kebuntuan akal budi alias pikiran kita sendiri.
Selanjutnya, berbagai kritikpun menghujam, bahwa pemikiran Habermas ini terlalu ideal. Habermas telah mengesampingkan unsur kekuasaan dan kepentingan dalam dinamika komunikasi manusia. Karena, pengaruh kekuasaan dan kepentingan ternyata tidak pernah bisa dilepaskan di dalam hubungan interaksi antar manusia. Teori tindakan komunikatif menarik secara teoritis dan filosofis. Namun, di dalam kehidupan keseharian yang nyata, ia tetap tunduk pada cengkraman kekuasaan dan kepentingan yang lebih besar.
Peter Sloterdijk ikut pula menegaskan, bahwa akal budi atawa pikiran manusia tidak lagi dapat dijadikan sandaran bagi kehidupan manusia itu sendiri. Terlalu banyak kelemahan yang terkandung di dalamnya. Ia pun menyarankan, agar kita perlu bersikap sinis terhadap akal budi alias pikiran kita sendiri. Tulisan-tulisan Sloterdijk lalu mengarah pada estetika sebagai jalan keluar dari segala kelemahan akal budi tersebut.
Mungkin, tidak terlalu berlebihan, jika pikiran kita adalah juga sumber dari penderitaan hidup kita sendiri. Ketika kita mulai berpikir, segalanya kemudian muncul, seperti ruang, waktu, masa lalu, masa depan, penderitaan, kenangan, dan ambisi. Pada saat kita mengira, bahwa semua itu benar, maka kita jatuh ke dalam kemelekatan dengan pikiran kita sendiri. Lalu, kita mengalami penderitaan hidup yang berat ?!
Jalan keluar dari semua masalah pikiran ini, bisa jadi dengan kembali kepada kondisi atawa keadaan sebelum pikiran (before thinking). Keadaan sebelum pikiran inilah yang disebut juga sebagai keadaan alamiah manusia. Keadaan ini tidak memiliki nama ataupun konsep. Ia jernih dan seperti ruang hampa yang tanpa batas. Kita lalu diajarkan untuk hidup dari titik sebelum pikiran tersebut. Artinya, kita hidup sepenuhnya dari kejernihan. Ketika kita memutuskan, kita pun memutuskan dari kejernihan. Ketika kita bertindak, kita juga bertindak dari kejernihan.
Paradoks yang kemudian muncul dari keadaan ini, adalah ketika kita hidup dari titik sebelum pikiran, kemudian kita melepaskan kemelekatan dengan pikiran yang kita punya. Ketika kemelekatan runtuh, kita justru bisa menggunakan pikiran secara jernih dan tajam untuk menanggapi berbagai masalah dan keadaan. Pikiran yang terbebaskan dari kemelekatan ini, adalah pikiran yang bisa membebaskan kita dari berbagai bentuk masalah yang dihadapi oleh pikiran kita sendiri.
Pada akhirnya, ketika kita hidup dari titik sebelum pikiran, maka secara alami akan tumbuh rasa cinta dan kebijaksanaan. Sehingga, moralitas tidak lagi dipahami sebagai penyesuaian terhadap aturan-aturan masyarakat yang sudah ada sebelumnya, melainkan sebagai gerak batin yang muncul secara alami dari saat ke saat. Dari keadaan inilah, Hannah Arendt menegaskan, bahwa bahaya terbesar peradaban manusia bukanlah sikap tidak patuhnya, melainkan kepatuhan buta pada aturan yang ada. Kepatuhan buta inilah yang melahirkan fanatisme terhadap beragam sistem yang melahirkan konflik dan penderitaan bagi begitu banyak kita, sebagai manusia ?!
Wallahu A’lamu Bishshawwab.
Bekasi, 27 Februari 2016.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H