Selanjutnya, berbagai kritikpun menghujam, bahwa pemikiran Habermas ini terlalu ideal. Habermas telah mengesampingkan unsur kekuasaan dan kepentingan dalam dinamika komunikasi manusia. Karena, pengaruh kekuasaan dan kepentingan ternyata tidak pernah bisa dilepaskan di dalam hubungan interaksi antar manusia. Teori tindakan komunikatif menarik secara teoritis dan filosofis. Namun, di dalam kehidupan keseharian yang nyata, ia tetap tunduk pada cengkraman kekuasaan dan kepentingan yang lebih besar.
Peter Sloterdijk ikut pula menegaskan, bahwa akal budi atawa pikiran manusia tidak lagi dapat dijadikan sandaran bagi kehidupan manusia itu sendiri. Terlalu banyak kelemahan yang terkandung di dalamnya. Ia pun menyarankan, agar kita perlu bersikap sinis terhadap akal budi alias pikiran kita sendiri. Tulisan-tulisan Sloterdijk lalu mengarah pada estetika sebagai jalan keluar dari segala kelemahan akal budi tersebut.
Mungkin, tidak terlalu berlebihan, jika pikiran kita adalah juga sumber dari penderitaan hidup kita sendiri. Ketika kita mulai berpikir, segalanya kemudian muncul, seperti ruang, waktu, masa lalu, masa depan, penderitaan, kenangan, dan ambisi. Pada saat kita mengira, bahwa semua itu benar, maka kita jatuh ke dalam kemelekatan dengan pikiran kita sendiri. Lalu, kita mengalami penderitaan hidup yang berat ?!
Jalan keluar dari semua masalah pikiran ini, bisa jadi dengan kembali kepada kondisi atawa keadaan sebelum pikiran (before thinking). Keadaan sebelum pikiran inilah yang disebut juga sebagai keadaan alamiah manusia. Keadaan ini tidak memiliki nama ataupun konsep. Ia jernih dan seperti ruang hampa yang tanpa batas. Kita lalu diajarkan untuk hidup dari titik sebelum pikiran tersebut. Artinya, kita hidup sepenuhnya dari kejernihan. Ketika kita memutuskan, kita pun memutuskan dari kejernihan. Ketika kita bertindak, kita juga bertindak dari kejernihan.
Paradoks yang kemudian muncul dari keadaan ini, adalah ketika kita hidup dari titik sebelum pikiran, kemudian kita melepaskan kemelekatan dengan pikiran yang kita punya. Ketika kemelekatan runtuh, kita justru bisa menggunakan pikiran secara jernih dan tajam untuk menanggapi berbagai masalah dan keadaan. Pikiran yang terbebaskan dari kemelekatan ini, adalah pikiran yang bisa membebaskan kita dari berbagai bentuk masalah yang dihadapi oleh pikiran kita sendiri.
Pada akhirnya, ketika kita hidup dari titik sebelum pikiran, maka secara alami akan tumbuh rasa cinta dan kebijaksanaan. Sehingga, moralitas tidak lagi dipahami sebagai penyesuaian terhadap aturan-aturan masyarakat yang sudah ada sebelumnya, melainkan sebagai gerak batin yang muncul secara alami dari saat ke saat. Â Dari keadaan inilah, Hannah Arendt menegaskan, bahwa bahaya terbesar peradaban manusia bukanlah sikap tidak patuhnya, melainkan kepatuhan buta pada aturan yang ada. Kepatuhan buta inilah yang melahirkan fanatisme terhadap beragam sistem yang melahirkan konflik dan penderitaan bagi begitu banyak kita, sebagai manusia ?!
Wallahu A’lamu Bishshawwab.  Â
Bekasi, 27 Februari 2016.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H