Mohon tunggu...
Wira D. Purwalodra (Second)
Wira D. Purwalodra (Second) Mohon Tunggu... Dosen - Seorang Pembelajar dan Pencari Kebenaran.

Banyak mimpi yang harus kujalani dengan perasaan syukur dan ikhlas. Mimpi-mimpi ini selalu bersemi dalam lubuk jiwa, dan menjadikan aku lebih hidup. Jika kelak aku terjaga dalam mimpi-mimpi ini, pertanda keberadaanku akan segera berakhir .... dariku Wira Dharmapanti Purwalodra, yang selalu menjaga agar mimpi-mimpi ini tetap indah.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sejatinya Kita Tak Pernah Mampu Memahami Kebenaran

7 Desember 2015   10:10 Diperbarui: 17 Oktober 2017   08:01 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh. Purwalodra.

Kebenaran merupakan hal penting dalam hidup setiap orang. Tidak ada orang yang mau hidup dalam kebohongan dan kepalsuan. Mereka menginginkan dan mencari kebenaran. Semua keputusan dalam hidup mereka, sedapat mungkin, didasarkan atas kebenaran. Namun, sayangnya, ketika kebenaran itu mereka peroleh, maka lahirlah orang-orang yang merasa paling benar. Dan, menganggap orang lain salah, alias tidak benar?!.

Dalam sisi kehidupan lainnya, kita selalu mendapati, bahwa menjadi orang benar itu juga tidak selalu beruntung. Seringkali, orang justru jadi terpuruk gara-gara berkata benar. Orang baik tidak selalu mendapatkan kebaikan dari dunianya. Sama seperti, orang jahat tidak akan selalu mendapatkan kejahatan sebagai imbalannya.

Kita juga mendapati bahwa orang jujur tidak otomatis akan selamat. Sebaliknya, orang tidak jujur tidak otomatis mendapatkan jahat. Akan tetapi, orang baik juga tidak otomatis mendapatkan jahat, sama seperti orang jahat tidak otomatis mendapatkan baik. Ada ketidakpastian yang membuat kita selalu merasa menderita. Pertanyaan yang munculadalah, di tengah orang jahat, beranikah kita menjadi orang baik? Beranikah kita berkata benar, ketika semua orang memaksa kita untuk mengatakan yang dikatakan oleh kelompok itu ?.

Seorang filosof, Solomon Ash, sudah mencoba menelitinya dengan pertanyaan yang cukup secerhana, yakni apakah orang di dalam kelompok berani menyatakan pendapatnya yang obyektif benar, jika semua orang lainnya memberikan jawaban yang salah? Apakah orang berani menyatakan pendapatnya yang benar, di tengah orang-orang yang sengaja salah, dengan tidak merasakan keresahan ?

Berdasarkan penelitiannya, Asch menemukan bahwa ada sekitar 37 persen orang memberikan jawaban yang salah, alias sama seperti anggota kelompok lainnya. Artinya, suara atawa kata kelompok mampu memaksa seseorang meragukan pendapatnya sendiri. Walaupun ia tahu bahwa pendapat kelompok tidak benar, orang bisa saja melakukan penyesuaian-penyesuaian, dengan mengkhianati dirinya sendiri. Hal ini terjadi karena orang takut dianggap pengkhianat. Ia takut dicap sebagai pemberontak yang laknat. Akibatnya, orang kehilangan pendapat orisinalnya. Kata kelompok mendikte kata hatinya. Orang takut berkata benar, karena keselamatan diri menjadi taruhannya ?!.

Sementara itu, Jacques Derrida, seorang filsuf Prancis di abad 20, memberi pengertian menarik tentang sebuah kebenaran. Baginya, kebenaran selalu terkait dengan proses dekonstruksi. Kebenaran bukanlah sesuatu yang mutlak dan tetap, melainkan bergerak sejalan dengan perubahan kenyataan itu sendiri. Dalam arti ini dapatlah dikatakan, bahwa dekonstruksi merupakan sebuah teori tentang kebenaran.

Derrida berpendapat, bahwa simbol dan bahasa yang kita gunakan sehari-hari tidak otomatis mewakili suatu kenyataan. Simbol dan bahasa tersebut merupakan suatu sistem mandiri yang kita bangun lewat pikiran dan komunikasi. Oleh karena itu, Derrida kemudian mencoba melampaui sudut pandang ilmu pengetahuan dengan melihat ke sisi lain dari kenyataan, yakni sisi dekonstruksi.

Dekonstruksi adalah metode yang digunakan oleh Derrida untuk menekankan, bahwa bahasa dan simbol tidak pernah bisa mewakili kenyataan yang ada. Keduanya bersifat ambigu dan tidak pasti. Dekonstruksi sebenarnya sudah selalu berada di dalam teks. Ia berada dalam bentuk ketidakpastian yang mengaburkan makna teks, dan membuatnya terbuka untuk berbagai kemungkinan tafsiran.

Dari titik inilah,  maka teks itu sebenarnya tidak hanya berarti tulisan, tetapi juga kenyataan itu sendiri. Bahasa dan simbol adalah alat-alat yang digunakan oleh pikiran manusia untuk memahami kenyataan. Karena bahasa dan simbol selalu berubah dan tidak pasti, pemahaman kita akan kenyataan pun selalu berubah dan tidak pasti pula. Ketidakpastian ini juga sudah tertanam di dalam bahasa dan simbol yang kita ciptakan.

Ketika kita menganggap bahwa bahasa dan simbol merupakan sebuah kenyataan, maka kita akan banyak mengalami delusi atau kesalahpahaman terhadap kenyataan itu sendiri. Delusi ini merupakan kondisi pikiran seseorang yang tidak beres, akibat dari keterbatasan-keterbatasannya, karena  berdasarkan   suatu  keyakinan  palsu dan lain-lain. Seseorang tidak lagi mampu menggunakan akal sehatnya, dan tidak ada dasar kenyataan.

Beberapa delusi yang bisa kita temukan dalam kehidupan sehari-hari antara lain : Pertama, delusi  persekusi, yang menganggap keadaan sekitarnya jelek.  Seseorang yang mengalami delusi persekusi tidak mau  mengenal  tetangga  kiri kanan  karena  menganggap pikiran dan perilakunya jelek. Kedua, delusi  keagungan, yang menganggap   dirinya  orang  penting  dan  besar.  Orang  seperti  itu biasanya  gila hormat dan menganggap  orang-orang  disekitamya  sebagai  orang-orang  tidak penting. Terakhir, delusi melancholis dimana seseorang merasa   dirinya   bersalah,   hina,   dan  paling berdosa.   Hal   ini  dapat mengakibatkan  buyuten atau  dikenal dengan nama delirium trements, hilangnya kesadaran dan menyebabkan otot-otot tidak dapat ia kuasai lagi, dan kemudian lemah, tak berdaya. 

Selanjutnya, dalam salah satu karya dialognya, Plato, filsuf Yunani Kuno, menegaskan dengan jelas, bahwa ketidaktahuan adalah akar dari semua kejahatan di atas bumi ini. Filsuf eksistensialis Prancis, Albert Camus, juga menegaskan, bahwa kesalahpahaman mendorong orang bertindak salah, walaupun niat hatinya baik. Sokrates, salah satu tokoh terpenting di dalam Filsafat Yunani Kuno, juga terkenal dengan ungkapannya : orang yang paling bijak adalah orang yang sadar, bahwa dirinya tak tahu apa-apa.

Oleh karena itu, Derida dengan metode dekonstruksinya melihat bahwa kebenaran hanya sebagai jejak. Manusia tak mampu memahami kebenaran mutlak pada dirinya sendiri. Yang bisa ia capai hanya merupakan jejak-jejak kebenaran. Ia hanya bisa mendekati kebenaran, tanpa pernah bisa meraihnya secara utuh dan penuh.

Menurut Derida, setiap jejak kebenaran selalu bersifat tidak pasti dan terbuka. Ia bisa berubah, seturut dengan perubahan waktu dan peristiwa. Ia selalu terbuka untuk pertanyaan dan sanggahan, sampai muncul kemungkinan lain yang dianggap lebih baik. Dekonstruksi merupakan proses yang terus bergerak tanpa henti dari dalam diri teks itu sendiri.

Pada akhirnya, sebuah kebenaran itu hanya mampu dilihat oleh manusia sebagai bentuk tafsiran. Manusia akan menafsirkan ulang dirinya sendiri terus menerus, tanpa henti. Sementara itu, para Penulis dan Pembaca hanya memainkan gerak ketegangan dan kontradiksi yang selalu sudah hadir di dalam bahasa dan simbol yang digunakannya untuk memahami kenyataan. Di titik inilah, maka dekonstruksi bergerak melampaui dirinya sendiri, dan mengajak kita semua untuk masuk ke ranah sebelum kata ?!. Wallahu A’lamu Bishshawwab.

Bekasi, 07 Desember 2015.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun