Beberapa delusi yang bisa kita temukan dalam kehidupan sehari-hari antara lain : Pertama, delusi  persekusi, yang menganggap keadaan sekitarnya jelek.  Seseorang yang mengalami delusi persekusi tidak mau  mengenal  tetangga  kiri kanan  karena  menganggap pikiran dan perilakunya jelek. Kedua, delusi  keagungan, yang menganggap  dirinya  orang  penting  dan  besar.  Orang  seperti  itu biasanya  gila hormat dan menganggap  orang-orang  disekitamya  sebagai  orang-orang  tidak penting. Terakhir, delusi melancholis dimana seseorang merasa  dirinya  bersalah,  hina,  dan  paling berdosa.  Hal  ini  dapat mengakibatkan  buyuten atau  dikenal dengan nama delirium trements, hilangnya kesadaran dan menyebabkan otot-otot tidak dapat ia kuasai lagi, dan kemudian lemah, tak berdaya.Â
Selanjutnya, dalam salah satu karya dialognya, Plato, filsuf Yunani Kuno, menegaskan dengan jelas, bahwa ketidaktahuan adalah akar dari semua kejahatan di atas bumi ini. Filsuf eksistensialis Prancis, Albert Camus, juga menegaskan, bahwa kesalahpahaman mendorong orang bertindak salah, walaupun niat hatinya baik. Sokrates, salah satu tokoh terpenting di dalam Filsafat Yunani Kuno, juga terkenal dengan ungkapannya : orang yang paling bijak adalah orang yang sadar, bahwa dirinya tak tahu apa-apa.
Oleh karena itu, Derida dengan metode dekonstruksinya melihat bahwa kebenaran hanya sebagai jejak. Manusia tak mampu memahami kebenaran mutlak pada dirinya sendiri. Yang bisa ia capai hanya merupakan jejak-jejak kebenaran. Ia hanya bisa mendekati kebenaran, tanpa pernah bisa meraihnya secara utuh dan penuh.
Menurut Derida, setiap jejak kebenaran selalu bersifat tidak pasti dan terbuka. Ia bisa berubah, seturut dengan perubahan waktu dan peristiwa. Ia selalu terbuka untuk pertanyaan dan sanggahan, sampai muncul kemungkinan lain yang dianggap lebih baik. Dekonstruksi merupakan proses yang terus bergerak tanpa henti dari dalam diri teks itu sendiri.
Pada akhirnya, sebuah kebenaran itu hanya mampu dilihat oleh manusia sebagai bentuk tafsiran. Manusia akan menafsirkan ulang dirinya sendiri terus menerus, tanpa henti. Sementara itu, para Penulis dan Pembaca hanya memainkan gerak ketegangan dan kontradiksi yang selalu sudah hadir di dalam bahasa dan simbol yang digunakannya untuk memahami kenyataan. Di titik inilah, maka dekonstruksi bergerak melampaui dirinya sendiri, dan mengajak kita semua untuk masuk ke ranah sebelum kata ?!. Wallahu A’lamu Bishshawwab.
Bekasi, 07 Desember 2015.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H