Mohon tunggu...
Wira D. Purwalodra (Second)
Wira D. Purwalodra (Second) Mohon Tunggu... Dosen - Seorang Pembelajar dan Pencari Kebenaran.

Banyak mimpi yang harus kujalani dengan perasaan syukur dan ikhlas. Mimpi-mimpi ini selalu bersemi dalam lubuk jiwa, dan menjadikan aku lebih hidup. Jika kelak aku terjaga dalam mimpi-mimpi ini, pertanda keberadaanku akan segera berakhir .... dariku Wira Dharmapanti Purwalodra, yang selalu menjaga agar mimpi-mimpi ini tetap indah.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sejatinya Kita Tak Pernah Mampu Memahami Kebenaran

7 Desember 2015   10:10 Diperbarui: 17 Oktober 2017   08:01 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Beberapa delusi yang bisa kita temukan dalam kehidupan sehari-hari antara lain : Pertama, delusi  persekusi, yang menganggap keadaan sekitarnya jelek.  Seseorang yang mengalami delusi persekusi tidak mau  mengenal  tetangga  kiri kanan  karena  menganggap pikiran dan perilakunya jelek. Kedua, delusi  keagungan, yang menganggap   dirinya  orang  penting  dan  besar.  Orang  seperti  itu biasanya  gila hormat dan menganggap  orang-orang  disekitamya  sebagai  orang-orang  tidak penting. Terakhir, delusi melancholis dimana seseorang merasa   dirinya   bersalah,   hina,   dan  paling berdosa.   Hal   ini  dapat mengakibatkan  buyuten atau  dikenal dengan nama delirium trements, hilangnya kesadaran dan menyebabkan otot-otot tidak dapat ia kuasai lagi, dan kemudian lemah, tak berdaya. 

Selanjutnya, dalam salah satu karya dialognya, Plato, filsuf Yunani Kuno, menegaskan dengan jelas, bahwa ketidaktahuan adalah akar dari semua kejahatan di atas bumi ini. Filsuf eksistensialis Prancis, Albert Camus, juga menegaskan, bahwa kesalahpahaman mendorong orang bertindak salah, walaupun niat hatinya baik. Sokrates, salah satu tokoh terpenting di dalam Filsafat Yunani Kuno, juga terkenal dengan ungkapannya : orang yang paling bijak adalah orang yang sadar, bahwa dirinya tak tahu apa-apa.

Oleh karena itu, Derida dengan metode dekonstruksinya melihat bahwa kebenaran hanya sebagai jejak. Manusia tak mampu memahami kebenaran mutlak pada dirinya sendiri. Yang bisa ia capai hanya merupakan jejak-jejak kebenaran. Ia hanya bisa mendekati kebenaran, tanpa pernah bisa meraihnya secara utuh dan penuh.

Menurut Derida, setiap jejak kebenaran selalu bersifat tidak pasti dan terbuka. Ia bisa berubah, seturut dengan perubahan waktu dan peristiwa. Ia selalu terbuka untuk pertanyaan dan sanggahan, sampai muncul kemungkinan lain yang dianggap lebih baik. Dekonstruksi merupakan proses yang terus bergerak tanpa henti dari dalam diri teks itu sendiri.

Pada akhirnya, sebuah kebenaran itu hanya mampu dilihat oleh manusia sebagai bentuk tafsiran. Manusia akan menafsirkan ulang dirinya sendiri terus menerus, tanpa henti. Sementara itu, para Penulis dan Pembaca hanya memainkan gerak ketegangan dan kontradiksi yang selalu sudah hadir di dalam bahasa dan simbol yang digunakannya untuk memahami kenyataan. Di titik inilah, maka dekonstruksi bergerak melampaui dirinya sendiri, dan mengajak kita semua untuk masuk ke ranah sebelum kata ?!. Wallahu A’lamu Bishshawwab.

Bekasi, 07 Desember 2015.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun