Beberapa hari ini saya digalaukan dengan pernyataan seorang teman perempuan, yang meminta saya untuk memberikan advis padanya. Pasalnya ia ingin merasa terbebas dari penjara kehidupan, yang kini membelenggunya setiap saat. Jika saja ia bisa berpisah dengan suaminya, menurutnya ia akan merasa tidak dalam penjara. Sekarang, dia merasa hidup dengan suaminya seperti hidup dalam neraka. Karena boro-boro bisa nyaman hidup bersamanya, justru yang terjadi adalah selalu terjadi kesalahpahaman dan selalu ngeselin aja, bahkan selalu pecah konflik setiap hari.
Sementara, saya sendiri mengalami masalah sebaliknya, dengan teman sekantor saya, yang juga berjenis kelamin perempuan. Menurut saya, dia perempuan yang menyebalkan. Jangankan mendengar kata-katanya, melihat wajahnyapun rasanya pengen ‘nampol’ aja?!. Untuk menghindari hal-hal yang tidak saya inginkan, saya mencoba menghindari sejauh mungkin, bahkan tidak lagi pengen melihat dirinya. Namun, jika terpaksa berpapasan pandang, apa boleh buat terpaksa dech pasang muka senyum aja ...xixixixi ....
Saya merasakan, bahwa kondisi seperti yang teman saya alami, juga pada diri saya sendiri, disebabkan karena ada jiwa-jiwa yang tidak mampu membebaskan diri kita sendiri. Hidup berteman dan hidup bersama dengan orang-orang yang tidak mampu membebaskan bathin kita, serasa hidup dalam neraka. Dunia jadi sempit. Pikiran dan hati jadi mentog sana, mentog sini?! Atawa, mungkin diri kita sendirilah yang tidak mampu membebaskan bathin ???.
Memang tidak bisa kita pungkiri, dalam pergaulan hidup sehari-hari, ada saja orang-orang yang menyebabkan kita berada dalam penjara kehidupan, namun ada juga orang-orang yang mampu membebaskan diri kita dari penjara-penjara itu. Hanya orang-orang yang mampu membebaskan bathinnyalah yang bisa menjadi soulmate atawa sahabat. Mungkin inilah pesan moral bagi setiap pasangan, baik yang sudah menikah atau belum, untuk menjadikan pasangan kita sebagai sahabat yang membebaskan.
Namun, apa sesungguhnya arti kebebasan itu? Tentu, ada beragam upaya untuk menjawab pertanyaan ini. Ada beragam bentuk, mulai dari kebebasan politik, kebebasan ekonomi, kebebasan budaya, dan sebagainya. Namun, semua paham kebebasan itu berpijak pada kebebasan lainnya yang amat mendasar, yakni kebebasan batin. Kebebasan batin adalah kebebasan paling tinggi yang bisa dicapai oleh manusia, dan menjadi dasar bagi kebebasan-kebebasan lainnya.
Lantas, apa arti dari kebebasan batin? Belajar dari Anthony de Mello di dalam bukunya yang berjudul Awareness, A de Mello Spirituality Conference in His Own Words, kebebasan batin dapat dipahami sebagai kebebasan dari keterkondisian batin, atau kebebasan dari “program-program” batin kita. Sedari kecil, kita diajar bagaimana cara berpikir, cara merasa, dan cara bertindak. Kita menelan semua itu, tanpa sikap kritis, dan kini menjadi bagian dari diri kita.
Semua “program” ini lalu menjadi pola hidup kita. Ketika kita mendapat masalah, kita lalu merasa, berpikir dan bertindak sesuai dengan “program” yang kita punya. Ketika kita mengalami hal baik, kita pun merasa, berpikir dan bertindak sesuai dengan “program” tersebut. Bahkan, pemahaman kita tentang apa itu “masalah” dan apa yang merupakan “berkah” juga ditentukan oleh “program” yang kita terima dari masyarakat kita, dan kita telan mentah-mentah begitu saja. Kita pun melihat dunia tidak dengan apa adanya dunia itu, tetapi dengan “program” yang kita miliki.
Segala bentuk perasaan, seperti sedih, senang, marah, dan sebagainya, adalah “program” hasil dari bentukan masyarakat kita. Misalnya, ketika seseorang meninggal, kita “diajarkan” oleh masyarakat kita untuk sedih. Ketika mendapat bonus dari perusahaan, kita “diajarkan” untuk menjadi senang, bahkan mengadakan pesta dengan keluarga dan sahabat. Emosi dan perasaan, serta cara kita memaknai dan menanggapi berbagai peristiwa dalam hidup kita, bukanlah sesuatu yang alamiah, melainkan bentukan dari masyarakat kita.
Jadi, ketika kita sedih, bukan karena suatu peristiwa membuat kita sedih, tetapi karena kita “diajarkan” untuk sedih, ketika mengalami peristiwa semacam itu. Dan sebaliknya, ketika kita senang, bukan karena suatu peristiwa membuat kita senang, tetapi karena kita “diajarkan” sejak kecil untuk merasa senang, ketika mengalami peristiwa tersebut. Inilah yang disebut sebagai “program” yang membuat seluruh batin kita tidak bebas untuk memahami dunia apa adanya. De Mello bahkan menyebutnya sebagai proses cuci otak, bahkan hipnosis.
Sebenarnya, kita semua sejatinya adalah mahluk yang berbahagia. Lihatlah anak kecil, sebelum ia “diprogram” oleh keluarga maupun komunitasnya. Ia begitu bahagia. Ia melihat dunia apa adanya, menerima semua apa adanya, tanpa penilaian, tanpa ketakutan, tanpa kecemasan. Ia menjalani hidup apa adanya, tanpa harapan dan ketakutan yang berlebihan.
Yang kita perlu lakukan untuk mencapai kebebasan batin adalah menyadari semua “program” yang telah ditanamkan pada kita sepanjang hidup kita. Ada “program” lama yang kita terima, sewaktu kita kecil. Ada “program” baru yang baru saja kita terima dan melekat di dalam diri kita, karena beberapa peristiwa yang kita alami. Kita tidak boleh melawan “program” itu. Cukup disadari saja. Ketika “program” ini dilawan, kita justru akan semakin menderita, dan terjebak pada “program” baru lainnya.
Apa yang diajarkan oleh De Mello adalah inti dari kebebasan itu sendiri, yakni kebebasan batin. Kebebasan politis, kebebasan ekonomis, dan kebebasan kultural tidak ada artinya, jika orang tidak mencapai kebebasan batin. Kebebasan batin memiliki nilai pada dirinya sendiri. Namun, ia tidak muncul dari usaha manusia untuk mengejar “ide tentang kebebasan batin”, melainkan dari upaya manusia untuk menjadi sadar akan keterkondisiannya, yakni akan “program-program” yang bercokol di dalam dirinya, yang membuatnya sensitif dan tak bahagia di dalam menjalani hidup.
Menurut Sudrijanta, bahwa kata “kesadaran” disini haruslah dipahami secara tepat. (Sudrijanta, 2012) Kesadaran bukanlah kesadaran pengetahuan yang berpijak pada kemampuan intelejensi manusia (consciousness), melainkan kesadaran yang bersifat eksistensial dan mistikal (awareness). Kesadaran intelektual (consciousness) berguna untuk memahami alam dengan kaca mata filsafat atau ilmu pengetahuan. Sementara, kesadaran eksistensial (awareness) adalah inti dari kebebasan batin.
Dengan kesadaran eksistensial, kita lalu bisa menjadi diri kita apa adanya, yakni diri yang bahagia (bukan senang sesaat). Kita pun bisa melihat dunia apa adanya, tanpa penilaian yang menghasilkan harapan berlebihan, atau justru kekecewaan yang mendalam. Ingatlah, bahwa “kesedihan” dan “kesenangan” adalah bentukan dari “program-program” yang kita dapatkan dalam hidup kita. Itu bukanlah kenyataan yang sejati, melainkan hanya emosi sesaat yang datang dan pergi dalam sekejap mata. Ia semu dan palsu. Jadi, mulailah menjadi jiwa-jiwa yang membebaskan, minimal untuk diri kita sendiri !?.Wallahu A’lamu Bishshawwab.
Bekasi, 17 Oktober 2015.
Foto dokpri
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H