Apa yang diajarkan oleh De Mello adalah inti dari kebebasan itu sendiri, yakni kebebasan batin. Kebebasan politis, kebebasan ekonomis, dan kebebasan kultural tidak ada artinya, jika orang tidak mencapai kebebasan batin. Kebebasan batin memiliki nilai pada dirinya sendiri. Namun, ia tidak muncul dari usaha manusia untuk mengejar “ide tentang kebebasan batin”, melainkan dari upaya manusia untuk menjadi sadar akan keterkondisiannya, yakni akan “program-program” yang bercokol di dalam dirinya, yang membuatnya sensitif dan tak bahagia di dalam menjalani hidup.
Menurut Sudrijanta, bahwa kata “kesadaran” disini haruslah dipahami secara tepat. (Sudrijanta, 2012) Kesadaran bukanlah kesadaran pengetahuan yang berpijak pada kemampuan intelejensi manusia (consciousness), melainkan kesadaran yang bersifat eksistensial dan mistikal (awareness). Kesadaran intelektual (consciousness) berguna untuk memahami alam dengan kaca mata filsafat atau ilmu pengetahuan. Sementara, kesadaran eksistensial (awareness) adalah inti dari kebebasan batin.
Dengan kesadaran eksistensial, kita lalu bisa menjadi diri kita apa adanya, yakni diri yang bahagia (bukan senang sesaat). Kita pun bisa melihat dunia apa adanya, tanpa penilaian yang menghasilkan harapan berlebihan, atau justru kekecewaan yang mendalam. Ingatlah, bahwa “kesedihan” dan “kesenangan” adalah bentukan dari “program-program” yang kita dapatkan dalam hidup kita. Itu bukanlah kenyataan yang sejati, melainkan hanya emosi sesaat yang datang dan pergi dalam sekejap mata. Ia semu dan palsu. Jadi, mulailah menjadi jiwa-jiwa yang membebaskan, minimal untuk diri kita sendiri !?.Wallahu A’lamu Bishshawwab.
Bekasi, 17 Oktober 2015.
Foto dokpri
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H