Mohon tunggu...
Wira D. Purwalodra (Second)
Wira D. Purwalodra (Second) Mohon Tunggu... Dosen - Seorang Pembelajar dan Pencari Kebenaran.

Banyak mimpi yang harus kujalani dengan perasaan syukur dan ikhlas. Mimpi-mimpi ini selalu bersemi dalam lubuk jiwa, dan menjadikan aku lebih hidup. Jika kelak aku terjaga dalam mimpi-mimpi ini, pertanda keberadaanku akan segera berakhir .... dariku Wira Dharmapanti Purwalodra, yang selalu menjaga agar mimpi-mimpi ini tetap indah.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Pikiran, Menyesatkan Kita!

15 Maret 2015   22:00 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:36 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh. Purwalodra

[caption id="attachment_403021" align="alignright" width="300" caption="Foto koleksi pribadi"][/caption]

Sebuah dilema yang selalu kita alami adalah mencintai seseorang, tapi takut kehilangan dirinya. Dilema ini berlangsung seiring dengan suasana hati yang terus naik-turun, yang kadang-kadang beramplitudo tinggi. Menggetarkan pikiran bahkan jiwa-jiwa yang haus kedamaian. Lantas kebencian, kasihan dan sayang silih berganti, tak mengenal diam. Hanya kebisingan saja yang mampu sedikit bisa menenangkan, namun ketika kesunyian tiba, jiwa kita akan merasakan pedihnya luka-luka yang kita derita, yang selama ini kita tenggelamkan dalam kebisingan pikiran kita.

Dilema kehidupan kita berakar pada kegagalan kita dalam menata diri kita sendiri. Kita gagal menata pikiran dan kemudian juga gagal menata kehidupan bersama, yang berpijak pada cinta-kasih. Kesaling pengertian kita banyak dilumuri oleh racun-racun ambisi. Akibatnya, pikiran kita tak lagi mampu melihat keadaan secara tepat dan proporsional. Pikiran kita pun tidak bisa bersikap menanggapi keadaan dengan tepat. Racun ini berkembang dari kesalahan berpikir yang diajarkan kepada kita atau 'database' hidup kita sudah terlanjur menjadi 'sistem-informasi' dalam sikap dan perilaku kita sehari-hari, lalu berkembang menjadi kebiasaan sekaligus bagian dari kepribadian kita sendiri.

Racun pertama adalah kesalahan berpikir kita yang sangat mendasar tentang waktu. Kita percaya, bahwa masa lalu itu ada. Akhirnya, kita selalu terjebak pada masa lalu. Ia hidup di dalam penderitaan, akibat kenangan atas masa lalu yang gelap, yang sebenarnya sudah tidak ada lagi.

Kita juga terlalu yakin, bahwa masa depan itu juga ada. Akhirnya, kita juga sibuk bekerja dan menyikapi peristiwa-peristiwa yang kita alami dengan 'database' yang terlanjur menjadi 'sistem-informasi' hidup kita, guna menata masa depan. Kita akan terus berayun di antara masa lalu dan masa depan, dan akan terus hidup dalam penyesalan masa lalu, dan ketakutan akan masa depan. Pikiran kita dipenuhi ketegangan dan penderitaan.

Selanjutnya, yang menjadi racun kehidupan kita adalah pikiran curiga dan prasangka. Pikiran curiga berarti pikiran yang selalu melihat dunia dari sisinya yang paling jelek. Pikiran curiga lalu menghasilkan prasangka. Kita pun tidak lagi dapat melihat dunia apa adanya, tetapi selalu dengan kaca mata curiga dan prasangka. Pendek kata, kita selalu melihat dunia dan orang lain sebagai musuh yang mengancam diri kita.

Curiga dan prasangka membuat kita membenci orang lain. Kita tak merasa ragu membuat orang lain menderita, selama kebutuhan kita terpenuhi. Curiga dan prasangka juga membuat kita menjadi tak peduli dengan penderitaan orang lain. Racun berikutnya adalah pikiran dualistik-dikotomik. Artinya, pikiran yang melihat dunia dengan kaca mata hitam putih. Ada pihak yang benar secara absolut, dan ada pihak yang salah secara absolut. Tidak ada jalan tengah. Keduanya saling menghancurkan satu sama lain. Kita, yang mungkin merasa teraniaya, menganggap bahwa kelak mereka yang menyakiti kita mendapatkan balasan yang setimpal dari Tuhan. Namun, di sisi lain kita tidak merasa bahwa kita juga ikut andil dalam memperburuk peristiwa atau masalah tersebut. Inilah salah satu akar dari banyak masalah dalam hidup kita sehari-hari, yakni cara berpikir dikotomik menjadi cara berpikir kawan-lawan. Aku merasa benar. Sementara, orang lain adalah lebih rendah dan salah, maka harus dihancurkan.

Oleh karena itu, sebisa mungkin kita harus mampu mengatasi berbagai racun dalam hidup kita, agar dilema demi dilema hidup ini bisa kita atasi dengan sikap yang lebih elegan dan jernih. Pertama-tama, perlu kita pahami bahwa hakekatnya waktu itu tidak ada. Waktu adalah produk dari pikiran. Jika kita berpikir, maka waktu dan segala penyesalan akan masa lalu dan ketakutan akan masa depan akan muncul. Berpikir, takut dan menyesal atas hal yang tidak ada adalah hal yang sia-sia.

Banyak dari kita menghabiskan hidup kita untuk mencari uang. Namun, apakah uang itu ada? Uang adalah simbol. Ia tidak bernilai pada dirinya sendiri. Ia hanya bernilai sebagai alat tukar. Banyak orang juga membunuh demi uang. Mereka korupsi. Mereka menghancurkan alam untuk mendapat uang. Ini semua adalah tindakan yang amat sia-sia.

Selanjutnya, akar dari pikiran curiga dan prasangka adalah rasa takut. Namun, sejatinya, rasa takut adalah ilusi. Tidak ada yang perlu ditakuti di dalam dunia ini. Kematian dan penderitaan menjadi menakutkan, karena manusia berpikir, bahwa itu semua adalah hal buruk yang harus dijauhi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun