Dunia Literasi Antara Dua Generasi
Dari kecil, salah satu kegemaran saya membaca dan menulis. Belajar sendiri dan tanpa bimbingan penulis apalagi mentor atau guru. Sejak sekolah dasar sampai tamat sekolah menengah pertanian, kegemaran membaca dan menulis sesuatu yang sangat saya sukai. Tulisan tentang sesuatu yang ringan, kegiatan pramuka, dan menulis puisi. Apabila menulis biasanya dimuat pada majalah dinding sekolah atau saya simpan begitu saja.
Saat sekolah SMP dan SMT Pertanian, saya juga aktif pada kegiatan literasi dan sekolah kami mempunyai perpustakaan dan majalah dinding, kebetulan waktu itu saya salah satu pengurus.
Sekelumit pengalaman menulis ketika itu. Masih serba tulis tangan. Kertas polio dan pulpen, dua alat  tulis yang sangat akrab dan setia menemani. Belum ada listrik, di desa masih menggunakan lampu berbahan bakar minyak tanah. Lucu dan konyol, jelaga hitam membuat lubang hidung berwarna hitam, bila bangun pagi hari. Begitulah potret keadaan kesederhanaan desa kami pada tahun delapan puluhan.
Buku bacaan banyak tersedia, baik di perpustakaan SD, SMP, dan SMT Pertanian. Bahkan berlebihan. Kegiatan jam membaca di perpustakaan ketika itu, merupakan memori indah yang sulit untuk dilupakan.
Koran Kompas dengan bonus Koran Bola yang terbit setiap Jumat pagi, seharga dua ratus rupiah merupakan bacaan idola dan andalan. Ada juga majalah Anita yang berisi cerpen percintaan remaja, terbit setiap bulan. Semua itu wajib dibeli dan untuk membelinya, kami teman-teman patungan kumpul uang jajan. Kami bergiliran membaca, disela-sela jam istirahat sekolah.
Belum ada telepon seluler apalagi android, waktu itu. Yang ada telepon umum berbayar lima puluh perak dipasang oleh pemerintah dipinggir jalan dan masih sangat jarang teman-teman mempunyai telepon rumah, kecuali anak orang kaya dan pejabat.
Remaja ketika itu termasuk saya, menjadikan surat menyurat dengan tulis tangan pada kertas bergambar love-love dan amplop berbagai motif khas anak yang sedang dilanda cinta monyet. Setiap hari sekolah pada jam istirahat, kantor pos ramai dikunjungi oleh pelajar untuk saling berkirim surat. Sekolah SMP saya sekitar lima puluh meter dari kantor pos.
Kehadiran pak pos, mengantar surat ke sekolah, hal yang paling ditunggu-tunggu. Kami berharap ada balasan surat dari sahabat pena yang tersebar di kota-kota di Indonesia, ketika itu. Kebiasaan andalan, saling berkirim surat dengan sahabat pena, begitu marak.
Menjelang hari raya idul fitri, hari raya natal, dan tahun baru. Penjual kartu ucapan selamat dengan berbagai motif dan gambar, berjejer di depan kantor pos. Kami para pelajar, beramai-ramai membeli dan mengirim kartu ucapan selamat kepada sahabat pena dan keluarga yang kebetulan terpisah oleh jarak dan kota.
Sekelumit kisah tersebut diatas, potret kecil remaja jadul era tahun delapan puluhan dan saya bagian dari pelaku sejarahnya. Kegiatan membaca dan menulis, masih sangat sederhana, boleh dikata tradisional.
Waktu bersicepat. Setengah abad lebih umur saya saat ini, dan putra-putri beranjak remaja dan dewasa. Bila dibandingkan dengan kemajuan dunia literasi pada era saya, baik literasi media dan media sosial. Bak bumi dengan langit. Anak-anak punya android, jaringan internet dan aktif bermedsos. Mereka bermain game online, mitra tanding dan lawan tanding ada di luar negeri. Terhubung oleh jejaring game online.
Saat diajak berlibur, pertanyaan pertama anak-anak adalah: "Destinasi yang hendak dituju ada jaringan internet apa tidak, Ayah?" Sepertinya jaringan internet sudah menjadi kebutuhan pokok buat mereka.
Acang bernama android menjadi teman akrab bagi mereka. Jemari tangan anak-anak begitu mahir memainkan android.
Bacaan putra pertama dan anak gadis yang ketiga semua berbahasa inggris. Resensi buku, novel, cerita animasi, permainan game, dan film semua dalam konten bahasa inggris. Putra ke dua, asyik dengan konten-konten kajian filsafat islam dan khasanah ilmu pengetahuan islam, hukum, dan kitab-kitab babon. Seperti Al Hikam, Ihya Ulumiddin, Fiqih Islam, dan ilmu tasawuf. Padahal kuliahnya jurusan hukum pidana. Putri bungsu, asyik dengan film kartun dan animasi. Sesekali mereka berempat kumpul dan sama-sama nonton film perang dan sejarah.
Sebagai orang tua, ada rasa khawatir dan takut melihat mereka begitu mudahnya mengakses segala konten yang mereka inginkan. Era melenial yang identik dengan gadget, konten pornografi dan pornoaksi tentu tak boleh mereka akses, karena ini suatu perbuatan tercela secara norma dan akhlak, bahkan ini merupakan delik pidana.Â
Namun, menghalangi dan melarang mereka secara ketat tentu tidak bijaksana. Menyaksikan cara mereka bergaul dan berkomunikasi dengan teman-temannya ada rasa bangga juga cemas. Justru saya dan istri yang beradaptasi, senantiasa belajar memahami dunia mereka saat ini.
Putra pertama saya, menyelesaikan skripsi sebagai salah satu syarat untuk yudisium. Sengaja saya meminta untuk mendampinginya selama proses perampungan penulisan skripsinya, selama dua minggu kami tidur bersama di asrama ramsis, Asrama mahasiswa yang disediakan oleh pihak universitas dan lokasinya didalam lingkungan kampus. Saya sebagai orang tua berkewajiban membayar sewa kontrak setiap tahunnya kepada pihak pengelolah.
Alat tulis berupa laptop, android, dan internet menjadi alat primer untuk menulis skripsinya. Saya menyaksikan anak saya begitu semangat dan antusias merampungkan skripsi dan segala syarat administrasi jelang ujian skripsinya. 16 Agustus 2018, adalah jadwal ujian yang telah ditentukan oleh pihak panitia.
Dari sikapnya, sebenarnya anak saya kurang setuju atas kehadiran ayahnya mendampinginya. Namun, sulit baginya untuk menolak kehadiran ayahnya.
Kami kadang duduk di kantin kampus, kamar ramsis, perpustakaan, dan sesekali di resto. Pagi, siang, dan malam anak saya gunakan waktu untuk perampungan penulisan skripsinya.
Selama dua minggu, saya berperan sebagai sopir, pembantu, dan ayah dari anak saya agar segala proses penelitian, konsultasi dengan dosen pembimbing, dan penulisan skripsi anak saya tepat waktu.
Suatu kesempatan, kami makan siang di resto. Anak saya membuka obrolan, "Ayah, sebenarnya saya malu," Saya menjawab, mengapa mesti malu? Anak saya menjawab, "Ayah begitu baik kepada saya, sepertinya saya ini anak manja, padahal semuanya bisa saya kerjakan sendiri, tanpa mesti ayah repot-repot mendampingi saya."
Ananda, sebenarnya niat ayah mendampingi mu, selama dua minggu saat perampungan penulisan skripsi mu ini. Ayah hanya mau membandingkan, saat ayah dulu menulis skripsi, ada sekitar tiga rim kertas buram untuk ayah gunakan menulis konsep dan naskah skripsi. Ayah belum punya komputer, laptop, apalagi acang bernama gadget atau android memang belum ada, ketika itu.
Selama dua minggu mendampingi mu, ayah belum pernah melihat ananda menggunakan kertas dan pulpen untuk menulis konsep dan draf skripsi, semua kamu kerjakan di laptop dan android mu. Sambil makan siang atau malam, kamu membawa laptop dan menulis skripsi mu. Ayah dengan seksama dan cermat memperhatikan mu.
Dulu, saat konsultasi dan asistensi naskah skripsi. Ayah menghadapi dosen pembimbing yang profesor itu, begitu menakutkan. Naskah skripsi yang ayah tulis dengan susah payah, penuh dengan coretan koreksi. Bolak balik menghadap profesor, cukup melelahkan.
Bila ayah bandingkan dengan ananda, naskah skripsi cukup ananda kirim lewat wa atau email, lalu ananda menelpon dosen pembimbing dan janjian bertemu. Bahkan kalian bertemu di resto dan terlibat diskusi santai, membahas skripsi mu.
Puji syukur mari kita ucapkan, ayah bangga ternyata mempunyai anak yang mandiri dan bertanggungjawab seperti kamu. Tim dosen penguji mu, memberi nilai 'sangat memuaskan,' tapi jalan mu masih panjang. Ini baru langkah awal mu, menuju tanjung harapan. Tetaplah rendah hati. Ayah suku dengan sikap dan gaya melenial mu. Era kita memang berbeda jauh.
Kembangan, 8 September 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H