Suatu kesempatan, kami makan siang di resto. Anak saya membuka obrolan, "Ayah, sebenarnya saya malu," Saya menjawab, mengapa mesti malu? Anak saya menjawab, "Ayah begitu baik kepada saya, sepertinya saya ini anak manja, padahal semuanya bisa saya kerjakan sendiri, tanpa mesti ayah repot-repot mendampingi saya."
Ananda, sebenarnya niat ayah mendampingi mu, selama dua minggu saat perampungan penulisan skripsi mu ini. Ayah hanya mau membandingkan, saat ayah dulu menulis skripsi, ada sekitar tiga rim kertas buram untuk ayah gunakan menulis konsep dan naskah skripsi. Ayah belum punya komputer, laptop, apalagi acang bernama gadget atau android memang belum ada, ketika itu.
Selama dua minggu mendampingi mu, ayah belum pernah melihat ananda menggunakan kertas dan pulpen untuk menulis konsep dan draf skripsi, semua kamu kerjakan di laptop dan android mu. Sambil makan siang atau malam, kamu membawa laptop dan menulis skripsi mu. Ayah dengan seksama dan cermat memperhatikan mu.
Dulu, saat konsultasi dan asistensi naskah skripsi. Ayah menghadapi dosen pembimbing yang profesor itu, begitu menakutkan. Naskah skripsi yang ayah tulis dengan susah payah, penuh dengan coretan koreksi. Bolak balik menghadap profesor, cukup melelahkan.
Bila ayah bandingkan dengan ananda, naskah skripsi cukup ananda kirim lewat wa atau email, lalu ananda menelpon dosen pembimbing dan janjian bertemu. Bahkan kalian bertemu di resto dan terlibat diskusi santai, membahas skripsi mu.
Puji syukur mari kita ucapkan, ayah bangga ternyata mempunyai anak yang mandiri dan bertanggungjawab seperti kamu. Tim dosen penguji mu, memberi nilai 'sangat memuaskan,' tapi jalan mu masih panjang. Ini baru langkah awal mu, menuju tanjung harapan. Tetaplah rendah hati. Ayah suku dengan sikap dan gaya melenial mu. Era kita memang berbeda jauh.
Kembangan, 8 September 2020