Bahan dipilih yang keras, kilaunya bagus dan berserat indah. Bilah keris terdiri dari dua macam, yaitu keris luk dan keris lurus. Pada bagian bilah keris terdapat dari 3 bagian yaitu pucukan atau ujung, awak-awakan atau badan, serta sor-soran atau bagian paling bawah. Pada sor-soran terdapat gonja dan pasi, bagian sor-soran merupakan tempat ricikan keris. Komposisi ricikan yang dipakai pada bilah akan menentukan nama dhapur keris tersebut, misalnya dhapur spaner, dhapur tilam upih, dhapur surapati.
Penjelasan mengenai bilah keris diuraikan dalam Serat Centhini. Tiap bagian keris mempunyai berbagai tipe tersendiri, serta ada tipe-tipe tertentu yang hanya boleh digunakan untuk kalangan kelas atas pada masa itu. Ketentuan tersebut ditulis oleh Pakubuwono IV dalam Serat “Anger Awisan”. Di lantai ini kita juga dapat mengetahui bagaimana eksistensi keris di masyarakat serta bagaimana cara mewariskan keris.
Ilmu keris pada zaman dahulu merupakan “Kawruh Sinengker” yang artinya ilmu yang dirahasiakan. Ilmu ini baru boleh diajarkan oleh ahlinya jika seorang anak mencapai usia akil balig. Keris dan ilmunya merupakan salah satu simbol pencapaian pria Jawa pada jaman dahulu. Keris juga dianggap sebagai “adek-adeking bale somah”, pusaka yang diturunkan orang tua kepada anaknya, serta salah satu penopang tegaknya budaya Jawa.
Ritual ini dilakukan oleh orang yang punya hajat membuat keris sebagai bentuk permohonan restu kepada Tuhan Yang Maha Esa serta alam semesta agar pemesanannya terkabul sesuai yang diharapkan. Selain itu juga dimaksudkan agar empu serta para sabatnya dapat mencurahkan tenaganya dengan tenang serta menumbuhkan hati yang teguh, diberi rasa sabar dan hati-hati sehingga dapat menumbuhkan daya ciptanya guna menghasilkan kerja yang baik. Sesaji dilakukan oleh empu pada saat pertama kali menempa atau masuh.
Yang kedua adalah saat menyepuh pada akhir pembuatan keris. Beberapa sesajen di antaranya berupa sekul asahan; tumpeng janganan; tumpeng robyong; sekul golong; jajan pasar; degan ayu, kembang boreh, lengo wangi; sinjang warna-warni, mori, lawe, jungkat, pengilon serta ayam. Ada beberapa tahap pembuatan keris dari tahap menipiskan pamor, pasang pamor, membuat kodokan, membuat wilahan, nyilak waja, membuat luk, mepeh, mecah perabot, menyempurnakan pasikon, membuat gonja, mengasah bilah, membuat greneng, menerapkan gonja, nyepuh, marangi. Gambaran proses tersebut dapat kita lihat pada diorama pembuatan keris. Di museum ini juga terdapat perpustakaan kecil yang berisi buku seputar pengetahuan tentang keris.
Sarung atau warangka keris berwujud ragam kapal dengan aneka makna. Simbol kerang dan siput laut ditanam di pangkal bilah dengan cara ditempa dan digosok. Demikian juga dengan ragam hias di permukaan sarungnya. Beragam nuansa bahari tetap muncul seperti, sulur flora laut (di sini saya jadi terinspirasi warangka keris berukirkan rumput laut, hehe..keren), ikan, naga atau kapal. Bentuk kapal laut yang kembali terwujud dalam warangka tidak bisa lepas dari jasa pelaut dan pedagang Bugis.
Mereka berlayar ke seluruh penjuru Nusantara. Kapal sebagai inspirasi bentuk warangka kemudian menjadi tradisi yang tersebar luas mengikuti rute jagad pelayaran dan perniagaan selama berabad-abad. Maka untuk memahami ungkapan “Nenek moyangku seorang pelaut” Lihatlah Keris!
(Sumber: observasi Museum Keris Nusantara, Solo)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H