Minggu lalu saya berkesempatan untuk mengunjungi Museum Keris Nusantara. Museum yang baru diresmikan oleh Presiden Jokowi pada tanggal 9 Agustus 2017 ini merupakan tindak lanjut dari diakuinya Keris Indonesia oleh UNESCO, sebagai warisan budaya dunia. Museum yang berada di tengah Kota Solo ini sangat mudah dijangkau. Dari Stasiun Purwosari kita dapat menggunakan moda transportasi Bus Solo Batik Trans dan turun di Sriwedari dilanjutkan jalan kaki menuju museum, atau kita juga bisa menggunakan jasa ojek online.
Museum Keris yang berlokasi di Jalan Bhayangkara Sriwedari Solo ini mempunyai 4 lantai dengan 1 lantai basement. Di museum ini kita dapat melihat berbagai koleksi senjata tradisional khususnya keris dari berbagai wilayah di Nusantara lengkap dengan diorama proses pembuatannya serta video visual mengenai sejarah keris di Indonesia.
Di lantai 1 kita disuguhkan gambar-gambar senjata tradisional dari berbagai penjuru dunia. Konon penyebaran senjata di dunia terjadi melalui jalur damai maupun peperangan. Sebaliknya, keris tersebar melalui jalur perdagangan dan diplomasi. Berdasarkan jenis bahan, senjata tradisional dapat dipilah menjadi senjata logam dan senjata non logam. Senjata yang digunakan masyarakat di wilayah Amerika, Australia dan Oceania umumnya berbahan dasar kayu, tulang hewan serta batu.
Penggunaan senjata tradisional berupa kapak batu mendominasi wilayah Amerika saat itu, sedangkan masyarakat Australia dan Oceania cenderung menggunakan senjata yang berefek memar yaitu batu dan bumerang. Senjata berupa besi dan baja banyak digunakan di Asia, Afrika dan Eropa, mulai dari Mambele di Afrika Tengah hingga Naginata, Jepang.
Budaya senjata berpisau sangat berkembang di tiga benua ini. Ternyata senjata juga mengalami evolusi, beberapa faktor dapat mengubah bentuk, teknik penggunaan serta fungsi senjata. Perubahan pedang besar menjadi pedang rapier di Eropa disebabkan oleh masuknya mesiu yang melenyapkan pertarungan jarak dekat. Kelincahan memainkan pedang besar di era Carolingian berubah menjadi kelincahan tari pedang di era Rennaissance dan Victorian. Pengenalan kuda ke Amerika menyebabkan panah besar menghilang digantikan panah kecil yang lebih mudah digunakan saat menunggangi kuda.
Yang kedua dimaksudkan sebagai bahan pembuat pamor itu sendiri. Dalam seni budaya tosan aji, pamor menempati fungsi fisik sebagai tulang dari tosan aji sedangkan baja berfungsi sebagai penajam bilah. Selain sebagai tulang dari tosan aji, pamor juga merupakan hiasan dan memberikan simbol metafisik. Pada zaman dahulu, pamor juga menunjukkan simbol kedudukan atau prestasi tertentu.
Pada masa kepemimpinan Kanjeng Sultan Agung Hanyokrokusuma di zaman Kerajaan Mataram, para lurah prajurit atau prajurit biasa yang berprestasi mendapat hadiah berupa keris atau tombak yang dihiasi serasah emas dengan pamor Sada Sakler atau motif trisula dan Sapit Landak. Untuk prajurit perwira diberi hadiah berupa tosan aji berserasah emas, dengan motif kepala singa dan gajah. Untuk para wedana, berupa serasah lung-lungan dan untuk putera dan kerabat keraton atau patih dalem berupa serasah emas dengan motif bunga anggrek.
Motif atau pola gambaran pamor terbentuk pada permukaan bilah keris karena adanya perbedaan warna dan perbedaan nuansa dari bahan-bahan logam yang digunakan. Dengan teknik tempa tertentu, logam bahan baku keris akan menyatu dalam bentuk lapisan-lapisan tipis, tetapi bukan bersenyawa atau lebur satu dengan yang lainnya. Proses penyayatan pada permukaan bilah keris membentuk gambaran pamor (www.kerispusaka77.com).
Beliau juga mengutus empu keris Ngabei Wirasukadga menulis tentang “Pamecahing Kyai Pamor”, rekonstruksi kembali cara memecah pamor meteor Keraton Surakarta. Konon meteor ini dipecah pada tahun 1800, setelah 50 tahun ditemukan. Pengetahuan mengenai pembuatan warangka ditulis oleh Nayawirangka II dalam “Kawruh Sasarungan”.
Selain itu beliau juga mengutus Ngabei Jararaga untuk mendeskripsikan “Kawruh Jejeran” yaitu tentang pembuatan hulu keris. Berkat ketekunan beliau yang mumpuni di bidang kebudayaan, pendidikan dan ilmu pengetahuan serta mencurahkan seluruh hidupnya penuh pengabdian untuk memajukan budaya Jawa, beliau dinobatkan pada pencapaian tertinggi dengan gelar kehormatan Kanjeng Gusti Panembahan Hadiwidjojo.
Bahan dipilih yang keras, kilaunya bagus dan berserat indah. Bilah keris terdiri dari dua macam, yaitu keris luk dan keris lurus. Pada bagian bilah keris terdapat dari 3 bagian yaitu pucukan atau ujung, awak-awakan atau badan, serta sor-soran atau bagian paling bawah. Pada sor-soran terdapat gonja dan pasi, bagian sor-soran merupakan tempat ricikan keris. Komposisi ricikan yang dipakai pada bilah akan menentukan nama dhapur keris tersebut, misalnya dhapur spaner, dhapur tilam upih, dhapur surapati.
Penjelasan mengenai bilah keris diuraikan dalam Serat Centhini. Tiap bagian keris mempunyai berbagai tipe tersendiri, serta ada tipe-tipe tertentu yang hanya boleh digunakan untuk kalangan kelas atas pada masa itu. Ketentuan tersebut ditulis oleh Pakubuwono IV dalam Serat “Anger Awisan”. Di lantai ini kita juga dapat mengetahui bagaimana eksistensi keris di masyarakat serta bagaimana cara mewariskan keris.
Ilmu keris pada zaman dahulu merupakan “Kawruh Sinengker” yang artinya ilmu yang dirahasiakan. Ilmu ini baru boleh diajarkan oleh ahlinya jika seorang anak mencapai usia akil balig. Keris dan ilmunya merupakan salah satu simbol pencapaian pria Jawa pada jaman dahulu. Keris juga dianggap sebagai “adek-adeking bale somah”, pusaka yang diturunkan orang tua kepada anaknya, serta salah satu penopang tegaknya budaya Jawa.
Ritual ini dilakukan oleh orang yang punya hajat membuat keris sebagai bentuk permohonan restu kepada Tuhan Yang Maha Esa serta alam semesta agar pemesanannya terkabul sesuai yang diharapkan. Selain itu juga dimaksudkan agar empu serta para sabatnya dapat mencurahkan tenaganya dengan tenang serta menumbuhkan hati yang teguh, diberi rasa sabar dan hati-hati sehingga dapat menumbuhkan daya ciptanya guna menghasilkan kerja yang baik. Sesaji dilakukan oleh empu pada saat pertama kali menempa atau masuh.
Yang kedua adalah saat menyepuh pada akhir pembuatan keris. Beberapa sesajen di antaranya berupa sekul asahan; tumpeng janganan; tumpeng robyong; sekul golong; jajan pasar; degan ayu, kembang boreh, lengo wangi; sinjang warna-warni, mori, lawe, jungkat, pengilon serta ayam. Ada beberapa tahap pembuatan keris dari tahap menipiskan pamor, pasang pamor, membuat kodokan, membuat wilahan, nyilak waja, membuat luk, mepeh, mecah perabot, menyempurnakan pasikon, membuat gonja, mengasah bilah, membuat greneng, menerapkan gonja, nyepuh, marangi. Gambaran proses tersebut dapat kita lihat pada diorama pembuatan keris. Di museum ini juga terdapat perpustakaan kecil yang berisi buku seputar pengetahuan tentang keris.
Sarung atau warangka keris berwujud ragam kapal dengan aneka makna. Simbol kerang dan siput laut ditanam di pangkal bilah dengan cara ditempa dan digosok. Demikian juga dengan ragam hias di permukaan sarungnya. Beragam nuansa bahari tetap muncul seperti, sulur flora laut (di sini saya jadi terinspirasi warangka keris berukirkan rumput laut, hehe..keren), ikan, naga atau kapal. Bentuk kapal laut yang kembali terwujud dalam warangka tidak bisa lepas dari jasa pelaut dan pedagang Bugis.
Mereka berlayar ke seluruh penjuru Nusantara. Kapal sebagai inspirasi bentuk warangka kemudian menjadi tradisi yang tersebar luas mengikuti rute jagad pelayaran dan perniagaan selama berabad-abad. Maka untuk memahami ungkapan “Nenek moyangku seorang pelaut” Lihatlah Keris!
(Sumber: observasi Museum Keris Nusantara, Solo)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H