Mohon tunggu...
Win Wan Nur
Win Wan Nur Mohon Tunggu... wiraswasta -

Saya adalah orang Gayo yang lahir di Takengen 24 Juni 1974. Berlangganan Kompas dan menyukai rubrik OPINI.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Lalu Zohri dan Menjadi Indonesia Melalui Sastra

27 Juli 2018   15:41 Diperbarui: 27 Juli 2018   15:53 264
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa waktu yang lalu, kita dihebohkan dengan kemenangan atlet muda Indonesia yang menjuarai kejuaraan dunia junior di cabang lari 100 meter, kelas paling bergengsi di cabang olahraga atletik dalam kejuaraan dunia junior di Finlandia.

Saya membaca berita gembira sekaligus mengejutkan itu di wall Ezki Suyanto, teman FB yang juga saya kenal di dunia nyata. Di wall FB nya itu Ezki menampilkan berita tentang seorang pelari muda Indonesia memenangi lomba lari 100 meter.

Nama pelari itu Lalu Muhammad Zohri.  Nama yang baru pada hari itu saya dengar.

Belakangan kita semua tahu, pencapaian Lalu Zohri yang awalnya dipuji berkembang menjadi kontroversi yang akhirnya berujung pada saling hujat. Awalnya ada netizen yang berspekulasi kalau Lalu Zohri berangkat ke kejuaraan itu dengan biaya sendiri, sementara  pemerintah tak punya perhatian sama sekali. Baru ketika Lalu Zohri juara, pemerintah mulai sok peduli dan seperti biasa kontroversi ini berujung pada propaganda #2019GantiPresiden yang sejak berakhirnya Pilkada serentak di pulau Jawa yang menghasilkan kekalahan semua calon yang didukung partai yang paling getol meneriakkan ganti presiden, mendadak menjadi isu basi.

Setelah heboh sedemikian, kita pun jadi mengenal sosok Lalu Zohri lebih jauh, bahwa ternyata dia berasal dari NTB, sudah yatim piatu, tinggal di rumah gubuk, kemudian dibina PASI dikirim berlatih sampai ke Amerika dan seterusnya.  

Karena soal ini sudah tuntas membahas bahkan seperti biasa sekarang persoalan ini (seperti biasa) mendingin setelah berbagai hoax dan spekulasi dibantah dengan fakta-fakta yang terbantahkan. Jadi di sini saya tidak lagi membahas soal kontroversi yang mengiringi prestasi yang ditorehkan Lalu Zohri.

Seperti judul artikel ini, dalam tulisan ini saya ingin membahas nama Lalu  Muhammad Zohri dalam kaitannya dengan sastra klasik Indonesia, utamanya dengan Marah Rusli. Saat nama Lalu Muhammad Zohri muncul di wall FB Ezki, komentar pertama saya di wall itu adalah sebuah pertanyaan. "Dia orang Sumbawa?"

Kenapa saya bertanya seperti itu?

Itu karena saya merasa tidak asing dengan nama ini. Beberapa waktu sebelumnya saya baru saja membaca novel Lahami karya klasik karangan Marah Roesli, kakek dari musisi Harry Roesli. Sekarang kakek dan cucu ini keduanya sudah almarhum.

Pada tanggal 30 Januari 1986  saya sempat menonton cerita ini ketika TVRI menayangkannya dalam bentuk sinetron.

Novel Lahami ditulis oleh Marah Roesli sebagai rasa terima kasih kepada rakyat Sumbawa sekaligus mengabadikan kenangannya semasa bertugas sebagai dokter hewan di pulau yang terletak di sebelah timur pulau Lombok itu.

Novel ini berkisah tentang anak raja Bima yang dibuang oleh musuh dalam selimutnya, ditemukan di pantai oleh Ompu Keli, warga biasa yang sebenarnya adalah seorang mantan perdana menteri di kerajaan Sumbawa. Laki-laki yang aslinya adalah Raja Ajong dari Sanggar ini menyembunyikan diri di sebuah bukit terpencil di pinggir pantai untuk menghindari ancaman akibat intrik politik di kerajaan tempatnya mengabdi.

Di tempat itu Ompu Keli tinggal dalam sebuah gua di perbukitan gersang di pinggir pantai bersama istrinya. Di sana mereka berdua ditemani abdinya yang setia, Maliki dan  istrinya.

Ompu Keli dan istrinya Ina Rinda, meski sudah berumur tapi mereka belum memiliki anak. Mereka begitu gembira menemukan bayi yang dihanyutkan dalam sampan beralaskan tikar jontal yang  baik anyamannya, berkalung dokoh yang terbuat dari mas, berselimutkan sutera bertekad emas dan semuanya berciri dari Bima. Oleh suami istri ini, bayi yang mereka temukan di pantai ini diangkat menjadi anak dan mereka beri nama Lahami.

Cerita selanjutnya adalah kisah petualangan Lahami yang mulai beranjak dewasa. Diawali dengan wangsit yang didapat oleh Ompu Keli yang mengindikasikan kalau anaknya itu akan mendapatkan kemuliaan di timur.

Di novel ini diceritakan Lahami melakukan perjalanannya dengan menunggang kuda menuju Kempo melalui Sanggar, Dompo, Padende, lalu ke Gunung Soromandi. Untuk menuju Bima yang terletak di pulau yang sama Lahami tidak melalui jalan darat, melainkan menyeberang dengan menumpang perahu seorang nelayan bernama Kifa. Di Bima, Lahami menginap di rumah nelayan ini.  

Yang sangat menarik dari saya dari novel ini adalah bagaimana oleh penulis kita seolah dibawa menjelajahi Pulau Sumbawa, mengenal geografinya sekaligus mengenal adat kebiasaan orang sana emosi dan trend zaman, pola prestise, apa yang disenangi dan apa yang tidak disenangi sampai pada gaya berpolitik orang Sumbawa di zaman kuno.

Misalnya, ketika melakukan perjalanan itu Lahami diceritakan tidak membawa bekal makanan. Di melakukan perjalanan sejauh dan selama itu hanya dengan berbekal senjata berupa parang, tombak, panah dan  jerat karena di seantero pulau Sumbawa dengan kondisi geografis berupa padang rumput yang luas ini terdapat banyak sekali hewan rusa yang mudah diburu. Ini membuat saya membayangkan, padang penggembalaan Lane tempat keluarga saya memelihara kerbau yang sekarang semuanya musnah akibat kebijakan aneh seorang penguasa yang dipilih melalui proses demokratis.

Kemudian, dari cerita ini saya juga jadi tahu kalau di pulau Sumbawa, sebagaimana di Aceh pesisir, Maulid Nabi adalah sebuah peristiwa besar dan di sana pun dulu, pada setting cerita yang saya perkirakan ada di abad ke-19 ini sudah ada komunitas orang Minang. Bagaimana ternyata di Sumbawa pun ada komunitas penganut Hindu yang sebagaimana di Tengger dan Dieng, mereka tinggal di dataran tinggi dan terisolir dari mayoritas rakyat pulau ini yang menganut Islam.

Kemungkinan karena terkait agama ini pula, dari penggambaran di novel ini, kita disuguhi cerita yang menunjukkan kalau orang Sumbawa, secara emosional lebih dekat dan lebih terbiasa berinteraksi dengan orang Sulawesi Selatan daripada Bali yang cuma terpisahkan oleh pulau Lombok dari mereka.

Pulau Komodo, pada masa itu adalah pulau yang sangat ditakuti karena dihuni hewan Bengkatak yang hari ini kita kenal dengan nama Komodo, sebagaimana nama pulau itu sendiri. Lalu apa kaitan cerita ini dengan Lalu Muhammad Zohri yang kemenangannya membuat heboh dan menimbulkan perang kata-kata di dunia maya itu?

Dalam petualangan Lahami diceritakan, setelah mengalami berbagai kejadian seru yang beberapa kali hampir merenggut nyawanya. Lahami pulang ke Sanggar. 

Suatu hari saat sedang berburu, dia melihat seorang pemuda sebayanya dilarikan kuda yang tak dapat dia kendalikan dan hampir masuk ke dalam jurang. Lahami memacu kudanya dan menyelamatkan pemuda yang ternyata bernama Lalu Jolo, putra Raja Sanggar yang kemudian menjadi sahabatnya.

Setelah menyelamatkan Lalu Jolo, Lahami diberi penghargaan oleh sang Raja dan namanya diganti menjadi Lalu Hami. Dari sini saya mengetahui kalau Lalu adalah gelar kebangsawanan di sana. Karena itulah ketika pertama membaca nama Lalu Muhammad Zohri dan melihat wajahnya yang mencirikan wajah orang NTB, saya bertanya "Apa dia orang Sumbawa?" (belakangan saya tahu ternyata dia orang Lombok)

Membaca cerita ini mengingatkan saya pada pengalaman pertama kali membaca "Count of Monte Cristo" karya Alexandre Dumas yang yang membawa kita ke dalam suasana kehidupan orang Prancis di abad ke -- 19, pasca jatuhnya Napoleon.

 "Burmese Days" karya George Orwel yang membuat kita seolah dibawa masuk ke Burma pada masa kolonial. Merasakan susahnya kehidupan kalangan bawah di Eropa saat Orwell bercerita tentang hidup di London dan Paris pada zaman itu dalam "Down in London and Paris" lalu di "Clergyman Daughter" dia menceritakan tentang pendeta yang menanamkan duitnya sebagai saham perkebunan karet di Sumatra. Dari sana kita bisa paham kalau saat itu Sumatra sangat penting bagi karet dan orang sudah mulai berbisnis internasional.

Hal-hal seperti inilah yang membuat saya tidak setuju dan dengan tegas berbeda pendapat dengan orang-orang yang meremehkan karya fiksi dan lebih menyanjung sejarah maupun pelajaran eksakta sebagai bacaan yang dipandang sebagai bacaan yang lebih berguna karena berisi data akurat dan fakta murni.

Karena bagaimanapun, persepsi manusia tidak hanya dibangun dari data-data murni yang kaku. Persepsi dan pola prestise, kebanggaan dan rasa memiliki dibangun oleh kedekatan emosi.

Karya sastra seperti Lahami membuat kita mengenal dan dekat secara emosional dengan objek yang dibahas, karena kita ikut larut dalam emosi yang digambarkan dialami oleh tokoh-tokoh itu.

Diakui atau tidak, generasi kita jauh lebih mengenal Amerika dan adat kebiasaan mereka daripada bangsa kita sendiri. Katakanlah orang Flores, Sumba, Sumbawa. Karena apa? Kita tidak membaca cerita yang berkaitan dengan mereka. Sebaliknya, kita mengenal Harry Potter, karya-karya Michael Crichton dan berbagai cerita lain yang menggambarkan kehidupan di eropa dan amerika maka ketika kita mendengar kata Amerika, Paris, London, seolah tempat itu lebih dekat, kita lebih mengenal mereka daripada saudara sebangsa kita sendiri. Untuk generasi saat ini, anak saya misalnya, dia lebih mengenal budaya Korea daripada budaya bangsanya sendiri.

Diakui atau tidak, dibandingkan dengan kehidupan saudara-saudara sebangsa kita di Sumba, Sumbawa, Pulau Buton, kita lebih mengenal Amerika atau Eropa, bahkan mungkin Turki atau Arab (berdasarkan pengetahuan, bahkan doktrin yang sifatnya du luar sastra). Ini membuat anak-anak kita bahkan kita sendiri menjadi lebih mudah menjadi Arab, Amerika, Eropa, Jepang sampai Korea KW daripada menjadi bangsa Indonesia yang seutuhnya. Ini jelas berkontribusi terhadap rendahnya rasa percaya diri kita sebagai bangsa Itu karena apa? Jawabannya jelas karena kita tak mengenal dan tidak merasa dekat dengan budaya bangsa kita sendiri.

Salah satu solusi dari persoalan ini (kalau ini memang dianggap persoalan) adalah membaca karya sastra.

Sayangnya, pasca jatuhnya Soekarno, kita tak lagi banyak mengenal karya sastra yang tidak bersifat "Jawa sentris" apalagi ketika kemudian stasiun televisi bermunculan. Berbagai kisah yang dihadirkan malah berpusat di Jakarta, bahkan belakangan menjadi sangat tidak realistis dan tidak menggambarkan kehidupan di Indonesia yang sebenarnya. Bahkan karya sastra bermutu karya penulis Indonesia pun mulai susah didapat. Padahal dulu Indonesia adalah gudangnya sastrawan hebat dengan karya-karya bermutu.

Tak perlu lah menyebut Pramoedya, sebut saja misalnya, Layar Terkembang, Atheis dan Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma. Ada banyak sekali informasi tentang Indonesia di zaman klasik yang bisa kita dapatkan dari novel-novel itu, mulai dari fakta kalau dulu TBC adalah penyakit yang sangat umum di negeri ini, pada zaman itu anak muda yang sudah mengenyam pendidikan sekolah begitu cerdas dan sudah mampu berfikir analitis, di usia 15-an tahun sudah berbicara tentang kemana arah bangsa akan dibawa dan orang yang berusia 50 tahun digambarkan sudah sangat uzur, sementara sekarang 50 tahun masih dikategorikan sebagai anak muda.

Begitulah, karya sastra yang merupakan fiksi memang tak bisa dijadikan sumber referensi valid untuk sebuah fakta. Tapi sebenarnya bisa membawa kita menyelami kondisi dan sejarah bangsa kita sendiri.

Tapi di zaman Soeharto, semua mati. Pendidikan didesain untuk menghasilkan penghafal yang tak mampu berpikir analitis sehingga mudah disetir. Karya-karya sastra tak dibahas dan diresensi, melainkan hanya dihafal judul dan pengarangnya untuk dijawab pada saat ujian.

Pada zaman Soeharto bahkan sampai saat ini, kita jarang sekali mengenal karya-karya sastra yang menggambarkan suasana di Sumbawa, Maluku, Papua sampai Aceh. Padahal sebenarnya, kalau digarap dengan bagus, masyarakat sebenarnya menyukainya. Contohnya Laskar Pelangi, karya Andrea Hirata yang menggambarkan situasi dan kehidupan di pulau Belitung. Situasi inilah yang sebenarnya melatari saya untuk menulis "Romansa Gayo dan Bordeaux" yang merupakan novel pertama saya.

Tidak kenal bangsa sendiri adalah salah satu faktor yang membuat kita gamang dan tidak percaya diri sebagai bangsa. Sekarang Soeharto sudah tak ada lagi, sekarang sastra sudah tak lagi dibatasi.

Jadi marilah kita mulai membaca kembali karya-karya sastra bangsa kita sendiri, untuk memahami bagaimana perasaan kita sebagai bangsa terbentuk dan berkembang.

Saya mendorong guru-guru bahasa mencari novel-novel klasik dengan judul-judul yang saya sebutkan di atas, membuat resensi dan mendiskusikannya dengan anak-anak di ruang kelas.

Mari buat anak-anak kita mengenal sastra dan mengenal bangsanya sendiri. Kalau ini dilakukan, saya yakin rasa memiliki dan rasa menjadi Indonesia akan tumbuh dan dengan tumbuhnya rasa itu, kita bisa berharap Indonesia tidak akan bubar di 2030.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun