Mohon tunggu...
Win Wan Nur
Win Wan Nur Mohon Tunggu... wiraswasta -

Saya adalah orang Gayo yang lahir di Takengen 24 Juni 1974. Berlangganan Kompas dan menyukai rubrik OPINI.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Lalu Zohri dan Menjadi Indonesia Melalui Sastra

27 Juli 2018   15:41 Diperbarui: 27 Juli 2018   15:53 264
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suatu hari saat sedang berburu, dia melihat seorang pemuda sebayanya dilarikan kuda yang tak dapat dia kendalikan dan hampir masuk ke dalam jurang. Lahami memacu kudanya dan menyelamatkan pemuda yang ternyata bernama Lalu Jolo, putra Raja Sanggar yang kemudian menjadi sahabatnya.

Setelah menyelamatkan Lalu Jolo, Lahami diberi penghargaan oleh sang Raja dan namanya diganti menjadi Lalu Hami. Dari sini saya mengetahui kalau Lalu adalah gelar kebangsawanan di sana. Karena itulah ketika pertama membaca nama Lalu Muhammad Zohri dan melihat wajahnya yang mencirikan wajah orang NTB, saya bertanya "Apa dia orang Sumbawa?" (belakangan saya tahu ternyata dia orang Lombok)

Membaca cerita ini mengingatkan saya pada pengalaman pertama kali membaca "Count of Monte Cristo" karya Alexandre Dumas yang yang membawa kita ke dalam suasana kehidupan orang Prancis di abad ke -- 19, pasca jatuhnya Napoleon.

 "Burmese Days" karya George Orwel yang membuat kita seolah dibawa masuk ke Burma pada masa kolonial. Merasakan susahnya kehidupan kalangan bawah di Eropa saat Orwell bercerita tentang hidup di London dan Paris pada zaman itu dalam "Down in London and Paris" lalu di "Clergyman Daughter" dia menceritakan tentang pendeta yang menanamkan duitnya sebagai saham perkebunan karet di Sumatra. Dari sana kita bisa paham kalau saat itu Sumatra sangat penting bagi karet dan orang sudah mulai berbisnis internasional.

Hal-hal seperti inilah yang membuat saya tidak setuju dan dengan tegas berbeda pendapat dengan orang-orang yang meremehkan karya fiksi dan lebih menyanjung sejarah maupun pelajaran eksakta sebagai bacaan yang dipandang sebagai bacaan yang lebih berguna karena berisi data akurat dan fakta murni.

Karena bagaimanapun, persepsi manusia tidak hanya dibangun dari data-data murni yang kaku. Persepsi dan pola prestise, kebanggaan dan rasa memiliki dibangun oleh kedekatan emosi.

Karya sastra seperti Lahami membuat kita mengenal dan dekat secara emosional dengan objek yang dibahas, karena kita ikut larut dalam emosi yang digambarkan dialami oleh tokoh-tokoh itu.

Diakui atau tidak, generasi kita jauh lebih mengenal Amerika dan adat kebiasaan mereka daripada bangsa kita sendiri. Katakanlah orang Flores, Sumba, Sumbawa. Karena apa? Kita tidak membaca cerita yang berkaitan dengan mereka. Sebaliknya, kita mengenal Harry Potter, karya-karya Michael Crichton dan berbagai cerita lain yang menggambarkan kehidupan di eropa dan amerika maka ketika kita mendengar kata Amerika, Paris, London, seolah tempat itu lebih dekat, kita lebih mengenal mereka daripada saudara sebangsa kita sendiri. Untuk generasi saat ini, anak saya misalnya, dia lebih mengenal budaya Korea daripada budaya bangsanya sendiri.

Diakui atau tidak, dibandingkan dengan kehidupan saudara-saudara sebangsa kita di Sumba, Sumbawa, Pulau Buton, kita lebih mengenal Amerika atau Eropa, bahkan mungkin Turki atau Arab (berdasarkan pengetahuan, bahkan doktrin yang sifatnya du luar sastra). Ini membuat anak-anak kita bahkan kita sendiri menjadi lebih mudah menjadi Arab, Amerika, Eropa, Jepang sampai Korea KW daripada menjadi bangsa Indonesia yang seutuhnya. Ini jelas berkontribusi terhadap rendahnya rasa percaya diri kita sebagai bangsa Itu karena apa? Jawabannya jelas karena kita tak mengenal dan tidak merasa dekat dengan budaya bangsa kita sendiri.

Salah satu solusi dari persoalan ini (kalau ini memang dianggap persoalan) adalah membaca karya sastra.

Sayangnya, pasca jatuhnya Soekarno, kita tak lagi banyak mengenal karya sastra yang tidak bersifat "Jawa sentris" apalagi ketika kemudian stasiun televisi bermunculan. Berbagai kisah yang dihadirkan malah berpusat di Jakarta, bahkan belakangan menjadi sangat tidak realistis dan tidak menggambarkan kehidupan di Indonesia yang sebenarnya. Bahkan karya sastra bermutu karya penulis Indonesia pun mulai susah didapat. Padahal dulu Indonesia adalah gudangnya sastrawan hebat dengan karya-karya bermutu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun