Tak perlu lah menyebut Pramoedya, sebut saja misalnya, Layar Terkembang, Atheis dan Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma. Ada banyak sekali informasi tentang Indonesia di zaman klasik yang bisa kita dapatkan dari novel-novel itu, mulai dari fakta kalau dulu TBC adalah penyakit yang sangat umum di negeri ini, pada zaman itu anak muda yang sudah mengenyam pendidikan sekolah begitu cerdas dan sudah mampu berfikir analitis, di usia 15-an tahun sudah berbicara tentang kemana arah bangsa akan dibawa dan orang yang berusia 50 tahun digambarkan sudah sangat uzur, sementara sekarang 50 tahun masih dikategorikan sebagai anak muda.
Begitulah, karya sastra yang merupakan fiksi memang tak bisa dijadikan sumber referensi valid untuk sebuah fakta. Tapi sebenarnya bisa membawa kita menyelami kondisi dan sejarah bangsa kita sendiri.
Tapi di zaman Soeharto, semua mati. Pendidikan didesain untuk menghasilkan penghafal yang tak mampu berpikir analitis sehingga mudah disetir. Karya-karya sastra tak dibahas dan diresensi, melainkan hanya dihafal judul dan pengarangnya untuk dijawab pada saat ujian.
Pada zaman Soeharto bahkan sampai saat ini, kita jarang sekali mengenal karya-karya sastra yang menggambarkan suasana di Sumbawa, Maluku, Papua sampai Aceh. Padahal sebenarnya, kalau digarap dengan bagus, masyarakat sebenarnya menyukainya. Contohnya Laskar Pelangi, karya Andrea Hirata yang menggambarkan situasi dan kehidupan di pulau Belitung. Situasi inilah yang sebenarnya melatari saya untuk menulis "Romansa Gayo dan Bordeaux" yang merupakan novel pertama saya.
Tidak kenal bangsa sendiri adalah salah satu faktor yang membuat kita gamang dan tidak percaya diri sebagai bangsa. Sekarang Soeharto sudah tak ada lagi, sekarang sastra sudah tak lagi dibatasi.
Jadi marilah kita mulai membaca kembali karya-karya sastra bangsa kita sendiri, untuk memahami bagaimana perasaan kita sebagai bangsa terbentuk dan berkembang.
Saya mendorong guru-guru bahasa mencari novel-novel klasik dengan judul-judul yang saya sebutkan di atas, membuat resensi dan mendiskusikannya dengan anak-anak di ruang kelas.
Mari buat anak-anak kita mengenal sastra dan mengenal bangsanya sendiri. Kalau ini dilakukan, saya yakin rasa memiliki dan rasa menjadi Indonesia akan tumbuh dan dengan tumbuhnya rasa itu, kita bisa berharap Indonesia tidak akan bubar di 2030.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H