Saya, Istri dan Si Bungsu dalam Antrian (Dok. Pribadi)
Setelah lama ditunggu-tunggu, film AADC? 2 akhirnya tayang pada tanggal 28 April kemarin. Tidak paham kenapa Miles selaku produser memilih tayang perdana pada tanggal tersebut, pada hari kamis lagi. Ketika para penonton yang merupakan segmen pasar film ini masih bekerja.
Saya bersama istri beruntung berhasil mendapatkan karcis tepat tanggal 28 April pada penayangan perdana film ini di Bali pada pukul 11.45 Wita. Seperti sudah diduga, animo penonton untuk menyaksikan tayangan film legendaris ini luar biasa. Di bioskop antrian mengular. Antrian penonton AADC? 2 jauh lebih panjang daripada penonton yang mengantri untuk menonton “Captain America : Civil War”. Ini terjadi bisa saja karena bioskop hanya menyediakan 1 layar untuk “AADC? 2” sementara untuk “Captain America : Civil War” disediakan tiga layar. Ketika saya akhirnya berhasil mencapai loket, bagian belakang sudah penuh mendapatkan bangku yang lumayan jauh di depan dan itupun dapat di pojokan. Bukan di tengah yang menjadi tempat favorit saya.
Ketika saya masuk ke bioskop, penonton di bangku belakang sudah penuh. Semua penonton yang saya lihat berumur di kisaran 30-an sampai 40-an yang memang memiliki ikatan emosional dengan film “AADC?” yang pertama.
Saat film mulai diputar, suasana kedekatan emosional antara penonton dengan film ini begitu terasa. Para penonton merasa telah begitu mengenal semua pemain utama film ini dan begitu terlibat dengan cerita dan seolah terlibat di dalam suasana. Pada adegan ketika Cinta yang diperankan oleh Dian Sastro yang sok Iya, ketika dibaik-baikin oleh Rangga pura-pura nggak butuh padahal demen. Dari bangku penonton terdengar suara “cie...cie”.
Tampaknya kedekatan emosional dengan penonton ini benar-benar digarap serius oleh pembuat cerita dan juga Riri Riza selaku Sutradara.
Berbeda dengan AADC? 2 versi iklan Line yang menggambarkan para tokoh di film ini begitu extravaganza. Cinta dan geng-annya digambarkan layaknya kaum sosialita papan atas, gaya hidup dan dandanan mereka ditampilkan begitu sempurna dan tidak terjangkau oleh kebanyakan orang. Dan Rangga juga digambarkan begitu sukses di New York, tampil dengan gaya khas laki-laki kelas atas juga. Ada jarak sosial antara mayoritas penonton dengan mereka yang digambarkan di film.
Cerita AADC? 2 dibuat benar-benar sesuai dengan situasi kekinian para penonton yang merupakan segmen pasar film ini. Mereka yang menamatkan SMA atau kuliah pada masa tayang AADC? dulu. Sekarang sudah menjadi kelas menengah baru, tidak sangat kaya tapi sudah memiliki cukup uang untuk menikmati hidup. Dan seperti itu pulalah para tokoh dalam cerita ini digambarkan. Sudah mulai mapan tapi tidak sangat kaya seperti orang kaya dalam cerita sinetron Indonesia.
Tidak seperti yang digambarkan dalam versi Iklan Line yang cantik sempurna, tokoh Cinta di versi film, meski tetap cantik (ya iyalah...Dian Sastro) tapi tidak digambarkan cantik berlebihan. Di film Cinta dan geng-annya digambarkan selayaknya mbak-mbak kantoran biasa dengan dandanan khas mbak-mbak kantoran. Pakaian yang mereka pakai, mulai dari baju, rok, celana yang mereka kenakan sampai tas yang mereka tenteng, khas mbak-mbak kantoran dengan penghasilan lumayan tapi tidak sangat kaya. Kita tidak akan melihat Cinta dan geng-annya mengenakan pakaian wah sambil menenteng tas Hermes seperti para istri anggota DPR yang berlibur di Jepang.
Mobil milik Mamet—yang di film ini diceritakan sudah menikah dengan Mili— yang mengantarkan Cinta dan Geng-annya ke Bandara adalah mobil Avanza, sebagaimana khasnya mobil yang mampu dibeli oleh para pekerja angkatan ini.
Berlibur ke luar kota, travelling, dan menikmati Kopi di cafe-cafe yang menyediakan kopi eksotis yang sedang menjadi trend gaya hidup generasi ini juga dengan cerdas diangkat di film AADC? 2 ini. Sehingga penonton benar-benar merasa seperti ikut berada di dalam film, karena apa yang ditampilkan memang keseharian dari generasi ini.
Cara pandang terhadap orang Indonesia yang bekerja dan tinggal di luar negeri juga digambarkan di film ini sesuai situasi kekinian.
Di film ini, kita tidak lagi melihat ‘inferioritas kulit coklat’ dalam memandang orang Indonesia yang bekerja dan tinggal di luar negeri sebagaimana ditampilkan di film-film Indonesia jaman dulu semacam “Catatan Si Boy “- yang menggambarkan orang Indonesia yang tinggal di luar negeri demikian tinggi nyaris seperti dewa. Di film ini pemandangan seperti itu tidak kita saksikan lagi.
Di film ini, Rangga yang tinggal dan bekerja di New York digambarkan biasa saja, tidak sangat istimewa. Sebagaimana di zaman ini kita mengenal orang-orang yang bekerja dan tinggal di luar negeri ya biasa saja. Malah secara ekonomi, Rangga digambarkan jauh lebih inferior dibandingkan dengan Trian, pengusaha muda yang menjadi tunangan Cinta.
Tapi menurut saya, yang paling ‘bajingan’ dari film ini adalah momen keluarnya film ini yang berbarengan dengan momen merebaknya grup-grup alumni SMA di Line dan Whatsapp. Di mana generasi penonton film ini sedang dalam semangat nostalgia masa SMA, sedang merajut kembali kenangan lama bersama teman-teman lama. Film ini dengan sangat ‘bajingan’ menuntun emosi penonton untuk larut dalam suasana itu. Mengungkit kembali kenangan lama untuk diulang di masa kini.
Konflik yang diangkat di film ini juga khas orang-orang di usia pertengahan 30-an sampai pertengahan 40-an.
Ada kebosanan dengan rutinitas kerja dan juga rasa jenuh pada pasangan, sehingga timbul kerinduan pada masa lalu yang penuh keceriaan dengan kejutan-kejutan tak terduga.
Di film ini, Cinta yang di awal film digambarkan baru menerima lamaran dari Trian, seorang pengusaha muda yang sukses, digambarkan merasa hambar dan bosan dengan hubungan mereka. Ada kesan kalau pertunangan mereka diterima oleh Cinta dengan perasaan terpaksa karena usia yang sudah semakin menua. Meski tidak diucapkan dengan kata-kata, kita yang menonton dapat merasakan bagaimana Cinta yang merasa hampa ketika sedang menonton pertunjukan seni yang dia suka, Trian hadir di situ hanya karena terpaksa, sama sekali tidak memperhatikan pertunjukan. Sepanjang pertunjukan dia sibuk melihat ke arah gadget, sementara Cinta dengan konsentrasi penuh menyaksikan pertunjukan dan larut dalam cerita. Di sepanjang film suasana ini digarap dengan baik oleh Riri Riza sebagai sutradara dan ditampilkan dengan sempurna oleh Dian Sastro sebagai aktris.
Dalam suasana hubungan yang dingin setengah terpaksa dengan Trian seperti inilah, tiba-tiba Rangga yang lama hilang muncul kembali. Mengembalikan Cinta pada kegairahan masa lalu yang penuh dengan letupan-letupan.
Rangga yang masih seperti dulu, dengan gaya sinis dan cueknya. Penuh dengan kejutan-kejutan tak terduga benar-benar anti tesis Trian. Ketika Trian terlihat bosan menyaksikan pertunjukan seni di luar mainstream. Rangga malah mengajak Cinta menonton teater boneka di Jogja dan sama-sama larut dalam pertunjukan. Rangga mengajak Cinta bertualang ke tempat-tempat yang tidak biasa.
Meskipun di film ini Cinta digambarkan berusaha untuk mengingkari perasaannya ke Rangga dan berusaha untuk terlihat bersikap biasa saja kepada Rangga karena dia sudah bertunangan dengan Trian. Tapi kita bisa melihat kalau Cinta begitu menikmati kebersamaannya dengan Rangga. Dan sepulangnya dari Jogja, meski tidak diucapkan, kita semua bisa merasakan kalau hubungan Cinta dengan Trian sudah tidak mungkin lagi dilanjutkan.
Situasi seperti yang dialami oleh Cinta ini adalah situasi umum yang dialami generasi ini yang setelah sekian lama menjalin hubungan atau berumah tangga mulai merasakan kebosanan. Dan kemudian di grup-grup alumni bertemu kembali dengan seseorang yang istimewa dari masa lalu.
Bagi penonton yang seperti ini, menonton film AADC? 2 ini akan merasa merasa “gila ini gue banget”. Seperti Cinta kembali merasakan letupan-letupan tak terduga yang menggairahkan. Bukan tidak mungkin penonton yang seperti ini akan merasakan hal yang sama. Dalam situasi seperti ini hubungan yang sudah dijalin bertahun-tahun bisa bahaya.
Saya sendiri jujur saja (Sebelum menonton AADC? 2) sempat mengalaminya, ketika di sebuah grup alumni, seorang teman mengirimkan foto SMA seorang cewek yang pernah saya taksir 24 tahun yang lalu. Melihat foto itu saya merasakan kembali letupan-letupan seperti ketika pertama mengenalnya dulu.
Untungnya saya menerapkan sistem “Open Management” alias manajemen terbuka dalam berumah tangga. Jadi saya santai saja menunjukkan foto itu kepada istri saya dan mengatakan “Gila ya, lihat foto ini kok aku jadi bergetar lagi seperti waktu pertama ketemu dulu”, mendengar itu istri saya dengan santai mengatakan “Ya wajarlah...dianya cantik”.
Tapi saya yakin sekali, tidak banyak suami yang punya keberuntungan seperti saya. Bagi para suami yang lain, letupan-letupan yang muncul ini mungkin harus disembunyikan dan kalau ketahuan oleh pasangan bukan tidak mungkin menimbulkan perang besar.
Jadi bagi para calon penonton AADC? 2 yang setelah menonton film ini kemungkinan merasakan hubungan dengan pasangan tiba-tiba terasa membosankan dan ada godaan untuk kembali ke sensasi masa lalu dengan seseorang yang spesial yang juga dari masa lalu. Saya hanya bisa bilang, berhati-hatilah.
Nggak lucu juga kan, kalau sekarang ketika rambut mulai putih bahkan botak, perut yang sudah mulai membuncit, kita masih duduk menyepi sendirian sambil mendengarkan bait-bait lagu “Nothing Compares 2U” nya Sinead O’Connors.
I could put my arms around every boy I see
But they'd only remind me of you
I went to the doctor and guess what he told me
Guess what he told me
He said, "Girl, you better try to have fun no matter what you do."
But he's a fool
`Cause nothing compares
Nothing compares 2 u
Ingat hubungan yang sudah dijalin bertahun-tahun dengan pasangangan, dengan melewati berbagai suka dan duka dan satu lagi ingatlah mata...ya mata-mata bening anak-anak kita. Masa lalu, seindah apapun itu adalah masa lalu. Kita hidup di masa kini dengan segala permasalahan dan dinamikanya. Bukan di masa lalu.
Selamat menonton!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H