[caption caption="Lukman Age, Foto dan Desain oleh Halim El Bambi"][/caption]Lima tahun yang lalu ketika saya menulis artikel dengan judul “Alhamdulillah Aceh Tidak Merdeka” ada banyak orang di Aceh yang mencaci maki saya. Teman-teman yang pada tahun 1998 sampai awal 2000-an sama-sama berjuang turun ke jalan banyak yang menyayangkan sikap saya yang menurut mereka terlalu keras.
Tapi saya sendiri punya alasan kuat mengatakan itu. Sebab sejak Mou Helsinki ditanda tangani kemudian Aceh mendapat kebebasan yang lebih besar dibanding provinsi lain untuk mengurus diri sendiri. Saya melihat ada Chauvinisme yang dipertontonkan terang-terangan, ada diksriminasi dan rasisme yang ditampilkan dengan telanjang. Sayangnya, semua hal ini dianggap sebagai masalah kecil oleh teman-teman para aktivis, intelektual dan akademisi yang dulu bersama-sama berjuang melawan arogansi dan penindasan yang dilakukan Jakarta.
Bisa jadi saya lebih sensitif dalam merasakan adanya bahaya ‘Chauvinisme’ dan represi ini karena yang terang-terangan menjadi target dari represi ini adalah suku-suku minoritas yang di dalamnya termasuk saya sendiri.
Selama lima tahun ini, saya berteriak nyaris sendirian. Berbagai sindiran bahkan ucapan terang-terangan agar para aktivis, intelektual dan akademisi melawan sejauh ini seperti menghantam tembok tebal. Teman-teman para aktivis, intelektual dan akademisi tetap memilih bersikap lunak karena berbagai alasan. Ada yang karena diintimidasi dan sebagian lagi karena khawatir kalau perlawanan frontal akan memicu konflik kembali.
Tapi dua hari yang lalu para aktivis, intelektual dan akademisi Aceh yang selama ini seolah tidur panjang dan tidak menyadari segala ketidak beresan yang dipertontonkan oleh pemerintah Aceh belakangan ini, terbangun.
Pemicunya adalah sepakatnya DPRA dan eksekutif untuk mengubah syarat pengajuan bakal calon kepala daerah untuk jalur perseorangan/independen.
Sebagaimana diberitakan oleh Serambi Indonesia pada hari Rabu, 13 April 2016, dalam setiap lembar KTP dukungan terhadap calon perseorangan harus disertakan surat pernyataan yang wajib dilengkapi materai dan tanda tangan pendukung dan dukungan itu harus diumumkan di kantor geuchik (kepala desa).
Aturan baru yang diyakini banyak kalangan dibuat untuk menjegal calon-calon gubernur yang berpotensi merusak kans calon Gubernur dari Partai Aceh yang berkuasa untuk menduduki jabatan tertinggi di provinsi ujung paling barat Indonesia ini. Padahal, masih begitu banyak janji-janji politik yang diumbar para Pilgub sebelumnya yang belum terealisasi.
Ini semua mampu mereka lakukan, meski mereka tidak menguasai Polisi dan angkatan bersenjata. Bayangkan, apa jadinya kalau polisi dan angkatan bersenjata pun ada di bawah kendali mereka?. Inilah sebabnya lima tahun yang lalu saya katakan “Alhamdulillah Aceh Tidak Merdeka”.
Dan tampaknya apa yang saya rasakan sejak lima tahun yang lalu, kini juga sudah mulai dirasakan oleh para Aktivis, Akademisi dan Intelektual Aceh. Sehingga seperti kisah dalam film ke -6 Star Wars yang berjudul “Return of The Jedi” yang bercerita tentang kemunculan kembali para pahlawan penegak kebenaran ketika kesewenang-wenangan sudah merajalela di Galaksi. Di Aceh, pasca bergulirnya wacana memperberat syarat untuk calon gubernur perseorangan ini. Reaksi keras dan perlawanan yang tidak biasa kita lihat selama lima tahun belakangan ini pun mulai bermunculan.
Munawar Liza Zainal, anggota GAM dan pernah menjadi bagian dari AMM GAM, sejak 2005 dan sempat menjabat sebagai Walikota Sabang, menyampaikan komentar tajam di akun Facebooknya dengan mengatakan “Tambah lagi syaratnya, biar seru, setiap pemberi ktp harus: dikenal keturunan dan nasab yang baik dan mulia yang nasabnya orang Aceh sampai empat keturunan ke atas; “, menyindir syarat yang dibuat untuk memilih Wali Nanggroe.
Ketika ketua Fraksi Partai Aceh di DPRA menyikapi banjir kecaman ini dengan mengatakan “Mereka bukan berjuang untuk demokrasi. Tapi sedang berjuang utk para agen KTP dan kandidat-kandidat mereka yang memanipulasi dukungan rakyat. Seakan-akan telihat seperti didukung rakyat padahal mereka memobilisasi dukungan2 palsu.”
Munawar Liza Zainal membalas dengan sindiran “Orang-orang yang masih waras dan menentang kegilaan mereka, dituduh sebagai agen pengumpul KTP. Hahah, donya.. Donya...”
Akademisi Muazzinah Yacob mengatakan “Banleg sedang berstand up comedy syarat yang diberat-beratkan untuk calon independen untuk mematikan dan mempersempit demokrasi Aceh”
Kecaman juga datang dari mantan ketua Komnas HAM Otto Syamsuddin Ishak, pengamat politik Aryos Nivada, Mawardi Mento, Hamdani dan lain-lain.
Yang menarik, PENA 98, Aceh yang merupakan wadah bergabungnya para aktivis 98 Aceh di mana Kautsar sendiri adalah ketua presidiumnya, juga ikut menyatakan penentangan sebagaimana disampaikan oleh Presidium Nasional Perhimpunan Nasional Aktivis 98 (PENA 98), Arie Maulana Kepada AJJN Ari mengatakan, " gagasan terhadap penggunaan materai pada surat dukungan terhadap calon perseorangan, dan pengumuman dukungan di kantor geuchik ini. Selain bertentangan terhadap prinsip luber, juga akan membuka ruang terjadinya praktek intimidasi atas pilihan politik seseorang”
Tapi kecaman paling keras datang dari Lukman Age, aktivis senior yang pada tahun 1995 ketika Orde Baru dan Soeharto sedang lucu-lucunya, bersama saya pernah ditahan di Kodim Aceh Besar. Waktu itu kami di tahan dan menjalani wajib lapor karena mendampingi warga Kuta Baro Aceh Besar yang tanah penggembalaannya dicaplok oleh perusahaan HTI Indonusa Indrapuri milik Ibrahim Risjad dan keluarga Cendana, menyampaikan aspirasi ke DPRD Aceh.
“Sehelai materai sama harganya dengan satu liter bensin. Bagi yang pasrah akan membeli materai untuk mendukung calon independen yang diidolakannya. Namun bagi yang sadar akan memilih membeli bensin untuk membakar kezaliman ini. Kezaliman yang pernah dipertontonkan oleh rezim Orde Baru, kezaliman yang pernah kita hanguskan, yang kini dihidupkan kembali oleh orang-orang yang menyebutkan dirinya sebagai pejuang. Kezaliman oleh penguasa yang hidup hanya untuk mempertahankan kuasanya. Kita pernah melawan rezim seperti itu, apa susahnya untuk melawannya sekali lagi.”, kata Lukman.
Mengamati fenomena ini, saya melihat ada api di sini. Semangat melawan kesewenang-wenangan yang dulu begitu menggelora di tahun 1998 dan lama mati suri, kini sudah memercik lagi.
Semoga perlawanan ini tidak hangat-hangat tai ayam dan mati secara prematur.
Semoga semangat perlawanan ini terus membesar dan mengembalikan Aceh kepada kesadaran awal bahwa kebebasan yang diperjuangkan bertujuan untuk memberikan kesetaraan kepada seluruh rakyat provinsi ini.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI