Ketika ketua Fraksi Partai Aceh di DPRA menyikapi banjir kecaman ini dengan mengatakan “Mereka bukan berjuang untuk demokrasi. Tapi sedang berjuang utk para agen KTP dan kandidat-kandidat mereka yang memanipulasi dukungan rakyat. Seakan-akan telihat seperti didukung rakyat padahal mereka memobilisasi dukungan2 palsu.”
Munawar Liza Zainal membalas dengan sindiran “Orang-orang yang masih waras dan menentang kegilaan mereka, dituduh sebagai agen pengumpul KTP. Hahah, donya.. Donya...”
Akademisi Muazzinah Yacob mengatakan “Banleg sedang berstand up comedy syarat yang diberat-beratkan untuk calon independen untuk mematikan dan mempersempit demokrasi Aceh”
Kecaman juga datang dari mantan ketua Komnas HAM Otto Syamsuddin Ishak, pengamat politik Aryos Nivada, Mawardi Mento, Hamdani dan lain-lain.
Yang menarik, PENA 98, Aceh yang merupakan wadah bergabungnya para aktivis 98 Aceh di mana Kautsar sendiri adalah ketua presidiumnya, juga ikut menyatakan penentangan sebagaimana disampaikan oleh Presidium Nasional Perhimpunan Nasional Aktivis 98 (PENA 98), Arie Maulana Kepada AJJN Ari mengatakan, " gagasan terhadap penggunaan materai pada surat dukungan terhadap calon perseorangan, dan pengumuman dukungan di kantor geuchik ini. Selain bertentangan terhadap prinsip luber, juga akan membuka ruang terjadinya praktek intimidasi atas pilihan politik seseorang”
Tapi kecaman paling keras datang dari Lukman Age, aktivis senior yang pada tahun 1995 ketika Orde Baru dan Soeharto sedang lucu-lucunya, bersama saya pernah ditahan di Kodim Aceh Besar. Waktu itu kami di tahan dan menjalani wajib lapor karena mendampingi warga Kuta Baro Aceh Besar yang tanah penggembalaannya dicaplok oleh perusahaan HTI Indonusa Indrapuri milik Ibrahim Risjad dan keluarga Cendana, menyampaikan aspirasi ke DPRD Aceh.
“Sehelai materai sama harganya dengan satu liter bensin. Bagi yang pasrah akan membeli materai untuk mendukung calon independen yang diidolakannya. Namun bagi yang sadar akan memilih membeli bensin untuk membakar kezaliman ini. Kezaliman yang pernah dipertontonkan oleh rezim Orde Baru, kezaliman yang pernah kita hanguskan, yang kini dihidupkan kembali oleh orang-orang yang menyebutkan dirinya sebagai pejuang. Kezaliman oleh penguasa yang hidup hanya untuk mempertahankan kuasanya. Kita pernah melawan rezim seperti itu, apa susahnya untuk melawannya sekali lagi.”, kata Lukman.
Mengamati fenomena ini, saya melihat ada api di sini. Semangat melawan kesewenang-wenangan yang dulu begitu menggelora di tahun 1998 dan lama mati suri, kini sudah memercik lagi.
Semoga perlawanan ini tidak hangat-hangat tai ayam dan mati secara prematur.
Semoga semangat perlawanan ini terus membesar dan mengembalikan Aceh kepada kesadaran awal bahwa kebebasan yang diperjuangkan bertujuan untuk memberikan kesetaraan kepada seluruh rakyat provinsi ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H