Mohon tunggu...
Win Wan Nur
Win Wan Nur Mohon Tunggu... wiraswasta -

Saya adalah orang Gayo yang lahir di Takengen 24 Juni 1974. Berlangganan Kompas dan menyukai rubrik OPINI.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Nostalgia SMA di Banda Aceh (Bag I)

5 April 2016   18:21 Diperbarui: 6 April 2016   15:48 216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

 

Disangka Cina

Dua hari yang lalu, tanpa saya sadari seorang teman memasukkan saya ke Group WA SMA 2 Banda Aceh angkatan 92. Tidak perlu waktu terlalu lama untuk membuat Grup  itu menjadi ramai. Teman-teman semasa SMA dulu yang sekarang sudah bertaburan di segala penjuru planet ini segera bermunculan.

Teknologi informasi memang dahsyat. Apa yang dulu bahkan tidak terbayangkan sekarang menjadi nyata. Jarak yang dulu begitu menjadi penghalang, sekarang menjadi sama sekali tidak berarti. Suasana masa SMA dulu dengan cepat terbangkitkan kembali. Kami yang semuanya sudah berumur di atas kepala empat, yang selama ini mungkin menjaga wibawa karena kedudukan di masyarakat di grup ini tiba-tiba kembali menjadi seperti anak ABG tanggung usia belasan yang sedang bandel-bandel dan noraknya.

Dengan adanya teknologi informasi ini. Sepertinya para seniman, pengarang puisi dan lagu sudah harus berpikir untuk mendefinisi ulang arti kerinduan.

Meski sekolah di Banda Aceh, saya sendiri sebetulnya berasal dari Takengen, kota di dataran tinggi Gayo yang terpisah jarak 300 kilometer dari Banda Aceh.

Saya sekolah di Banda Aceh, jauh dari orang tua karena di kota kelahiran saya ini, saya merasa  ruang gerak saya terlalu sempit.

Saya memutuskan melanjutkan sekolah di Banda Aceh menjelang ujian Ebtanas SMP pada tahun 1989. Waktu itu saya katakan pada orang tua kalau saya tidak mau melanjutkan sekolah di Takengen. Saya mau melanjutkan sekolah di Banda Aceh. Orang tua saya awalnya tidak setuju, mereka lebih sreg kalau saya ke Medan karena di sana ada banyak saudara. Tapi karena saya ngotot, mereka mengalah.

Di Banda Aceh, sebenarnya saya ingin masuk SMA 3, SMA legendaris sekaligus yang terbaik di Aceh, yang lulusannya seperti pindah kelas saja ke Unsyiah.  Unsyiah jadi point penting di sini, karena waktu itu jarang sekali siswa sekolah dari Takengen yang bisa menembus Unsyiah, satu-satunya universitas negeri di provinsi ujung paling barat Indonesia ini. Di Banda Aceh dan juga Medan, mahasiswa asal Gayo rata-rata melanjutkan pendidikan di Universitas swasta yang mutunya lebih rendah.

Tapi karena NEM SMP saya cuma 44, seorang kerabat yang tinggal di Banda Aceh menyarankan saya supaya mendaftar ke SMA 2 saja. Sebab pada tahun sebelumnya, NEM terendah yang diterima di SMA 3 adalah 46. Jadi berdasarkan pengamatan atas penerimaan siswa tahun-tahun sebelumnya, dimana setiap tahun SMA 3 menaikkan syarat nilai NEM terendah,  kalau saya mendaftar ke SMA 3, sudah dipastikan saya tidak akan lulus. Saya pikir, ya sudahlah. Pokoknya di Banda Aceh aja dulu, nanti toh bisa pindah.

Tapi yang tidak diketahui oleh saudara saya yang ada di Banda Aceh itu, ternyata pada tahun itu karena adanya ujicoba penerapan soal Essay. Nilai NEM pelajar di seluruh Indonesia mengalami penurunan. Sehingga SMA 3 alih-alih menaikkan persyaratan Nilai NEM minimal, malah menurunkannya. Tahun itu SMA 3 hanya mensyaratkan NEM terendah cuma 42. Sedangkan SMA 2, cuma 36. Nasi sudah menjadi bubur, apa boleh buat saya sudah terlanjur diterima di SMA 2.

Di SMA 2 saya masuk kelas I.1, dan setelah dijalani, ternyata bersekolah di SMA 2 tidak buruk-buruk amat. Saya pun akhirnya betah dan tidak lagi punya pikiran untuk pindah. Meski  sebenarnya di hari pertama diterima di sekolah ini dan bertemu dengan teman-teman baru. Karena berasal dari Takengen, tak ada satupun teman baru yang saya kenal. Saya benar-benar merasa asing.

Kemudian pada hari-hari pertama bersekolah saya juga sebenarnya sempat dibully. Penyebabnya, karena tidak seperti teman-teman baru saya yang memiliki nama khas Aceh yang berbau Islam seperti  Zainuddin, Alfian, Muhammad. Nama saya “Win Wan Nur”.

Di Takengen, saya sama sekali tidak bermasalah menyandang nama yang cuma satu-satunya di kolong langit ini, sebab guru dan teman-teman yang mayoritas Gayo, orang yang mendengar nama saya langsung tahu artinya. Bahkan teman-teman yang bukan Gayo pun rata-rata paham bahasa Gayo, juga langsung tahu artinya. Minimal kalaupun tidak tahu, mereka bisa bertanya.

Tapi di Banda Aceh, teman-teman baru saya  mayoritas bersuku Aceh yang bahasanya sangat berbeda dengan bahasa Gayo, sama sekali tidak paham. Mereka menyangka, nama saya itu adalah nama Cina. Dugaan ini diperkuat dengan penampilan fisik saya yang sama sekali berbeda dengan fisik orang Aceh kebanyakan. Mata saya  agak sipit, kulit meskipun tidak putih-putih amat, tapi kuning langsat mendekati putih. Dugaan ini semakin menguat karena saya juga sama sekali tidak paham bahasa Aceh.Lebih parah lagi, karena daftar nama di absen dibuat berurutan berdasar abjad. Sebelum “W” yang menjadi awalan nama saya hanya ada nama yang berawalan “T”. Dan nama siswa yang namanya memiliki huruf awal  “T” adalah “Tjie Yung” yang memang betulan Cina. Maka kesimpulannya pun bulat, sah dan meyakinkan saya adalah CINA. Meskipun saya ngotot bilang bukan mereka tidak percaya.

Nah soal Cina di Banda Aceh inipun sebenarnya membuat saya bingung, karena sepertinya urusan Cina dan Pribumi ini kok begitu tegang dan serius sekali.  Padahal di Takengen yang jauh lebih kecil saja, kami tidak sampai sebegitunya. Di Takengen, kami biasa saja bergaul dengan teman-teman yang terlahir sebagai Cina. Saya sering main ke rumah teman-teman yang berkulit putih dan bermata sipit itu. Mereka pun sama, kadang main ke rumah saya. Tidak ada yang terlalu membuat berbeda.
Tapi kenapa di Banda Aceh yang jauh lebih besar dan ramai sepertinya begitu berbeda.

Belakangan saya baru menyadari, ternyata pokok permasalahannya justru karena Banda Aceh yang jauh lebih besar dan populasi etnis Cina nya juga jauh lebih besar. Dengan populasi yang cukup besar, mereka bisa mendirikan sekolah-sekolah swasta yang bagus.

Ini berbanding terbalik dengan di Takengen,  karena populasi etnis Cina tidak banyak. Mereka tidak mendirikan sekolah, sehingga tidak ada pilihan selain memasukkan anak mereka ke sekolah negeri. Di Takengen, sekolah swasta adalah sekolah buangan yang identik dengan kualitas yang buruk dan menjadi bahan ejekan. Contohnya orang yang kurang bisa mendengar dikatakan “Dasar kuping swasta”

Akibatnya, waktu saya SD. Di kelas saya saja ada 8 orang teman beretnis Cina. Kedelapan orang teman itu diperlakukan oleh guru dan kami perlakukan sama dengan yang lain. Yang membedakan mereka dengan kami hanya pada pelajaran agama. Kalau ada pelajaran agama, mereka boleh tidak masuk. Ujian agama mereka juga tidak ikut. Nilai untuk mereka diberikan oleh Gereja atau Kelenteng.

Di Banda Aceh, karena adanya sekolah-sekolah swasta bermutu. Tidak seperti Takengen di mana anak-anak etnis Cina bergaul dan berbaur belajar bersama di sekolah negeri dengan kami anak-anak pribumi. Di ibukota provinsi ini anak-anak warga Cina biasanya bersekolah di sekolah swasta, Methodis atau Budi Dharma. Di kedua sekolah itu “nyaris” kalau tidak bisa dikatakan “tidak ada” siswa warga pribumi Aceh. Kalaupun ada pribumi, mereka adalah anak-anak orang Batak dan pendatang lain yang umumnya beragama selain Islam.  Begitu pula sebaliknya,nyaris tidak ada anak-anak etnis Cina yang bersekolah di sekolah negeri. Contohnya di SMA 2, ketika saya masuk. Di seluruh sekolah hanya ada 2 orang anak Cina, salah satunya Tjie Yung, teman sekelas saya itu.

Sehingga tidak seperti di Takengen yang hubungan antara Cina dan Pribumi begitu cair karena anak Cina biasa main ke rumah anak pribumi dan sebaliknya sehingga kami saling mengenal budaya, dan ketika kami tumbuh dewasa. Hubungan ini tumbuh sebagai hubungan antar teman. Di Banda Aceh tidak begitu, di kota terbesar dan paling ramai di provinsi Aceh ini hubungan warga keturunan Cina dan Pribumi hanya sebatas penjual dan pelanggan. Meski tinggal di kota yang sama, dalam keseharian seperti ada tembok pemisah yang tinggi antara warga pribumi dan warga keturunan cina.

Imbas dari situasi seperti ini, saya yang sama sekali tidak punya sangkut paut urusan Pribumi dan Cina inipun jadi menanggung akibatnya. Ketika saya ngotot bilang saya bukan Cina, ada yang meminta saya membuktikannya dengan membuka celana, mereka ingin melihat saya sunat apa tidak.

Tapi untunglah semua berubah total ketika hari Jum’at tiba.

Di SMA 2, kami memiliki aula serbaguna yang luas. Oleh sekolah, selain untuk kegiatan seni dan sejenisnya. Aula ini juga difungsikan sebagai tempat shalat Jum’at. Siswa yang beragama Islam diwajibkan shalat Jum’at di sekolah. Sebelum shalat kami semua dibagikan kupon,  di kupon itu kami menuliskan nama dan itu digunakan sebagai daftar hadir. Jumlah kehadiran ini akan berimbas pada nilai pelajaran agama.

Karena saya beragama Islam tentu saja saya ikut shalat, nggak mau dong nilai agama jadi rendah gara-gara nggak ikut shalat Jum’at di sekolah. Saat itu saya masih ingat bagaimana teman-teman saya memperhatikan benar cara saya berwuhduk, juga gerakan saya ketika melakukan shalat sunat. Semua persis sama seperti yang mereka lakukan, tidak ada kejanggalan.

Kemudian ketika masuk pelajaran agama, ketika diuji untuk membaca Al Qur’an dan menjawab soal-soal agama, saya juga sama baiknya dengan mereka. Akhirnya teman-teman baru saya itu percaya dan mulai ada satu dua yang menanyakan apa arti nama saya yang antik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun