Mohon tunggu...
Win Wan Nur
Win Wan Nur Mohon Tunggu... wiraswasta -

Saya adalah orang Gayo yang lahir di Takengen 24 Juni 1974. Berlangganan Kompas dan menyukai rubrik OPINI.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Nostalgia SMA di Banda Aceh (Bag I)

5 April 2016   18:21 Diperbarui: 6 April 2016   15:48 216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di SMA 2 saya masuk kelas I.1, dan setelah dijalani, ternyata bersekolah di SMA 2 tidak buruk-buruk amat. Saya pun akhirnya betah dan tidak lagi punya pikiran untuk pindah. Meski  sebenarnya di hari pertama diterima di sekolah ini dan bertemu dengan teman-teman baru. Karena berasal dari Takengen, tak ada satupun teman baru yang saya kenal. Saya benar-benar merasa asing.

Kemudian pada hari-hari pertama bersekolah saya juga sebenarnya sempat dibully. Penyebabnya, karena tidak seperti teman-teman baru saya yang memiliki nama khas Aceh yang berbau Islam seperti  Zainuddin, Alfian, Muhammad. Nama saya “Win Wan Nur”.

Di Takengen, saya sama sekali tidak bermasalah menyandang nama yang cuma satu-satunya di kolong langit ini, sebab guru dan teman-teman yang mayoritas Gayo, orang yang mendengar nama saya langsung tahu artinya. Bahkan teman-teman yang bukan Gayo pun rata-rata paham bahasa Gayo, juga langsung tahu artinya. Minimal kalaupun tidak tahu, mereka bisa bertanya.

Tapi di Banda Aceh, teman-teman baru saya  mayoritas bersuku Aceh yang bahasanya sangat berbeda dengan bahasa Gayo, sama sekali tidak paham. Mereka menyangka, nama saya itu adalah nama Cina. Dugaan ini diperkuat dengan penampilan fisik saya yang sama sekali berbeda dengan fisik orang Aceh kebanyakan. Mata saya  agak sipit, kulit meskipun tidak putih-putih amat, tapi kuning langsat mendekati putih. Dugaan ini semakin menguat karena saya juga sama sekali tidak paham bahasa Aceh.Lebih parah lagi, karena daftar nama di absen dibuat berurutan berdasar abjad. Sebelum “W” yang menjadi awalan nama saya hanya ada nama yang berawalan “T”. Dan nama siswa yang namanya memiliki huruf awal  “T” adalah “Tjie Yung” yang memang betulan Cina. Maka kesimpulannya pun bulat, sah dan meyakinkan saya adalah CINA. Meskipun saya ngotot bilang bukan mereka tidak percaya.

Nah soal Cina di Banda Aceh inipun sebenarnya membuat saya bingung, karena sepertinya urusan Cina dan Pribumi ini kok begitu tegang dan serius sekali.  Padahal di Takengen yang jauh lebih kecil saja, kami tidak sampai sebegitunya. Di Takengen, kami biasa saja bergaul dengan teman-teman yang terlahir sebagai Cina. Saya sering main ke rumah teman-teman yang berkulit putih dan bermata sipit itu. Mereka pun sama, kadang main ke rumah saya. Tidak ada yang terlalu membuat berbeda.
Tapi kenapa di Banda Aceh yang jauh lebih besar dan ramai sepertinya begitu berbeda.

Belakangan saya baru menyadari, ternyata pokok permasalahannya justru karena Banda Aceh yang jauh lebih besar dan populasi etnis Cina nya juga jauh lebih besar. Dengan populasi yang cukup besar, mereka bisa mendirikan sekolah-sekolah swasta yang bagus.

Ini berbanding terbalik dengan di Takengen,  karena populasi etnis Cina tidak banyak. Mereka tidak mendirikan sekolah, sehingga tidak ada pilihan selain memasukkan anak mereka ke sekolah negeri. Di Takengen, sekolah swasta adalah sekolah buangan yang identik dengan kualitas yang buruk dan menjadi bahan ejekan. Contohnya orang yang kurang bisa mendengar dikatakan “Dasar kuping swasta”

Akibatnya, waktu saya SD. Di kelas saya saja ada 8 orang teman beretnis Cina. Kedelapan orang teman itu diperlakukan oleh guru dan kami perlakukan sama dengan yang lain. Yang membedakan mereka dengan kami hanya pada pelajaran agama. Kalau ada pelajaran agama, mereka boleh tidak masuk. Ujian agama mereka juga tidak ikut. Nilai untuk mereka diberikan oleh Gereja atau Kelenteng.

Di Banda Aceh, karena adanya sekolah-sekolah swasta bermutu. Tidak seperti Takengen di mana anak-anak etnis Cina bergaul dan berbaur belajar bersama di sekolah negeri dengan kami anak-anak pribumi. Di ibukota provinsi ini anak-anak warga Cina biasanya bersekolah di sekolah swasta, Methodis atau Budi Dharma. Di kedua sekolah itu “nyaris” kalau tidak bisa dikatakan “tidak ada” siswa warga pribumi Aceh. Kalaupun ada pribumi, mereka adalah anak-anak orang Batak dan pendatang lain yang umumnya beragama selain Islam.  Begitu pula sebaliknya,nyaris tidak ada anak-anak etnis Cina yang bersekolah di sekolah negeri. Contohnya di SMA 2, ketika saya masuk. Di seluruh sekolah hanya ada 2 orang anak Cina, salah satunya Tjie Yung, teman sekelas saya itu.

Sehingga tidak seperti di Takengen yang hubungan antara Cina dan Pribumi begitu cair karena anak Cina biasa main ke rumah anak pribumi dan sebaliknya sehingga kami saling mengenal budaya, dan ketika kami tumbuh dewasa. Hubungan ini tumbuh sebagai hubungan antar teman. Di Banda Aceh tidak begitu, di kota terbesar dan paling ramai di provinsi Aceh ini hubungan warga keturunan Cina dan Pribumi hanya sebatas penjual dan pelanggan. Meski tinggal di kota yang sama, dalam keseharian seperti ada tembok pemisah yang tinggi antara warga pribumi dan warga keturunan cina.

Imbas dari situasi seperti ini, saya yang sama sekali tidak punya sangkut paut urusan Pribumi dan Cina inipun jadi menanggung akibatnya. Ketika saya ngotot bilang saya bukan Cina, ada yang meminta saya membuktikannya dengan membuka celana, mereka ingin melihat saya sunat apa tidak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun