[caption caption="Jatah Bangku Tempel"][/caption]Ada banyak cerita menarik yang tertinggal dari kunjungan Jokowi ke tanah Gayo yang oleh Presiden Republik Indonesia ini sebagai ‘Kampung Halaman Kedua’ nya ini.
Selain dari Jokowi yang dengan jelas memisahkan Gayo dan Aceh dalam pernyataan. Momen menarik lain adalah kedatangan Wali Nanggroe Aceh yang lembaganya sangat tidak disukai di Gayo, karena lembaga ini terang-terangan melecehkan keberadaan Gayo sebagai penduduk asli provinsi yang terletak di ujung paling barat pulau Sumatera ini.
Pasalnya adalah satu point di dalam Qanun Wali Nanggroe yang menyangkut penggunaan bahasa Aceh dengan fasih sebagai prasyarat calon Wali Nanggroe. Pasal ini membuat Gayo dan penduduk asli provinsi Aceh tersinggung berat. Karena dengan adanya pasal seperti ini, sama saja dengan mengatakan yang dapat menjadi Wali Nanggroe adalah orang bersuku Aceh. Padahal di Aceh ada banyak sekali suku asli yang tidak menggunakan bahasa Aceh sebagai bahasa sehari-hari. Bahkan kalau ditelusuri secara ilmiah, justru suku-suku yang tidak berbahasa Aceh inilah yang sudah lebih dahulu menghuni wilayah yang sekarang disebut Provinsi Aceh ini dibandingkan orang-orang suku Aceh sendiri. Selain Gayo suku-suku non Aceh ini antaranya adalah anuek Jamee, Alas, Tamiang, Kluet, Devayan dan lain-lain yang kesemuanya memiliki kekhasan bahasa dan budaya sendiri.
Atas dasar inilah suku-suku Non Aceh termasuk Gayo merasa tidak terwakili dalam lembaga Wali Nanggroe, bahkan cenderung melihat lembaga ini sebagai lembaga untuk melegitimasi represi yang dilakukan suku Aceh yang dominan terhadap suku-suku lain.
Berbagai demonstrasi dilakukan oleh mahasiswa dan pemuda Gayo untuk menentang lembaga ini, bahkan DPRK Aceh Tengah yang didiami mayoritas suku Gayo juga ikut menolak Qanun ini.
Karena kuatnya penolakan terhadap lembaga ini di Gayo, Pejabat Wali Nanggroe Aceh. Wali Nanggroe yang lembaganya ditolak oleh masyarakat Gayo ini tidak pernah berani menginjakkan kakinya di Tanah Gayo.
Beberapa waktu yang lalu ketika sekelompok masyarakat Aceh berencana menyelenggarakan ‘Kongres Peradaban Aceh’ sebenarnya Takengen, kota terbesar di Tanoh Gayo dipilih sebagai tempat penyelenggara. Tapi karena acara ini rencananya dibuka oleh Wali Nanggroe, penolakan atas kehadirannya di Gayo merebak dan menguat. Hanya selang sehari setelah rencana ini diumumkan, spanduk-spanduk yang mengharamkan kehadiran Wali Nanggroe Aceh bertebaran di Gayo. Seorang pemuda Gayo bahkan mengancam akan melempar sepatu ke wajah Wali Nanggroe kalau dia berani menginjakkan kaki di tanoh Gayo. Melihat kondisi ini, panitia dengan berbagai alasan yang dibuat rasional memindahkan acara ke Banda Aceh.
Dengan kekuatan uangnya dan memanfaatkan wartawan asal pesisir yang mencari makan di Gayo dan secara sepihak meletakkan nama Gayo di belakangang namanya, Wali Nanggroe Aceh ini beberapa kali membuat propaganda yang menyatakan seolah-olah tidak benar Warga Gayo menolak keberadaan lembaganya. Beberapa kali sang Wali yang tidak diterima Gayo ini memajang fotonya di kegiatan budaya Gayo yang diselenggarakan di Banda Aceh. Kejadian yang kemudian memicu kontroversi dan kecaman di Gayo.
Kedatangan Presiden Jokowi untuk meresmikan Bandara Rembele membuat banyak kalangan di Gayo menduga kalau event ini akan dimanfaatkan oleh Wali Nanggroe yang tidak dianggap ini untuk datang ke Gayo. Dugaan ini sempat menimbulkan keriuhan di dunia maya. Di kalangan masyarakat Gayo, pembicaraan kemungkinan kedatangan Wali Nanggroe ini didominasi oleh rasa muak.
Kalau benar kali ini dia datang, maka ini akan menempatkan warga Gayo dalam posisi serba salah. Sebab warga Gayo secara umum (meski tentu tidak semuanya) sangat menghormati Jokowi. Tapi di sisi lain sangat muak dengan Wali Nanggroe yang hampir bisa dipastikan akan ikut membonceng. Berbagai ide dilontarkan untuk mempermalukan Lembaga yang tidak jelas manfaat keberadaannya ini. Salah satunya muncul ide untuk membuat spanduk yang berbunyi “ Selamat Datang Presiden Jokowi, tapi Wali Nanggroe ngapain ke sini?”.
Ketika Jokowi akhirnya datang, dan benar Wali Nanggroe ikut membonceng ide tersebut tak sempat terlaksana. Juga tidak ada demonstrasi untuk menunjukkan penolakan terhadap Wali Nanggroe, karena masyarakat Gayo tidak ingin demonstrasi itu disalah artikan sebagai menolak Jokowi.