Ketika aku masih SD, waktu naik ke kelas IV, mengikuti orangtuaku yang pindah ke Takengen, aku juga pindah sekolah dari SD Inpres Karang Jadi yang terletak di sebuah desa kecil di kaki Burni Telong di kecamatan Timang Gajah, ke SD negeri No. 1 Takengon.
Jika di sekolah lamaku, teman-temanku hanya ada satu orang etnis Aceh dan sisanya etnis Gayo dan etnis Jawa, di sekolah baruku ini aku mendapati selain dari etnis-etnis tersebut, ada teman baruku yang beretnis Minang dan juga banyak yang beretnis Cina. Dari 40 orang anak di kelas baruku itu ada 7 anak etnis Cina.
Meskipun ketujuh anak beretnis Cina di kelasku tersebut tidak pernah menjadi murid terbaik peraih rangking I sampai III, tapi aku bisa menyaksikan betapa keras usaha mereka untuk menjadi yang terbaik di kelas kami. Mereka gagal menjadi yang terbaik di kelas kami semata hanya karena faktor sial saja, karena entah apa penyebabnya, di angkatanku dulu, banyak sekali anak Gayo dan pribumi-pribumi lainnya yang dianugerahi oleh Tuhan kecerdasan di atas rata-rata. Sehingga khusus di angkatanku anak-anak Gayo inilah yang menjadi pemegang Rangking dari I sampai III di kelas, meskipun aku tahu persis usahaku dan teman-temanku anak-anak Gayo dalam belajar tidak pernah sekeras usaha teman-temanku beretnis Cina. Tapi setahun di atas kami, yang menjadi juara kelas tidak pernah lepas dari seorang anak etnis Cina bernama Julius.
Tapi, karena sejak kecil mereka memang sudah terbiasa berusaha dengan keras, sekarang, ketika kami semua sudah dewasa. Ke-7 teman-teman sekelasku yang beretnis Cina itu secara umum jauh lebih sukses dari kami, termasuk anak-anak pemegang rangking di saat kami masih SD dulu. Salah seorang teman sekelasku yang beretnis Cina di SD negeri No. 1 Takengon itu kabarnya sekarang ada yang menjadi seorang arsitek dengan reputasi Internasional.
Saat SMP, aku selalu menghadiri pengajian yang diselenggarakan di Mesjid Raya Ruhama. Pengajian tersebut diselenggarakan setiap habis Shalat maghrib sebelum Isya. Pengajian ini diasuh oleh seorang ulama aliran pembaharuan yang di Gayo dikenal sebagai 'Kaum Mude', bernama Tgk Abdul Jalil Bahagia atau lebih dikenal dengan nama Tengku Murni, yang diambil dari nama anak pertama beliau. Beliau ini merupakan penerus Tengku Abdul Jalil, tokoh ulama Gayo yang memperkenalkan aliran Islam pembaharuan (kaum mude) di Tanoh Gayo.
Salah seorang jamaah tetap pengajian ini adalah seorang muallaf etnis Tionghoa yang biasa kupanggil Bang Apuk. Bang Apuk ini adalah pemilik sebuah warung kopi di terminal labi-labi Takengen. Di sela-sela saat jeda pengajian, kami biasa mongobrol sambil minum kopi dan makanan penganan yang disumbangkan oleh jamaah (Bang Apuk sendiri adalah penyumbang tetap), waktu mengobrol seperti itu, Bang Apuk pernah menceritakan kepadaku alasan kenapa dia masuk islam.
Menurut Bang Apuk, salah satu alasan kenapa dia memilih masuk Islam adalah karena dia tidak kuat hidup sebagai Cina. Kata Bang Apuk, dalam masyarakat Tionghoa, hanya orang sukses yang dihargai. Almarhum Bapak Bang Apuk adalah salah seorang dari beberapa orang etnis Cina warga Takengen yang dikenal sebagai Cina Miskin. Oleh masyarakat etnis Cina di Takengen, orang-orang seperti orang tua Bang Apuk dianggap sebagai pembawa sial dalam komunitas mereka di kota kecil ini. Saat Bapak Bang Apuk meninggal dunia, menurut Bang Apuk bahkan mayatnyapun tidak boleh disentuh oleh orang Cina lainnya, karena dianggap akan menularkan kesialannya pada siapa saja yang menyentuhnya.
Kalau kita melihat dari kacamata moralitas yang kita anut berdasarkan tata nilai dalam adat dan kebiasaan kita, mungkin kita menyebut apa yang dilakukan oleh komunitas Cina di Takengen itu kejam. Tapi mari kita mencoba memahami situasi yang mereka hadapi di negara ini yang segala kebijakannya penuh tekanan terhadap etnis mereka. Di negara ini mereka tidak boleh memiliki tanah untuk dijadikan lahan pertanian, mereka tidak boleh menjadi pegawai negeri, mereka tidak boleh menjadi tentara dan polisi, bahkan bagi mereka untuk mendapatkan surat kewarganegaraan Indonesiapun begitu sulitnya dan ditambah berbagai tidak boleh lainnya, sudah begitu merekapun masih juga kita cemburui bahkan kita musuhi karena berbagai kesuksesan yang mereka raih.
Melihat dengan kacamata seperti itu, kita bisa memahami kalau apa yang saya ceritakan di atas adalah sebuah mekanisme pertahanan diri orang etnis Cina untuk bisa bertahan hidup dalam situasi faktual yang mereka hadapi di negara ini, apa yang mereka hadapi di sini mirip seperti situasi faktual yang dihadapi oleh kaum yahudi di masa lalu, di negara-negara tempat mereka tinggal.
Hasil nyata dari mekanisme pertahanan diri semacam ini terhadap orang etnis Cina bisa kita saksikan dan kita nilai dengan jelas. Kalau kita mau menilai dengan jujur, kita harus mengakui kalau dari semua etnis yang menghuni negara ini, secara kolektif bisa dikatakan etnis cina adalah yang paling unggul, baik secara ekonomi, pendidikan, olah raga, profesionalitas, dan lain-lain.
Ekonomi misalnya, di semua kota besar di Indonesia ini. Pertokoan di lokasi-lokasi strategis hampir semuanya dimiliki oleh Huaqiao. Di kota manapun yang aku kunjungi, wiraswastawan pribumi selalu menjadi kelas pariah yang jangankan mengalahkan, bersaing dengan etnis Cinapun mereka terkaing-kaing. Di Banyak kota di negara ini aku menyaksikan bagaimana becak-becak dayung milik kaum pribumi berjejeran di depan pertokoan milik etnis Cina di sela-sela lapak dagangan pribumi lain yang menumpang berjualan sayur di kaki lima pertokoan milik etnis Cina tersebut.