Mohon tunggu...
Win Wan Nur
Win Wan Nur Mohon Tunggu... wiraswasta -

Saya adalah orang Gayo yang lahir di Takengen 24 Juni 1974. Berlangganan Kompas dan menyukai rubrik OPINI.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Beginilah Cara Seorang Fundies Menikam dari Belakang (Sebuah Tanggapan untuk Teuku Zulkhairi)

9 April 2010   18:32 Diperbarui: 13 Juli 2015   15:35 449
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ini jelas penipuan dan pemalsuan fakta. Dalam redaksi yang dia tuliskan di sini, Teuku Zulkhairi menggambarkan seolah-olah orang Bali menganggap diri sebagai umat terbaik. Padahal, hal seperti yang digambarkan oleh Teuku Zulkhairi itu sama sekali tidak eksis dalam budaya dan agama orang Bali, karena agama orang Bali bukanlah agama DAKWAH yang mencari umat agama lain untuk berpindah menganut agama mereka. Agama orang Bali  itu justru sangat berbeda dengan agama-agama yang memiliki akar di Timur Tengah (Islam, Kristen dan Yahudi ) yang hanya mengakui adanya satu kebaikan yaitu kebaikan agama itu sendiri.

Agama orang Bali sebaliknya, mereka menganggap kebaikan ada dimana-mana termasuk di luar agama mereka (mirip dengan ide-ide kaum pluralis semacam Ulil). Saya tahu itu dan tentu saja karenanya "Orang Hindu di Bali menganggap diri sebagai umat terbaik" sebagaimanai yang anda katakan itu sangat tidak mungkin saya tuliskan.

Redaksi kalimat ASLI yang ditulis oleh Teuku Zulkhairi di link saya http://www.facebook.com/note.php?note_id=271545243965&id=1524941840&ref=share yang kemudian memunculkan debat panjang yang diakhiri dengan pilihan Teuku Zulkhairi untuk kabur seperti anjing kurap yang dipukuli orang sekampung adalah "cara hidup dgn bertelanjang seperti di pantai Kuta atau memuja makhluk (dlm tradisi hindu) memang tdk layak dibanggakan... dlm masyarakat modern hal tsb dianggap sbg budaya jahiliyah... he he he "

Komentar saya menanggapi tulisan tersebut yang disebutnya merupakan MURKA itu adalah;

"Lalu selanjutnya karena menurut bos mereka memuja makhluk (dlm tradisi hindu) memang tdk layak dibanggakan dan masih menganut budaya jahiliyah.

Apa menurut Bos Teuku Zulkhairi dua kali pengeboman yang dilakukan Jihadis Islam yang sangat patriotis sebagaimana layaknya Bos Teuku Zulkhairi ini terhadap mereka masih perlu ditambah lagi?"

Modifikasi redaksi kedua tulisan ini jelas mengubah makna dan esensi komentar tersebut. Perubahan redaksi ini jelas membuat efek psikologis yang sangat berbeda bagi orang yang membaca. Dalam tulisan yang telah dimodifikasi oleh Teuku Zulkhairi ini, terbaca orang Bali lah yang sedang memprovokasi, sementara kalau kita baca redaksi asli yang ditulis oleh Teuku Zulkhairi, adalah sebaliknya, justru Teuku Zulkhairi sedang melecehkan orang Bali dan agama yang mereka anut.

Kemudian ketiga, seluruh bangun argumen dalam tulisan Teuku Zulkhairi ini juga jelas-jelas adalah kesimpulan sepihak yang dia ambil atas interpretasi sepihak (yang data aslinya telah dimodifikasi tentunya) atas semua yang pernah saya katakan.

Contoh mengenai interpretasi sepihak yang data aslinya telah dimodifikasi ini dapat dibaca dengan jelas pada paragraf kelima tulisan ini, di sini Teuku Zulkhairi mengatakan "Sebab WWN memandang bahwa semua aturan dalam Islam adalah berdasarkan interpretasi(tafsiran) ulama secara sepihak, sehingga muaranya adalah perihal AKIDAH-pun menurut WWN hanya persoalan interpretasi."

Di sini Teuku Zulkhairi menggambarkan dengan gamblang seolah-olah kesimpulan yang berdasarkan imajinasinya tersebut adalah ide yang dikatakan oleh Win Wan Nur sendiri, padahal kalau kita bertanya pada Teuku Zulkhairi, mana bukti Win Wan Nur pernah berkata seperti itu, jelas dia tidak bisa menunjukkan.

Dalam tulisan ini, Teuku Zulkhairi dengan licik menggambarkan bahwa seolah-olah Win Wan Nur memandang bahwa semua aturan dalam Islam adalah berdasarkan interpretasi(tafsiran) ulama secara sepihak. Padahal kenyataannya yang saya kritisi hanyalah aturan Syariat Islam yang berlaku di Aceh, yang memang jelas adalah aturan dalam Islam, yang ditafsirkan oleh Ulama lalu dipaksakan menjadi sebuah Hukum Positif di Aceh. Saya mengkritisi ini karena sejak sebelum hukum yang memuat empat pasal yang mengatur empat perkara (judi, minuman keras, shalat jum'at dan berkhalwat alias berdua-duaan di tempat sepi) diterapkan pun sudah banyak orang yang mempertanyakan urgensinya kenapa hukum ini harus diterapkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun