Jadi kalau untuk menangani masalah yang merupakan keahlian profesionalnya saja Irwandi kewalahan, apatah lagi kita berbicara masalah lain soal strategi pengelolaan dan dan pembangunan infrastruktur dan lain-lain, tentu lebih kacau lagi.
Itulah sebabnya belakangan ini nada-nada tidak puas terhadap kepemimpinan Irwandi pun mulai bermunculan.
Nada-nada tidak puas itu mencuat dari berbagai kelas sosial dan kalangan. Di level bawah para pengungsi korban tsunami yang belum mendapatkan haknya mulai merasa kesal dan merasa telah salah pilih saat memilih Irwandi sebagai gubernur. Di level lain, para kontraktor pelaksana berbagai proyek mulai mengeluh ketika mereka kesulitan untuk meyelesaikan proyek yang mereka kerjakan karena rumitnya birokrasi untuk mencairkan uang untuk membiayai proyek yang mereka kerjakan. Di level birokrasi, para pegawai dan birokrat yang sudah lama malang-melintang dalam birokrasi pemerintahan Aceh mengeluhkan gaya kepemimpinan Irwandi yang hanya bisa marah-marah dan mencurigai bawahan tanpa bisa memberikan solusi nyata apa yang harus dilakukan. Sehingga mereka menjadi serba salah terhadap setiap langkah yang akan mereka lakukan.
Menanggapi berbagai ketidak puasan ini, dulu, pembelaan yang jamak kita dengar dari Irwandi dan orang-orangnya adalah, itu karena parlemen dikuasai oleh orang-orang pro Jakarta yang tidak ingin Aceh sejahtera.
Tapi ketika di akhir tahun 2009 ini muncul informasi yang menghentak kesadaran, bahwa dari 9,7 Trilyun APBA kurang dari 50% yang bisa disalurkan. Seperti biasa Irwandi dan orang-orangnya tidak secara taktis dan terstruktur menjawab kenapa hal itu bisa terjadi. Mereka ter lihat kelimpungan, Jakarta tidak bisa lagi dijadikan kambing hitam, karena sekarang parlemen sekarang dikuasai oleh partai lokal yang kita tahu persis memiliki komitmen sangat tinggi untuk mensejahterakan rakyat Aceh.
Hebatnya, fakta itu tidak membuat orang-orang pro Irwandi kehilangan akal. Meski Irwandi sendiri tidak pernah berkomentar terang-terangan, tapi orang-orang pro Irwandi dengan kreatif segera menemukan KAMBING HITAM baru. Mereka mengatakan bahwa orang yang menghembuskan berita ini adalah orang-orang yang dulu pernah bekerja menikmati gaji besar di berbagai lembaga asing yang berebutan datang ke Aceh pasca tsunami , untuk menyalurkan ‘uang darah’. Orang-orang yang sekarang sama sekali tidak mendapat jatah di pemerintahan. Sementara itu inti persoalan kenapa kegagalan penyaluran APBA itu bisa terjadi. Sebagaimana biasanya, tetap kabur tanpa penjelasan.
Ketika pertanyaan tentang kegagalan penyaluran APBA ini semakin kencang mengemuka, muncullah berita di TGJÂ seperti yang saya kutip di atas.
Ketika berita dan foto ini dipost ke facebook, dibumbui dengan pernyataan Irwandi bahwa dia sengaja melakukan itu tanpa berkoordinasi dengan bupati agar dia dapat merasakan sendiri apa yang terjadi di lapangan. Banyak terpukau dengan aksi 'heroik' sang Gubernur ini. Salah satunya berkomentar kalau Gubernur Aceh sepertinya sedang menerapkan gaya kepemimpinan Umar Bin Abdul Aziz, seorang khalifah legendaris di masa-masa awal penyebaran Islam.
Tapi saya dan orang yang sedikit lebih baik daya ingatnya segera menyadari bahwa aktifitas 'heroik' yang dilakukan Irwandi itu sama sekali tidak ada korelasinya dengan penyelesaian masalah yang ada. Sebagaimana yang terjadi terhadap konsep Green Aceh-nya.
Gaya pemerintahan Irwandi ini mengingatkan saya pada Lech Walesa yang menjadi presiden Polandia pasca kemenangan Solidarnosc. Saat itu dia begitu populer, di pundaknya dibebani berjuta harapan rakyat Polandia yang menggantung tinggi di langit. Gaya pemerintahan yang sangat pintar menarik hati masyarakat, tapi sangat lemah dalam manajemen dan tata kelola.
Sejarah menunjukkan kalau gaya pemerintahan seperti ini membuat Lech Walesa ditinggalkan rakyat Polandia dan Solidarnosc partai pendukungnya yang secara heroik menumbangkan kekuasaan komunis di negeri itu pun sampai hari ini tidak pernah lagi memenangi Pemilu.