Mohon tunggu...
Win Wan Nur
Win Wan Nur Mohon Tunggu... wiraswasta -

Saya adalah orang Gayo yang lahir di Takengen 24 Juni 1974. Berlangganan Kompas dan menyukai rubrik OPINI.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Krueng Peusangan dan Lake Geneva

14 Desember 2009   01:07 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:57 197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Meskipun kasus penamaan Lake Geneva dan Sungai Peusangan ini sebenarnya mirip. Tapi sikap penduduk yang mendiami kedua tempat itu sangat berbeda, jika penduduk yang mendiami tepian Lac du Leman seperti yang saya sebutkan di atas merasa tabu dan tidak nyaman (mal vu dalam bahasa Perancis) menyebut nama danau ini dengan sebutan Lake Geneva. Suku Gayo yang mendiami bagian terbesar tepian Krueng Peusangan sepertinya sama sekali tidak peduli dengan kejanggalan penamaan sungai ini.

***

Bagi suku-suku yang mendiami bumi Aceh, sungai yang merupakan sumber utama air tawar yang digunakan untuk kebutuhan sehari-hari dan juga pertanian adalah elemen penting bagi peradaban.

Keluarga saya dari pihak ibu, berasal dari Temung Penanti, sebuah kampung yang terletak di tepi sungai ini. Sewaktu masih kecil saya dan teman-teman saya yang tinggal di kampung ibu saya sangat akrab dengan sungai ini.

Bagi warga kampung kami dan juga kampung-kampung lain yang berada di tepiannya, sungai ini adalah tempat pemandian umum. Pada waktu saya masih kecil, di masa awal sampai pertengahan tahun 80-an juga menjadikan sungai ini sebagai tempat pemandian, di tempat ini pula saya belajar dan akhirnya bisa berenang.

Selain sebagai tempat mandi, sungai ini juga berfungsi sebagai penyedia protein utama bagi warga kampung kami. Jika di rumah sedang tidak ada lauk, warga kampung kami akan pergi ke sungai ini, ke bagian sungai berair dangkal dengan dasar berpasir untuk memunguti 'memin', kerang air tawar berukuran kecil (maksimal seukuran jari tangan) untuk kemudian dimasak menjadi sup kerang atau dikeluarkan dagingnya untuk dibuat sambal. Pada waktu saya masih kecil itu, di bagian sungai berair dangkal itu, jauh lebih mudah menemukan 'memin' ketimbang menemukan kerikil. Dengan sepotong kaca untuk alat bantu supaya memudahkan melihat dasar sungai, dalam waktu setengah jam saja satu ember memin sudah bisa kami dapatkan. Pada masa itu, di halaman belakang setiap rumah di kampung kami itu, kita selalu mendapati bukit kapur kecil yang tidak lain adalah tumpukan kulit kerang yang hampir setiap hari kami konsumsi.

Sayangnya sekarang 'memin-memin'kecil yang lezat itu sudah punah semuanya, bukan karena terlalu banyak dipunguti. Tapi 'memin-memin' itu tiba-tiba banyak yang mati dan akhirnya sekarang menghilang sama sekali.

Waktu itu, kalau kami ingin menikmati variasi lauk yang lain. Kami tinggal mendatangi bagian aliran sungai berair dangkal tapi berarus deras dengan dasar berbatu. Di tempat itu, di bawah batu-batu di dasar sungai berair dangkal dan berarus deras ini banyak terdapat ikan 'ILI', satu spesies ikan berkulit coklat dengan bintik hitam seperti macan tutul dengan ukuran tubuh maksimal sebesar jari kelingking. Dengan bermodalkan "serampang", tombak bermata dua seperti garpu yang kami buat dari peniti yang diikatkan di ujung bambu sebesar kelingking, kami mengangkat batu-batu itu dan dengan cepat menombak 'ili' yang terlihat. Untuk mendapatkan ikan ini tidak segampang mendapatkan memin, berbeda dengan memin yang dalam setengah jam kita bisa mendapatkan satu ember, dalam berburu 'ili' ini, seharian berada di sungai pun satu mangkok kecil 'ili' susah kami dapatkan. Senasib dengan 'memin', 'ili' pun sekarang sudah menghilang, bedanya kalau memin kami tidak mengetahui sebab menghilangnya, ili menghilang karena kemunculan alat penangkap ikan dengan menggunakan arus listrik dari aki yang kami sebut 'stroom'. Dengan alat ini 'ili' yang sebelumnya begitu sulit didapat dengan serampang menjadi sangat mudah ditangkap.

Sekitar tahun 1985, dengan bermodalkan satu buah alat 'stroom' kami sekampung pernah mengadakan pesta besar makan-makan di tepi sungai. Waktu itu saya ingat dalam waktu beberapa jam saja para orang tua dan kakak-kakak kami yang menggunakan alat stroom sudah mendapatkan hampir dua karung ikan berbagai jenis, mulai dari 'ili', belut, lele, gabus sampai 'denung', sejenis belut air tawar yang ukurannya bisa sampai sebesar alat takaran 2 literan.

Selain ikan-ikan itu, lauk alternatif lain yang bisa kami dapatkan di sungai ini adalah 'gerep', kepiting air tawar yang berukuran maksimal sebesar jempol kaki orang dewasa yang hidup di tempat yang sama dengan ili. Meski tidak semudan mendapatkan 'memin'mendapatkan kepiting ini jauh lebih mudah ketimbang 'ili', dengan modal yang sama seperti mencari memin yaitu kaca, seharian mencari di sungai kami bisa mendapatkan gerep sebanyak satu kantong plastik ukuran 1 kiloan.

Begitu pentingnya sungai bagi penduduk Aceh yang tinggal di sepanjang alirannya maka tidak heranlah kita menemui banyak sungai di Aceh dinamai sesuai dengan nama suku Aceh yang mendiami tepiannya. Di Aceh kita mengenal Lawe Alas yang terletak di bumi Alas yang dinamai sesuai nama suku yang mendiami daerah itu. Lalu ada Krueng Aceh yang membelah kota Banda Aceh, di Aceh Timur ada Sungai Tamiang yang dinamai sesuai dengan nama suku Tamiang dan di Aceh Selatan ada Sungai Kluet yang dinamai sesuai dengan nama suku Kluet.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun