Mohon tunggu...
Wibi Lungidradityo
Wibi Lungidradityo Mohon Tunggu... Lainnya - Mendalami Fokus dalam Studi Politik Militer dan Pertahanan

Mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Calm Before The Storm: Gemuruh Perang di Kawasan Laut Cina Selatan

31 Mei 2024   19:15 Diperbarui: 31 Mei 2024   19:51 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Input sumber news.cgtn.com

Konflik Laut Cina Selatan bukan lagi perkara sengketa, melainkan sebuah fenomena agresi militer. Klaim sepihak Republik Rakyat Tiongkok terhadap nine dash line secara nyata adalah manifestasi geopolitik fasis yang juga dilakukan oleh Jerman sebelum meletusnya perang dunia kedua. 

Klaim teritorial Tiongkok yang bersifat absurd dan tumpang tindih terhadap kedaulatan wilayah Indonesia, Malaysia, Vietnam, Filipina, Brunei dan Taiwan juga diperparah dengan “ketidak patuhan” Tiongkok terhadap resolusi pengadilan internasional berdasar UNCLOS (United Nations Convention on the Law of the sea). 

Dan ironisnya, Indonesia mereplikasi politik appeasement (mengalah) ala sekutu barat (Inggris dan Prancis) dalam menanggapi aneksasi dan agresi bangsa besar yang kian hari memposisikan diri sebagai penguasa. Ketika Jerman berhasil menganeksasi Austria, Czekoslovakia dan Lithuania, apakah agresi mereka terhenti? Logika ini yang kemudian harus kita pelajari bahwa kedekatan kita dengan bangsa perundung tidak menjamin keberlangsungan kedaulatan Indonesia.

Perilaku abai dan bebal Tiongkok terhadap resolusi kolektif global melalui lembaga kewenangan internasional (PCA- Permanent Court of Arbitration) berdasar klausa UNCLOS yang menyatakan klaim teritorial mereka yang tidak sah (nine dash line, dan justru meningkatkan aktifitas militer dan mempersenjatai wilayah kepulauan spratly), menjadi bukti bahwa Tiongkok merupakan negara non-compliance yang tidak bisa diandalkan dan dipercaya. Sebagaimana Winston Churcill meriwayatkan:

“You cannot reason with a tiger when your head is in its mouth.”

Dalam tulisan ini, saya tekankan bahwa konflik Laut Cina Selatan sudah memasuki fase “pasca diplomasi”; bawasannya dialog kawasan, multilateral dan bilateral sudah bersifat insignifikan. Karena baik Tiongkok maupun Amerika Serikat sudah memasuki fase mobilisasi arsenal militer dan telah berkecamuk dalam skema perang asimetris maritim di wilayah Asia Tenggara. 

Inisiatif Amerika dalam menciptakan politik pengurungan Tiongkok telah terlaksana: QUAD (Quadrilateral Security Dialogue: Australia, India, Jepang, Amerika Serikat) dan AUKUS ( Trilateral Security Partnership: Amerika Serikat, Australia, Inggris) sebagai asosiasi pertahanan regional yang bersifat mengikat, turut menghadirkan arsenal nuklir di wilayah Asia Tenggara melalui kehadiran kapal selam nuklir. Perihal ini kian memperjelas ketegangan yang akan terjadi.

Kohesi kolektif ASEAN juga telah terpecah; konflik teritorial Laut Cina Selatan nyatanya juga memecah persatuan ASEAN akibat kepentingan domestik anggota negara-negara ASEAN itu sendiri. Ketika Tiongkok mengafirmasi agresi diplomatiknya melalui operasi militer asimetris, negara-negara ASEAN secara gradual terintimidasi dan menjadi pragmatis dengan mencari backpocket policy masing-masing: jaminan keselamatan bersama kekuatan global melalui kesepakatan militer sebagai deterrence. Singapura, Filipina, Thailand bahkan Vietnam sudah terkonfirmasi bergeser kepada spektrum pengaruh Amerika Serikat. Sementara Laos, Kamboja dan Myanmar teridentifikasi sebagai perpanjangan tangan Beijing dalam mendisrupsi ASEAN.

Ikatan-ikatan pertahanan regional dan kesepakatan eksklusif bilateral tersebut kemudian menyiratkan realita terselubung atas terbentuknya model NATO dan Pakta WARSAWA di Asia Tenggara. Secara tidak langsung, Indonesia berdiri pada posisi dilematis: Death or Dishonor? Mati dalam menegakkan kedaulatan, atau hidup dibawah bayang-bayang agresor? 

Apakah kita cukup kuat untuk menciptakan narasi jalan ketiga melalui semangat Wilwatikta Majapahit dalam menancapkan hegemoni dan dominasi terhadap anggota-anggota ASEAN? Menciptakan suatu harmoni Nusantara dengan menjamin terpenuhinya political objectives Amerika Serikat dan Republik Rakyat Tiongkok? Freedom of Navigation untuk Amerika, dan menawarkan closure terhadap dilema Malaka terkait krisis jalur impor energi Tiongkok?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun