Bergeser sedikit, kita juga bisa lihat metode Tiongkok dalam mengimplementasi "Regimented Society"Â (masyarakat berdisiplin tinggi) melalui uji coba SKS -- Sistem kredit sosial. Sementara dalam kasus historis perang dunia 1, 2 dan perang dingin, dinding pertahanan sosial humaniora ini jauh lebih keras lagi. Perbedaan haluan ideologis harus diberangus, termasuk produk produk kultural semacam "debat", "dialog", "celana jeans", hingga "musik pop".
Menurut Clausewitz, teoritikus militer asal Prussia (Jerman) dengan terkenal merumuskan : "Bahwa politik adalah proses keberlanjutan dari perang"(Howard,Michael. 2002. Clausewitz: A Very Short Introduction, Oxford University Press) yang kemudian gagasannya pun juga diamini oleh Abdul Haris Nasution, Selaku intelektual militer yang turut menciptakan landasan teoritis gagasan pertahanan nasional Indonesia.Â
Untuk Indonesia sendiri, perihal suprastruktur tersebut juga dijelaskan dalam SISHANKAMRATA (Suseno,Alex. 1985. Pengantar Studi Strategik : Manajemen Kebijakan Dan Strategi Pembinaan Teritorial. Staf Umum Teritorial TNI-AD) diturunkan lagi menjadi PANCAGRATA, dan diturunkan LAGI, menjadi IPOLEKSOSBUD (Ideologi, politik, Ekonomi, Sosial -- Budaya).Â
Sehingga sama dengan UKDD Inggris, SISHANKAMRATA Indonesia pun memiliki substansi yang serupa namun dengan pendekatan nasional yang berbeda, tentu disesuaikan dengan karakteristik bangsa.Â
Dari pengalaman sejarah inilah, Nasution secara tidak langsung mengatakan bahwa : Angkatan Perang Indonesia tidak hanya bertanggung jawab terhadap pertahanan fisik (agresi, perang, serangan) namun juga NON-FISIK (Ipoleksosbud).
2. Pertahanan Fisik
Untuk bagian ini, jelas kemudian tanggung jawab terletak pada kedaulatan fisik. No Illegal Trespassing above, below and on our sovereign territory, dan itu sifatnya mutlak. Namun yang mencolok dari debat kemarin adalah narasi hard power Prabowo yang dianggap tidak relevan untuk konteks geopolitik zaman sekarang yang cenderung "damai" dan "kooperatif". Bagi penulis, selama manusia memegang keyakinan terhadap format negara-bangsa, hard power akan selalu relevan.Â
Contoh kontemporer yang ingin saya angkat adalah agresi teritorial maritim Tiongkok di Laut Cina Selatan. Walau sengketa tersebut secara hukum internasional sudah selesai (berdasar UNCLOS - United Nations Convention for the Law of the Sea), tetap saja negara "itu" bandel.Â
Sebagai kartu terakhir, dia keluarkan hard powernya dengan membangun instalasi militer diatas pulau buatan yang memiliki 2 tujuan : intimidasi militer dan mencari celah hukum UNCLOS
Konteks sejarah juga bisa kita lihat di tahun 1930-an. Yang dimana Jerman secara gradual mengklaim hak hak teritorialnya dengan menganeksasi wilayah negara lain seperti Austria, Memel (Lithuania), Sudetenland (wilayah utara Cekoslovakia) sembari memamerkan kapasitas militernya dihadapan Inggris dan Prancis.Â
Kartu terakhir Jerman dengan politik Polandia pun pada akhirnya dihadang oleh kekuatan gabungan Inggris-Prancis dan berujung pada fenomena perang dunia 2, sebuah perang yang tidak disangka sangka akan muncul kembali hanya dalam periode singkat setelah perang besar di tahun 1918.Â