Tulisan ini bukan sebagai ajang membela salah satu paslon terkait urusan politik elektoral, namun sebagai upaya reflektif dalam memahami bagaimana logika militer bekerja dalam memahami ancaman terhadap keamanan dan kedaulatan negara.Â
Sewaktu debat capres kemarin, muncul sebuah adu argumen di warung kopi oleh  kalangan pemilih muda ; "Prabowo ini pengen perang apa gimana sih? Kok ketakutan banget seakan akan kita bakal perang!?"
Apakah Prabowo salah? Mungkin iya secara pembawaan, namun tidak secara substansi. Dari dulu hingga sekarang, variabel sosial humaniora seperti ekonomi, politik, budaya dan agama akan selalu menjadi variabel variabel penting bagi lembaga pertahanan dalam menyusun strategi pertahanannya.Â
Cukup mengagetkan bagi kita, sipil untuk kemudian sadar bahwa urusan pertahanan tidak hanya sebatas fisik infrastruktur seperti rudal, radar, kapal selam, tank dan jumlah personil. Tetapi juga suprastruktur bangsa seperti haluan ideologis, diskursus politik, ekonomi hingga komunikasi politik pun juga menjadi santapan aparat dan pakar penyelenggara pertahanan. Tidak percaya?
1. Pertahanan sosial humaniora
Coba kita lihat contoh sejarah dan fenomena beberapa negara lain. Inggris, misalkan. Dalam doktrinnya yang disusun dalam UKDD (United Kingdom Defense Doctrine), aturan tersebut menyatakan bahwa "perihal human security" itu juga menjadi tanggung angkatan perang.Â
Kalau dijabarkan, istilah human security dalam UKDD turut menanggapi isu perihal dinamika agama dalam negri (jumlah penganut), narasi ideologis arus utama yang sedang populer, angka pengangguran, pertumbuhan ekonomi, bahkan hingga media hiburan apa yang sedang populer dan digandrungi publik.Â
Geser sedikit, kita lihat konteks Amerika serikat. Instrumen pertahanannya pun turut aktif dalam menciptakan narasi politik sebagai upaya menyatukan opini publik. Mendikte apa yang harus dibela, dilawan dan dipertahankan. Sehingga dalam konteks pertahanan, tidak ada garis pemisah yang dengan jelas membagi antara urusan privat dan keamanan nasional.Â
Mungkin untuk Indonesia, caranya agak klise...menyita buku berhaluan kiri, merazia diskusi yang ditandai subversif dan  cara cara tradisional lainnya. Untuk negara dengan kapasitas yang lebih maju, pun sebenarnya sama sama paranoid. Namun caranya lebih elegan dengan tidak mengintervensi langsung.Â
Semisal kemampuan CIA dan NSA yang berlandaskan infrastruktur digital canggih yang sudah bisa mengatur dan mengawasi arus informasi tanpa harus menggrebek TKP (Snowden dan skandal privasi individual di A.S).